Mentari menaiki tangga terakhir di lantai dua. Setelah itu, ia berjalan menuju ke ruangannya. Hari ini, adalah hari pertama ia masuk kerja setelah liburan. Mentari merasa aneh melihat suasana kantor masih lumayan sepi. Padahal sudah hampir waktu jam kerja masuk.
Mentari yang sudah sampai, membuka pintu kantornya. Begitu dibuka, tiba-tiba ia dikagetkan dengan letusan popper kejutan. Beberapa teman karyawan langsung berteriak dan menyambutnya. Tentu saja membuat Mentari terkejut.
"Mentari, selamat atas pernikahannya!"
Karyawan yang memberi kejutan pada Mentari, serentak memberi selamat secara bersamaan. Mentari, berusaha beradaptasi dengan rasa terkejutnya itu, justru merasa kebingungan. Dari mana mereka tahu?! Sehingga, Mentari tidak bereaksi apapun.
"Tari, kenapa tidak bilang kalau kamu menikah?! Selamat, ya!" ujar salah seorang karyawan mendekat ke arah Mentari.
"Tari, meskipun pernikahanmu sederhana, seharusnya kamu kan mengundang kami!" Karyawan lain ikut menempel mengucapkan selamat.
Mentari masih kebingungan. Ia berpikir, padahal yang ia kasih tahu hanyalah Amara. Kenapa semua orang bisa tahu? Mentari lalu menengok ke arah Amara yang juga ada di sana. Ia meminta konfirmasi penjelasan atas apa yang terjadi ini.
Amara hanya menyatukan kedua telapak tangan yang ia letakkan di depan d**a, sebagai tanda permintaan maaf. Membuat Mentari menautkan kedua alisnya heran. Jadi, Amara yang telah mengatakan pada semua orang? Pikirnya.
"Tari, aku juga baru dengar kalau kamu menikah dengan pimpinan Elme Company, ya?! Bukankah itu perusahaan yang sangat besar?" tanya salah satu temannya lagi.
"Benar!" sahut teman lainnya sebelum Mentari menjawab. "Jauh berbeda dengan PT. Megan ini! Bukankah pusat Elme Company ada di London?"
"I ... iya," jawab Mentari terbata.
"Aku juga tahu kalau selama ini kamu kencan dengan pimpinan Elme. Aku hanya tidak menyangka kalau kamu menikah secepat ini!"
"Kencan?" Mentari menautkan kedua alis heran.
"Eeh ... eh! Mentari, bukan menikah dengan orang yang sering terlihat di sini. Dia pimpinan Elme di London. Sedangkan yang menikah dengan Mentari, adalah pimpinan Elme di Indonesia, namanya Arka Prawira," jelas Amara pada semua teman karyawan.
Membuat semuanya jadi menoleh ke arah Amara. Mereka semua nampak mengangguk-anggukkan kepalanya tanda mengerti. Mentari melihat Amara, dan Amara tersenyum ke arahnya.
"Arka Prawira? Aku dengar, di Elme Company memang memiliki dua pimpinan kakak beradik. Kakaknya di sini, dan adiknya di London. Mereka sama-sama hebat! Jadi, Mentari menikah dengan kakaknya, ya?!"
"Ya. Dia sangat baik dan menjaga Mentari," jawab Amara lagi. Mentari sekali lagi menoleh ke arah Amara. Ia merasa beruntung karena Amara bisa membantu menjelaskan pada semua temannya.
"Wah, aku jadi iri," kata temannya yang lain.
"Sekali lagi, selamat ya Tari! Aku ikut senang!"
"Terima kasih. Aku tidak menyangka kalau kalian akan memberikan kejutan seperti ini," jawab Mentari canggung dan terpaksa menerima ucapan selamat pada mereka.
"Kalau begitu, sekarang kalian kembalilah ke kantor masing-masing! Jam kerja sudah hampir mulai!" pinta Amara.
"Ya sudah, kalau begitu kita kembali ya, Tari!" Para karyawan secara bersamaan sekali lagi bersalaman dan memberi selamat pada Mentari.
"Iya ... iya! Terima kasih." Mentari membalas mereka satu persatu.
Para karyawan pun meninggalkan kantor Mentari dan Amara. Mentari, masih berusaha memaksakan senyumnya mengantar kepergian teman-teman mereka. Setelah semuanya pergi, hanya tertinggal Amara dan dirinya di ruangan mereka. Mentari baru bisa menghela nafas leganya. Lalu, ia menoleh ke arah Amara.
"Kenapa mereka bisa tahu?" tanya Mentari pada Amara.
"Ini semua karena aku," jawab Amara dengan ekspresi bersalah. Membuat Mentari menautkan kedua alisnya.
"Apa maksudmu?"
"Tadi pagi aku ingin mengirim pesan padamu, tapi malah salah kirim ke grup kantor," ujar Amara.
"Apa yang kamu kirimkan?" tanya Mentari.
Amara tidak yakin untuk langsung menjawabnya. Ia mengeluarkan ponsel dan menunjukkan layarnya ke arah Mentari. Mentari membaca pesan dari Amara yang salah dikirim ke grup kantor itu.
[Tari, semangat masuk di hari pertama. Apa kamu berangkat diantar suamimu?]
Pesan dari Amara yang membuatnya salah kirim. Mentari membacanya, lalu ia kembali menghela nafas beratnya. Amara jadi serba tidak enak.
"Maaf, Tari. Setelah itu, semuanya langsung bertanya. Aku tidak tahu lagi mau bilang apa? Akhirnya, aku jujur saja pada mereka kalau kamu sudah menikah. Dan, ternyata mereka berencana memberikan kejutan pagi ini. Jadi, aku terpaksa tutup mulut padamu dan menuruti mereka," jelas Amara dengan masih ragu-ragu.
Mentari menghela nafas beratnya. Ia duduk di bangku kerjanya dengan frustasi. Amara pun dengan wajah bersalah, mendekati Mentari.
"Ya sudah. Tidak apa-apa. Lagi pula, memang kenyataannya seperti itu," kata Mentari pasrah. Mentari menoleh ke arah Amara. "Terima kasih, sudah membantuku menjelaskan pada semua teman kita," kata Mentari lagi.
"Apa, kamu sudah memaafkanku?" tanya Amara ragu-ragu. Mentari menganggukkan kepala sembari tersenyum.
"Terima kasih, Tari!" seru Amara sembari mendekat ke arah Mentari. "Lagi pula, menurutku seharusnya memang tidak ada yang perlu kamu rahasiakan. Bukankah kamu juga hamil? Pasti, sebentar lagi mereka juga akan tahu, kan?"
"Apa kamu juga mengatakan kalau aku hamil?!"
"Tentu saja tidak! Tari, kalau dipikir-pikir, bukankah lebih cepat mengaku kamu menikah lebih baik? Karena kalau mereka tahu tiba-tiba kamu hamil, pasti mereka akan bertanya-tanya."
Mentari terdiam berpikir kembali. Sebenarnya, kalimat Amara tidak ada salahnya. Justru terdengar akan lebih mengejutkan kalau Mentari merahasiakan pernikahannya, padahal dia sedang hamil.
"Kamu benar. Sekali lagi, terima kasih sudah membantuku," ujar Mentari. Amara pun bisa tersenyum lega.
"Tari, menurutku kamu menikah dengan kak Arka adalah hal yang bagus. Dengan adanya masalah ini, bukankah kamu tahu kalau Edo tidak bisa diandalkan? Kak Arka lah yang terbaik. Benar, bukan?" ujar Amara. Mentari lagi-lagi hanya terdiam dan tidak segera merespon.
"Sudahlah, Tari. Menurutku, kamu memang harus berdamai dengan kak Arka. Mau bagaimanapun, sekarang kak Arka adalah suamimu. Jadi, seharusnya kamu menjalin hubungan baik dengannya, bukan?"
"Tidak semudah itu, Am."
"Tapi, bukannya tidak mungkin, kan? Aku mendukungmu dengan kak Arka," kata Amara yakin.
"Mudah sekali bicaramu?"
"Baiklah. Mungkin kamu memang butuh proses. Tapi, aku akan menyarankanmu mulailah beri kesempatan pada kak Arka. Kamu sendiri tahu, kan kalau kak Arka waktu itu hanya terpengaruh minuman? Orang yang sedang terpengaruh alkohol, sudah pasti sangat berbeda dengan karakter aslinya. Aku juga sudah kenal kak Arka. Menurutku, dia juga baik. Memang kadang dia dingin, tapi sebenarnya peduli."
"Kamu tahu dari mana kalau dia peduli?"
"Dulu, aku juga pernah kenal dari Edo. Masak kamu tidak ingat?"
"Oooh, iya juga ya?" Mentari mengangguk-anggukkan kepala pelan sembari mengingat. Dulu Amara memang pernah juga secara langsung dikenalkan oleh Edo pada kak Arka.
Tiba-tiba, ponsel Amara berdering. Mengalihkan fokus Amara dan Mentari. Amara mengambil ponsel dan melihat layarnya. Kemudian, ia nampak terkejut.
"Astaga tari! Pak Aris sudah meminta dokumennya. Aku sudah telat! Aku pergi memberikan dokumen padanya dulu, ya!" ujar Amara dengan sedikit tergesa-gesa.
"Iya ... iya!" jawab Mentari mengangguk dua kali.
Amara mengambil dokumen di atas mejanya. Setelah itu, ia segera berjalan ke arah luar kantor mereka. Setelah Amara keluar, Mentari kembali menghela nafas berat di tempat duduk kerjanya.
"Jadi, pada akhirnya semua sudah tahu kalau aku sudah menikah," gumam Mentari berbicara sendirian dengan pelan.
Mentari menggeleng-gelengkan kepala beberapa kali pelan. Ia lalu menyalakan komputer kantornya. Lebih baik, ia fokus bekerja saja hari ini.
Sembari menunggu, Mentari lalu mengambil ponsel dari dalam tasnya. Saat itu, ia melihat vitamin pemberian Arka yang ia bawa ke kantor. Mentari hampir lupa, kalau dari tadi dia membawa vitamin itu bersamanya agar tidak mual. Mentari memandangi vitamin tersebut.
"Mungkin, aku memang tidak perlu terlalu membenci kak Arka," gumam Mentari berbicara sendiri.