Bab 8. Tidak Banyak Bicara

1198 Kata
Mentari yang baru keluar lift, berjalan menuju ke pintu apartemen tempat tinggalnya. Ia baru saja pulang kerja. Di dalam kepala Mentari saat ini, sedang setengah melamun karena memikirkan sesuatu. "Sudahlah, Tari. Menurutku, kamu memang harus berdamai dengan kak Arka. Mau bagaimanapun, sekarang kak Arka adalah suamimu. Jadi, seharusnya kamu menjalin hubungan baik dengannya, bukan?" Terlintas kalimat Amara tadi pagi saat masih di kantor. Kalau dipikir-pikir, memang benar apa yang dikatakan Amara. Mentari rasa, ia sudah salah kalau hanya terus menyalahkan Arka. Lagi pula, itu juga sudah terjadi. Meskipun menyangkal, tapi kenyataannya Arka memang suaminya sekarang. Orang terdekat yang tinggal dengannya. Tidak mungkin, Mentari terus-menerus melakukan semuanya sendirian, di dalam satu rumah. Suatu saat, dia pasti membutuhkan pertolongan. Apa lagi, mengingat sekarang dirinya sedang hamil. Mentari juga teringat dengan vitamin pemberian Arka tadi pagi. Bahkan, ketika di kantor, Mentari juga masih meminumnya. Dan itu, memang benar-benar sangat membantunya untuk menghilangkan mualnya. Benar. Sudah saatnya ia mulai menjalin hubungan yang baik dengan suaminya. Mentari menarik nafas dalam-dalam. Memberanikan dirinya saat ia nanti bertatap muka dengan Arka. Mentari kemudian membuka pintu apartemen tempat tinggalnya. Begitu ia masuk melewati pintu, ia melihat Arka sedang duduk di sofa. Arka sedang mengamati layar ponsel sembari menyeduh secangkir kopi di tangannya. Arka, juga menyadari Mentari yang baru masuk dan menoleh ke arahnya. Sekian detik, mereka saling tatap sebentar. Kemudian Arka langsung kembali menengok ke ponselnya lagi tanpa berkata apapun. Membuat Mentari menautkan kedua alisnya heran. "Kenapa dia diam saja? Dia tidak menyapaku?" gumam Mentari dalam hati. Mentari cukup lama berdiri di sana. Sedang Arka, tetap melihat ke arah ponselnya dengan wajah serius. Mentari menjadi canggung sendiri. Suasana menjadi semakin kaku antara keduanya. Mentari pun kembali menutup pintu kembali. Setelah itu, ia berjalan pelan menuju kamarnya. "Apa yang harus aku katakan? Apa yang harus aku katakan?" gumam Mentari dalam hati sembari terus berjalan ke arah kamarnya. Mentari sudah setengah sampai ke arah kamarnya. Ia berjalan akan melewati Arka. Ia bingung akan memulai pembicaraan seperti apa? "Malam, Kak?" sapa Mentari pada Arka akhirnya. "Malam!" jawab Arka singkat. Apa?! Jadi, Arka hanya akan membalas sapaan Mentari seperti itu saja?! Bahkan, Arka membalas sapaan Mentari, dengan terus melihat ponsel dan tidak menoleh ke arah Mentari sama sekali. Membuat Mentari semakin mati gaya. Mentari pun meneruskan jalannya ke arah kamarnya pelan sambil berpikir. Sampai, ia sudah berada di depan pintu kamarnya. Apakah, ia akan masuk kamar begitu saja tanpa memulai percakapan? "Ayo, Tari katakan sesuatu! Katakan sesuatu!" gumam Mentari dalam hati. Memaksakan diri untuk berbicara dengan Arka dalam suasana yang canggung. "Baiklah! Apapun itu, yang penting bicara! Makan? Aku bisa mengajaknya makan bersama, kan?" Mentari masih berbicara dalam hati. Mentari lalu membalikkan badan menoleh ke arah Arka akan mengajaknya makan. "Apa kak Ar ...." Begitu Mentari ingin bertanya, tiba-tiba Arka sudah berada di ambang pintu kamar dan masuk ke dalam kamar, lalu menutup pintu kamarnya dari dalam. Membuat Mentari melebarkan kedua matanya, karena malu dibuatnya. Ia tidak sempat berbicara apapun. Mentari kehilangan kesempatan untuk berbicara dengan Arka malam ini. Ia pun jadi meneruskan membuka pintu kamarnya dan masuk ke dalam kamarnya dengan lesu. Mentari menutup pintu kamar setelah berada di dalam. "Kenapa sikapnya sangat dingin begitu, ya?" gumam Mentari berbicara sendiri. "Aku mau ke mana saja itu urusanku! Jangan berlagak peduli padaku. Bagiku, Kak Arka masih tetap orang yang paling jahat yang pernah aku kenal!" Tiba-tiba, terlintas kalimat menyakitkan Mentari pada Arka, saat mereka pertama tiba di sini. Kalau diingat, saat itu juga adalah kalimat terakhir yang dikatakan Mentari pada Arka. Memang, sikap Mentari pada Arka cukup buruk. "Apa dia marah padaku karena waktu itu, ya?" gumam Mentari masih berbicara sendiri. "Tapi, tadi dia sudah memberikan vitamin padaku?" Mentari terus menerka-nerka penasaran. Ia benar-benar tidak tahu, apa saat ini yang ada di dalam pikiran Arka? *** Mentari yang baru bangun itu, berusaha duduk dari tidurnya. Ia menaikkan kedua tangan ke atas untuk meregangkan otot-ototnya. Ini masih pukul enam pagi, tepat setelah alarm Mentari berhenti. Mentari lalu menurunkan kedua kakinya dari ranjang. Ia berjalan ke arah pintu dan membukanya. Saat berjalan keluar, ia tepat melihat Arka yang sudah rapi memakai baju kerja sedang berada di meja makan. Membuat Mentari terhenyak sejenak. Ia kembali bertemu Arka pagi ini. Mentari melihat, Arka sedang sarapan sambil memperhatikan ponselnya. Sepertinya, sudah mau berangkat? Arka yang sedang makan pagi itu, meski mengetahui kamar Mentari yang keluar kamar, dia tidak menoleh ke arah Mentari. "Pagi-pagi sekali dia sudah mau berangkat?" gumam Mentari dalam hati. Mentari jadi tidak berani menyapa. Ia takut akan mengalami kejadian seperti tadi malam. Namun, Mentari merasa kalau suasana di antara mereka berdua masih benar-benar canggung. Mentari pun menyerah, dan tidak berniat untuk menyapa atau basa-basi pada Arka. Ia ingin membuat kopi di dapur. Mentari kemudian berjalan ke arah dapur tanpa menyapa Arka. Ia berjalan melewati Arka begitu saja. Arka sendiri juga hanya fokus pada ponsel dan sarapannya. Sekian detik, Mentari sudah ada di dapur. Mentari kemudian mencari-cari di mana letak cangkir. Ia ingin membuat kopi dari sachet kopi yang sudah ia bawa. Sekian detik, Mentari menemukan cangkirnya berada di bagian rak atas. Ada cangkir dan piring-piring yang ditata di sana. Mentari pun berjalan mendekat. Ketika sudah dekat, rupanya rak piringnya cukup tinggi. Mentari mencoba meraih cangkir itu dengan tangannya. Namun, ternyata tangannya tidak sampai. Mentari kemudian melihat sekitarnya. Ia mencari bangku pendek yang sempat ia lihat tadi malam. Saat ketemu, Mentari mengambil bangku pendek itu mendekat ke rak piring. Setelah itu, Mentari naik ke atas bangku kecil itu. Ia kembali mencoba menaikkan salah satu tangannya ke atas dan meraih cangkir yang diinginkannya. Namun, sepertinya masih kurang tinggi. Mentari berjinjit agar ia bisa lebih tinggi lagi. Dengan susah payah, Mentari meraih sedikit pegangan cangkirnya. Namun, tidak berhasil juga. Mentari pun meloncat-loncat kecil agar bisa mengambil cangkirnya. Susah sekali karena tempatnya terlalu tinggi. Tiba-tiba, bangku pendek yang ia tumpangi mendadak tidak stabil dan menjadi goyah karena lompatannya. Membuat Mentari akan jatuh ke lantai. Mentari yang sudah pasrah akan terhempas ke lantai itu pun menutup kedua mata. Namun, setelah selain detik, rupanya ia tidak jadi jatuh. Ada yang menahannya. Mentari merasa kedua bahunya sedang dipegang mencegahnya tidak jatuh. Mentari perlahan membuka kedua mata lalu menoleh ke arah samping. Ia melihat Arka yang sedang memegangi kedua bahunya, menahan agar tidak jatuh. Saat itu, jarak mereka berdua sangat dekat. Hanya sekitar sepuluh sentimeter saja. Keduanya saling tatap. Mendadak, jantung Mentari berdebar lumayan kencang, seolah ia bisa mendengarnya. Mentari pun jadi diam membeku tidak bisa bergerak. Arka lalu menegakkan badan Mentari. Sehingga, Mentari bisa berdiri sendiri di atas bangku pendek itu. Kemudian, Arka mengambilkan cangkir di rak bagian atas. Lalu, memberikannya pada tangan Mentari. Tanpa mengatakan apa-apa. Setelah itu, Arka berbalik dan berjalan menjauhi Mentari. Arka lalu kembali ke meja makan, mengambil ponsel dan tas kerjanya. Kemudian, ia lanjut berjalan menuju pintu dan berjalan keluar. Arka yang sudah di luar, menutup kembali pintu dari luar. Sedangkan Mentari, masih berdiri di tempat yang sama sambil melihat Arka keluar apartemen. Ketika Arka sudah pergi, apartemen itu nampak lebih sunyi. Otaknya ikut membeku sekian detik. Mentari kemudian melihat cangkir yang baru saja diambilkan Arka yang berada di tangannya sekarang. Arka tadi menolongnya, tanpa mengeluarkan sepatah kata apapun. Membuat Mentari merasa aneh sendiri. "Sepertinya, dia memang tidak banyak bicara, ya?" gumam Mentari pelan.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN