Hari Pertama

992 Kata
Pukul lima pagi, Attaya telah memarkirkan mobilnya di lapangan sebelah tetangga Tiara. Ia sengaja datang sangat pagi karena khawatir, Tiara kabur mendahuluinya. Saat ia sampai di depan pagar, Ruby baru saja keluar dari pintu samping, menenteng sapu lidi. Ia terkejut melihat kedatangan Attaya sementara Tiara masih tidur. "Aih, pagi-pagi sekali, Pak. Tiara masih tidur loh. Sebentar saya bangunin dulu ya," sapa Ruby seraya membukakan kunci pagar. Attaya dipersilakan masuk ke dalam rumah kemudian Ruby membuatkan teh manis panas untuk lelaki itu. Setelah menghidangkan teh panas, ia bergegas ke kamar Putri semata wayangnya. Membangunkan Tiara dengan lembut sambil mengatakan bahwa Attaya telah menjemputnya dan sedang menunggu di ruang tamu mereka. Tiara tersentak kaget. Seketika sisa kantuknya lenyap entah kemana. Wajahnya terlihat gusar. "Nagapin sih dia ke sini? Malu kan sama tetangga kalau subuh-subuh datang bertamu. Mau apa sih dia tuh ya?" Tiara bangkit dengan wajah cemberut. Tanpa menghiraukan dirinya dengan rambut acak-acakkan, mata sembab dan muka bantal, ia melangkah menuju ruang tamu. "Eh, eh ..., Ara!" seru Ruby yang terkejut atas kenekatan putrinya. Terlambat, gadis itu telah berdiri di hadapan Attaya dengan wajah mengetat. Marah. Sementara Attaya senyam-senyum melihat penampilan Tiara yang di matanya sangat lucu juga menggemaskan. "Subuh-subuh datang ke sini, kamu pikir tidak akan menjadi masalah bagi kami? Di sini tetangga doyan gosip semua. Bagaimana perasaan mamaku kalau anaknya digosipin? Kamu mikir ke sana gak?" hardik Tiara kepada Attaya. Lelaki itu tersenyum. Apa yang dikatakan oleh Tiara mungkin agak berlebihan. "Hmm ... kira-kira, gosipnya seperti apa, Ara?" tanya Attaya agak serius. "Bisa aja digosipin aku cewek gak bener. Didatangin laki-laki subuh-subuh," tukas Tiara kebingungan. Ia pun tidak tahu akan digosipkan seperti apa. Attaya terkekeh. "Di mana-mana, lelaki yang harus mendatangi kekasihnya. Bukan begitu?" sahut Attaya. "Kekasih?! Kapan jadian heh, sembarangan!" sentak Tiara dengan napas tersengal. Dengan santai, Attaya berkata, "Kesepakatan kita semalam kalau kita resmi menjadi kekasih mulai pagi ini selama dua minggu. Tapi jika dalam dua minggu kamu tidak bisa lepas dari aku, maka kita akan lanjut dan aku akan menikahimu." Tiara terbelalak. Ia baru ingat kesepakatan semalam, seketika dirinya merasa malu tapi tidak ingin memperlihatkan perasaannya itu. "Huh!" keluh Tiara seraya membalikkan tubuhnya dan meninggalkan Attaya yang tersenyum simpul. Gadis itu melangkah tergesa-gesa ke arah dalam dan bertabrakan dengan ibunya. "Aih, Ibu! Ngapain di sini? Nguping ya?" Tiara masih memendam rasa kesal terhadap segalanya. Tapi, sejurus kemudian ia sadar telah berlaku tidak sopan pada ibunya. "Maaf, Bu. Ara cuma kesal," ucapnya dengan nada menyesal. "Tidak apa, tapi bukan hanya kepada ibu saja kamu harus sopan. Tapi, ke semua orang apalagi yang berniat baik padamu. Ibu tidak mengajarkan kamu berbuat kurang ajar kepada tamu yang datang ke rumah kita." Ruby menatap putrinya sambil menggelengkan kepala. "Maaf, Bu." Tiara menunduk. "Aku mandi dulu," pamitnya merasa tidak enak hati dan merasa bersalah. Rubyah menghela napas sambil menatap punggung Tiara. Sejujurnya ia sangat terkejut, putrinya yang lemah lembut ternyata bisa bersikap kasar dan tanpa etika. Kini, ia menanggung malu kepada Attaya, seolah-olah tidak pernah mendidik putrinya dengan baik. "Pak, saya mohon maaf atas kelakuan Tiara. Aslinya dia tidak seperti itu. Entahlah, sejak ke Jakarta dia malah berubah. Ibu janji akan mengajarinya kembali dengan baik," kilah Rubyah yang merasa tidak enak hati kepada tamunya. Attaya tersenyum. "Tidak apa-apa, Bu. Tiara hanya merefleksikan rasa tidak sukanya kepada saya meskipun kadang lebay, berlebihan," sahut Attaya sambil mengangguk. "Kalau begitu, ibu tinggal dulu ya ke belakang," pamit Ruby sambil bangkit dari tempat duduknya. Attaya mengangguk, ia masih terbayang tampilan Tiara yang baru bangun tidur dengan rambut bagai benang kusut. Wajah itu begitu alami dan segar. Membuat senyumnya terkembang dan kesegaran itu akan membawa dampak bagus pada jam-jam yang akan dilaluinya. Attaya ditinggalkan sendirian sampai pukul enam lewat tiga puluh. Tepat saat itu, Ruby menghampirinya. "Pak, ayo ikut ke dalam. Perutnya harus diisi dengan sarapan. Sini," ajak Ruby sambil mengayunkan tangannya ke arah dalam. Lelaki itu bangkit berdiri, lalu mengikuti Ruby masuk ke arah dalam. Ruby mempersilakan tamunya duduk dan sudah ada Tiara di sana yang sedang memakai stoking pada kaki jenjangnya. Satu piring berisi sedikit nasi kuning dengan lauknya telah tersedia untuk Attaya. Ia melirik pada Tiara yang juga sedang menghadapi piringnya. "Ara ... makan yuk," ajak Attaya dengan lembut. "Hem!" dengus Tiara tak acuh. Selama sarapan itu, Tiara tidak mengatakan apapun. Ia hanya bertugas menghabiskan apa yang dihidangkan oleh ibunya, suka tidak suka atau mau tidak mau, Tiara terbiasa tidak membuang-buang makanan sebagai bentuk rasa syukur atas rejeki Tuhan untuknya. Selesai makan, Tiara segera pamit kepada ibunya, begitu pun Attaya. Keduanya keluar dari rumah menuju lapangan di mana mobil Attaya terparkir. Melihat mobil tersebut, Tiara merenggut. Ia tidak suka sama sekali harus menaiki mobil mewah yang hanya akan memancing gosip dan iri hati dari orang-orang. "Ayo, masuk." Attaya membukakan pintu mobil untuk Tiara. Gadis itu tertegun sejenak, tapi kemudian masuk ke dalam mobil dan meraih safety belt. Terlihat wajahnya semakin tertekuk. "Oke, Sayang ... hari ini aku antar kamu kerja dan nanti sore aku jemput kembali. Jam makan siang, aku akan membawamu makan," tutur Attaya seraya menjalankan mobilnya. "Kalau kamu mau ajak aku makan, mau jemput aku, bisa gak jangan pake mobil mewah kaya gini?!" seru Tiara dengan nada kesal. Attaya kebingungan dengan kemarahan Tiara. Tapi ia tidak mampu menanyakannya kenapa gadis itu marah dengan mobil yang dikendarainya. "Lalu, aku jemput sayangku pake apa?" tanya Attaya tanpa menyembunyikan keheranannya. "Pake motor! Sediain helmnya buatku!" Nada suara Tiara meninggi. "Oh, begitu ya, oke, Cantik, nanti siang aku jemput kamu pakai motor ya dan bawa helm baru," sahut Attaya dengan tenang. Tiara tertegun. Tidak disangkanya lelaki itu tidak membantah sama sekali, tapi langsung menyetujui ucapannya. Sambil mendengus kecil, ia berujar di dalam hatinya, 'Hm ... gak bakalan betah naik motor lama-lama, lihat aja nanti, ha ha.' Pukul delapan kurang sepuluh menit, Attaya memarkirkan mobilnya tepat di depan pintu masuk kantor baru Tiara. "Sudah sampai, Cantik. Selamat beraktifitas," ujarnya sambil mengangguk perlahan dan tersenyum. Gadis itu tidak menyahut. yang tetap bergeming, tanpa menoleh sedikit pun. ◇◇◇◇
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN