DUA BELAS

1206 Kata
Happy Reading and Enjoy Aku melihat jam tangan kecil yang melingkari pergelangan tanganku, cukup terlambat karena sudah mulai macet jam istirahat. Pukul 12.29 aku tidak tau apakah Reynald masih berada didalam atau sudah pergi karena menunggu terlalu lama. Lagipula aku sudah lapar, kalaupun  dia sudah pergi aku juga sudah lelah menunggu penjelasan dari dia yang tiba-tiba muncul dan melamarku. Aku mengedarkan pandanganku menatap sekeliling, dan tak mendapati dia dimanapun. Akhirnya aku memilih duduk disalah satu tempat yang cukup privasi lalu memesan makanan yang cukup banyak karena lapar. Aku memainkan phonselku membuka akun i********: untuk sekedar membuat story atau melihat lihat beranda, hingga sebuah tepukan mendarat di bahuku, dan aku menoleh. Menatapnya yang berdiri di belakangku. “Saya fikir kamu nggak akan datang” Senyum yang begitu tipis terukir diwajahnya hingga membuatku menoleh kemanapun asal tak lagi menatapnya. “Boleh duduk?” tanyanya dan aku langsung mengangguk. Entah apa penyebabnya, aku selalu seolah merasa gugup jika berada didepan pria itu, padahal berdiri dan berbicara didepan banyak orang, aku merasa kalau aku baik-baik saja. Dan semua tidak baik-baik saja jika mengenai pria yang sudah duduk santai dan memesan makanan pada pelayan. Ohh Giana, sadarlah….. “Aku boleh bertanya sesuatu?” Tanya pria itu dan aku langsung mengangguk. Bukankah pria itu sudah bertanya? “Kamu…. Mengenal Hansen?” Kernyitan dikeningku pasti muncul, karena merasa heran. “Kenapa?” “Tidak…. Hanya saja, kalian tampak dekat”   Sejak pria itu menanyakan tentang kedekatanku dengan Hansen, kami tak lagi saling bicara. Aku menyantap es krim yang baru saja datang sebagai makanan penutup. “Gigi” panggilnya, aku mendongak menatap matanya sekilas lalu kembali menatap apapun agar tidak menatap matanya. “Kenapa setiap kita berbicara kamu tidak pernah menatap mata saya” jantungku berdenyut, lebih ke terkejut kalau dia benar-benar memperhatikan setiap gerak gerikku saat bersamanya. “Entahlah” jawabku singkat. “Kamu marah dengan saya yang tiba-tiba melamar kamu?” tanyanya to the point, aku mengerit lalu mendengus tidak suka. “Kamu jangan mempermainkan keluarga saya kalau kamu ingin mempermainkan saya” jawabku ketus lalu mengaduk aduk es krimku tanpa berniat memakannya. “Kamu beranggapan bahwa saya hanya bermain-main?” tanyanya dengan nada getir, aku mampu menangkap nada kekecewaan dari kalimatnya. Dengan sedikit keberanian aku mendongak menatap matanya yang menyiratkan kekecewaan. “Maaf” bisikku dengan sedikit rasa bersalah yang sedikit menggangu. “Saya mengerti, apalagi saya tidak mengatakan apapun dan tiba-tiba melamar kamu pada papa kamu, tapi saya serius dengan apa yang saya katakan. Saya jauh-jauh datang menemui Papa kamu bukan untuk mempermainkan kamu, apalagi keluarga kamu” jawabnya lugas. Aku tak mengerti kenapa terbesit sedikit harapan dibenakku kalau memang dia benar-benar serius dengan apa yang dia katakan dengan papa. Selain sedikit lega karena jika dia benar-benar serius aku akan segera terbebas dari tekanan pertanyaan ‘kapan nikah?’ dan…. Entah kenapa aku merasa kalau dia memang, berbeda. “Tapi kita baru saling mengenal” jawabku yang masih berusaha mempertahankan kewarasanku. Kami bertemu sekitar 2 bulan yang lalu untuk urusan pekerjaannya, sedangkan aku yang mengawasi semuanya dan baru kembali bertemu beberapa minggu yang lalu. Setelah itu tidak ada komunikasi apapun antara aku dengannya. “Saya hanya perlu membuat kamu yakin bahwa saya serius dengan kamu, sekalipun kita baru saling mengenal, jika kamu setuju untuk dekat dengan saya, saya pikir tidak ada salahnya untuk saling mengenal lebih dalam sebelum akhirnya saya benar-benar melamar kamu secara resmi didepan Keluarga kamu” Aku tak mengerti kenapa pria tampan ini begitu gila untuk melamar seorang perempuan yang baru dikenalnya, tidak ada pendekatan dan obrolan secara pribadi sama sekali. “Jadi… kita.. emm, Pacaran?” tanyaku agak mengerit tidak setuju dengan kalimat yang ku lontarkan sendiri, aku tak tau bahasa apa yang tepat untuk sebuah hubungan seperti ini. Dia mengangguk namun langsung menggeleng didetik berikutnya. “Bisa dibilang seperti itu, namun saya tidak mau, saya ingin lebih dari itu, Gi” jawabnya, jantungku berdetak lebih keras. “Kamu… Muslim?” tanyaku sedikit ragu, melihat wajahnya yang sedikit kebule-bulean membuatku sedikit ragu, dan aku baru sadar akan hal itu. Dia terkekeh, dan kekehannya itu begitu terdengar merdu ditelingaku. “Tentu saja, kamu pikir?” tanyanya, aku menggeleng lalu meneguk air kelapa murni yang ku pesan tadi. “Jadi kamu setuju untuk kita saling mengenal satu sama lain?” sambungnya dan aku mengangguk sedikit ragu. “Kalau salah satu dari kita tidak nyaman atau tidak merasa cocok kita boleh mengakhiri hubungan yang entah apa namanya ini kan?” tanyaku padanya. Dia mengangguk pasti. “Tapi saya yakin kamu adalah jodoh yang ditakdirkan untuk saya” “Kenapa kamu seyakin itu?” tanyaku padanya. “Karena Saya sudah meminta pada Tuhan sebelum akhirnya saya meminta pada Papa kamu” Dan perutku terasa tergelitik, seolah ribuan kupu-kupu berterbangan disana. *** Aku sadar diumurku yang sudah hampir kepala 3 ini untuk tidak bermain-main dengan sebuah hubungan, dan Reynald benar-benar menawarkan hubungan yang serius, bukan hubungan macam anak muda yang menghabiskan waktu hanya bertengkar dan saling merindu. Aku bahkan Reynald sekalipun pasti belum memiliki cinta selayaknya sepasang anak manusia yang memang berniat untuk menjalin sebuah hubungan. Tapi aku yakin dengan komitmen dan kepercayaan semuanya akan baik-baik saja, aku yakin akan hal itu. Ketika sehabis makan siang tadi, aku dan Reynald mulai dengan berkenalan secara resmi dan aku baru tau jika dia bukan orang Indonesia. Aku tak tau jika itu akan menghambat atau tidak, apalagi Mama yang tentu saja memintaku untuk tetap menikah dengan orang lokal agar lebih mudah dikunjungi. Tapi tampaknya Mama harus mengalah lagi kali ini. Ting. Mas Rey Saya sudah sampai di hotel. Aku hanya membalas ‘oke’ Karena masih terlalu cangung untuk memulai sebuah obrolan yang intim. Aku yakin dia dan kedewasaannya mampu menuntunku, mengayomiku juga anak-anak kami nanti, aku masih ragu tentang hubungan yang terlalu cepat ini akan berhasil, namun entah kenapa aku mampu membayangkan masa depan seperti apa yang kami bangun nantinya. Aku tau, harapan yang tak menjadi hanya akan menjadi luka, tapi tak apakan jika aku berharap pada pria itu kali ini? Aku belum mengatakan apapun pada Mama, Papa maupun Amel karena jika aku mengatakan pada Amel, dia akan membeberkan kabar yang bisa dikatakan bahagia ini pada keluarga kami. Reynald juga ku minta untuk tidak memberitahu pada keluargaku, termasuk papaku. Aku ingin membuat hubungan yang entah apa namanya ini berjalan seperti semestinya, berkenalan dan PDKT seperti hubungan pada umumnya. Ting. Bunyi pertanda pesan masuk kembali terdengar. Mas Rey Nanti malam saya harus kembali ke Singapore. Seriously? Ya, Cuma sebentar, nanti ke Jakarta lagi buat Cek rumah. Okey. Rumah siapa? Rumah buat kamu kalau kita nikah nanti lah. Udah ah. Aku mau mandi. Kerjaan kamu yah, godaan aku mulu. Phonselku berdenting lagi setelah aku keluar dari aplikasi Chat’ku. Namun aku lebih memilih mengabaikannya, lebih ke deg-degan kalau bersama dengannya, maupun ketika melakukan chating dengannya. Aku baru tau kalau Reynald itu suka menyelipkan kalimat godaan setiap kami melakukan komunikasi lewat chating. Setelah mencoba memejamkan mata, aku kembali teringat akan Hansen yang mungkin masih menunggu jawabanku, tapi semoga saja dia hanya bermain-main ketika dia mengutarakan isi hatinya kala itu. Aku kembali mengambil phonsel, membuka chat dan mengabaikan chat dari Reynald terlebih dahulu, mencari kontak Hansen dan mengetikkan pesan untuk pria itu. Sen, besok bisa bertemu?
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN