Bab 12. Senyum yang Menghilang

1104 Kata
Mentari membuka kedua matanya perlahan sambil mengedipkannya. Bau obat tercium begitu ia tersadar. Arka yang sedang menunggu di sampingnya itu, segera berjalan mendekati Mentari saat mengetahui istrinya siuman. "Mentari?! Kamu sudah sadar?!" tanya Arka dengan nada cemas. "Aku di mana?" Mentari sambil melihat sekitar. "Kamu di rumah sakit. Tadi kamu pingsan. Sebentar, aku akan memanggilkan suster dulu!" Arka kemudian pergi keluar, meninggalkan Mentari sebentar untuk memanggilkan perawat. Mentari melihat Arka yang pergi terburu-buru keluar itu. Selagi menunggu, Mentari terdiam merasakan tubuhnya yang lemas. Sembari menatap ke arah langit-langit, Mentari kembali mengingat kejadian yang tadi menimpanya. "Mentari, bertahanlah! Aku di sini. Kamu tidak akan terluka." Lamat-lamat, Mentari mendengar lagi suara itu di kepalanya. Sepertinya tadi itu adalah suara Arka. Tapi, kenapa rasanya sama persis seperti yang pernah dialami Mentari sekitar satu tahun yang lalu? Tidak lama, Arka datang kembali membawa seorang perawat. Perawat itu berjalan ke arah Mentari dan segera memeriksa kondisi Mentari. Arka diam dan memperhatikannya. "Kondisinya sudah cukup stabil. Mungkin, tadi kamu hanya terkejut, sampai pingsan," tutur perawat itu, setelah mengecek tekanan darah Mentari. "Terima kasih," jawab Mentari menanggapi perawatan tersebut. Mendengar penjelasan perawat itu, Arka nampak menghela nafas lega. Perawat itu pun meneruskan pemeriksaan yang lain pada Mentari. Mentari lalu menoleh ke arah Arka. "Kak Arka?" panggil Mentari membuat Arka mendekat ke arahnya. "Iya? Ada apa?" "Aku haus. Apa, Kakak bisa membelikan minum untukku?" "Tentu saja! Aku akan membelikannya untukmu sekarang." Arka kemudian berbalik dan berjalan ke arah pintu. Saat berjalan keluar, Perawat yang sedang memeriksa Mentari itu memperhatikan Arka. Setelah Arka sudah tidak terlihat, ia kembali melihat ke arah Mentari lagi. "Ngomong-ngomong, pacarmu itu sangat perhatian sekali, ya?" ungkap perawat tadi. Mentari pun terhenyak mendengar ungkapan perawat itu. "Dia bukan pacarku!" sanggah Mentari yang refleks begitu saja. Membuat perawat sampai terkejut. "Oooh, baiklah ... baiklah! Maaf, aku salah ya?" Mentari pun jadi terdiam sejenak. Sepertinya, ia sendiri juga sedang keceplosan berkata dengan intonasi keras pada perawat tadi. Ia jadi merasa bersalah dan ingin membuat suasana nyaman kembali. "Dia ... suamiku," kata Mentari. Perawat tadi pun tersenyum mendengarnya. "Oooh, kalian sudah menikah, ya? Pantas saja kamu marah," ujar suster lagi. Mentari hanya menghela nafas panjangnya. Ya, mau menolak seperti apapun, kenyataannya memang Arka adalah suami Mentari. Sedangkan di luar kamar pasien, Arka masih berdiri di ambang pintu. Ia bisa jelas mendengar percakapan antara Mentari dan perawat tadi. Begitu mendengar Mentari mengakuinya sebagai suami, Arka menyunggingkan satu senyuman tipisnya. Ia lalu melanjutkan langkahnya pergi untuk membelikan Mentari minum. Meski senyumannya tipis, tapi sebenarnya hatinya sedang berbunga-bunga. *** Arka berjalan melewati koridor sambil membawa minuman pesanan Mentari. Ia sudah kembali. Dari tadi, ia berjalan dan terus tersenyum-senyum sendirian. Entah apa yang sebenarnya membuatnya amat bahagia? Arka sudah sampai di depan pintu kamar Mentari. Dengan sangat antusias, ia langsung membuka pintu bersemangat akan menemui Mentari kembali. Namun, begitu pintu terbuka, senyuman lebarnya itu, perlahan memudar. "Hai kak Arka!" Di dalam kamar Mentari, sudah ada Amara, yang menemani Mentari. Arka lihat, Amara juga sudah membawakan minuman dan makanan untuk Mentari. Arka pun jadi langsung memasang wajah datar tanpa ekspresi. Ia kemudian berjalan mendekat ke arah kasur Mentari. Ia tidak membalas sapaan Amara sebelumnya. "Maaf tadi menyuruh Kak Arka membelikan minuman untukku. Amara, sudah membawakan minuman untukku saat dia ke sini," ujar Mentari. Arka diam dan tidak membalas ungkapan Mentari. Ia meletakkan minuman yang ia beli di meja dekat ranjang pasien dengan tatapan dingin. "Kak Arka masih ingat aku?!" seru Amara. "Aku Amara, sahabat Tari! Waktu itu, saat Tari dan Edo berkencan, aku juga ikut dikenalkan dengan Kak Arka!" lanjutnya. "Hm!" Di luar dugaan, Arka hanya menanggapi dengan merapatkan kedua bibir dan tetap memandang Amara dengan tatapan dingin. Membuat Amara dan Mentari merasa aneh. Mereka berdua saling pandang dan bingung akan sikap Arka. Amara mencoba kembali untuk basa-basi. "Ngomong-ngomong, apa Kak Arka sudah makan malam? Aku tadi ke sini membawakan beberapa mak—" "Aku tidak lapar!" potong Arka begitu saja. Membuat Amara tercekat dibuatnya. Amara heran melihat sikap Arka padanya. Arka masih melihat Amara dengan tatapan dinginnya. "Jam besuk sudah selesai! Mentari harus segera istirahat! Hari juga sudah malam. Lebih baik, kamu pulanglah!" kata Arka pada Amara dengan nada dan wajah datar. Amara semakin bingung dibuatnya. Ia lalu diam-diam mendekat ke arah Mentari. "Ada apa dengan suamimu? Kenapa sepertinya dia tidak suka padaku?" bisik Amara pada Mentari. "Aku tidak tahu? Padahal tadi dia masih terlihat biasa saja," jawab Mentari. "Apa karena aku sudah membawakan minuman untukmu lebih dulu?" Mentari hanya menaikkan kedua bahunya menjawab pertanyaan Amara. Amara menautkan kedua alisnya heran. Ia kemudian menjauh kembali dari Mentari. Lalu, tersenyum canggung ke arah Arka. "Benar! Jam besuk sudah selesai. Kalau begitu, aku akan pulang dulu. Cepat sehat ya, Tari," kata Amara. "Hm ... mm! Terima kasih sudah datang, Am!" jawab Mentari. Amara pun berjalan keluar kamar pasien. Saat ia melewati Arka, Arka nampak tidak acuh dan mengabaikannya. Membuat Amara semakin bingung sendiri. Setelah Amara keluar, mereka saling diam. Mentari melihat ke arah Arka yang masih memberikan ekspresi datar. Membuatnya penasaran. Arka lalu menoleh ke arah Mentari. "Bagaimana dia bisa tahu kamu di sini?" tanya Arka dengan nada datar pada Mentari. "Tadi, teman kantorku menelponnya. Begitu tahu aku dilarikan ke rumah sakit, dia langsung bergegas kemari," jawab Mentari. Arka lalu kembali menghela nafas panjangnya. Mentari masih memperhatikannya. "Kak Arka kenapa? Begitu melihat Amara di sini, senyum Kak Arka langsung menghilang. Sepertinya, Kak Arka tidak suka dengan Amara?" "Aku memang tidak menyukainya. Dia kelihatan tidak baik padamu." "Apa yang kak Arka bicarakan?! Kak Arka sama sekali tidak tahu, dia adalah sahabatku sejak lama. Dia sangat baik padaku." Arka terdiam dan tidak menjawabnya. Ia hanya bisa kembali menghela nafas beratnya. Seolah sedang memikirkan sesuatu. Sedangkan Mentari, masih memperhatikannya dengan penasaran. "Kak Arka, sudah pernah kenal dengan Amara sebelumnya, kan? Aku ingat, dulu kalian bisa saling kenal dengan baik?" ungkap Mentari lagi. Arka lagi-lagi hanya diam seribu bahasa. Ia masih enggan membahasnya. Kemudian, ia menoleh ke arah Mentari. "Sudah malam. Tidurlah. Malam ini, kamu masih harus tidur di sini. Besok kita baru bisa pulang," kata Arka yang tidak menjawab pertanyaan Mentari sebelumnya. Setelah berkata begitu, Arka berbalik. Ia berjalan ke arah pintu keluar rumah sakit. Mentari memperhatikan Arka yang wajahnya terlihat resah. Ia bingung juga kenapa Arka begitu? "Apa mungkin dia sedang lelah?" tebak Mentari berbicara sendiri. Mentari yang tadinya sedang makan itu, kembali meneruskan makanan yang dibawakan oleh Amara. Mentari yang lapar karena belum makan malam, nampak makan dengan lahap. Sedangkan dari arah luar, Arka diam-diam memperhatikan Mentari dari jendela kecil yang tembus pandang. Melihat Mentari yang makan dengan senang itu, mendadak ia justru merasa sedih. Ia tidak bisa membayangkan, senyuman Mentari yang amat tulus itu, juga akan segera menghilang.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN