"Semua gara-gara kamu! Kenapa kamu sangat terburu-buru menyuruh Atta menikah?!" Lengkingan suara Elaina memekakkan telinga Mahendra.
"Gara-gara aku kamu bilang? Heh, denger ya! Denada yang mendesak terus, sementara ayah dan ibunya ikut-ikutan mendesak!" sergah Mahendra. Ia tidak terima dituduh sebagai biang penyebab menghilangnya Attaya.
"Sama saja! Sebagai seorang ayah, harusnya kamu bersikap bijak menghadapi anaknya! Ini kok jadi kaya kamu yang disetir oleh mereka?!" seru Elaina tidak mau kalah.
"Kamu ngerti gak sih kalau perkawinan ini sangat penting bagi kita? Bagi kelangsungan hidupmu yang glamour itu!" bentak Mahendra dengan emosi yang meluap.
"Jadi, kamu menyalahkanku? Dari mana juntrungannya gaya hidupku menjadi sebuah kesalahan, ha?!" bantah Elaina kebingungan.
"Memangnya kamu mau jual seluruh aset kita untuk menutup kerugian yang timbul kalau Atta menolak kawin sama Denada? MIKIR!" teriak Mahendra dengan mata melotot dan wajah menggelap.
"Oh, jadi gara-gara itu kamu maksa Atta sampai dia menghilang tanpa kabar dan entah berada di mana? Atau jangan-jangan anakku sudah tidak bernyawa di suatu tempat. Bukankah jelas gara-gara kamu semuanya?!" teriak Elaina. Ia tidak ingin menerima kebenaran dari ucapan Suaminya.
"Ngomong seenak udel aja. Anak sendiri malah didoain mati! Ibu macam apa kaya begitu?" Mahendra mendengus kesal sambil membuang wajahnya, ia sedang tidak ingin melihat wajah sang istri.
"CUKUP! Pokoknya tidak mau tahu! Kerahkan semua kekuasaanmu untuk menemukan anakku! Ingat, dia sudah minggat satu minggu tanpa kejelasan dan tanpa kabar. Kamu yang buat dia menghilang, sekarang kamu yang tanggung jawab!" Elaina bangkit berdiri dan segera berlalu dari ruang keluarga menuju kamar pribadinya.
Braak
Suara pintu dibanting dengan sangat keras.
Terdengar helaan napas memburu dari seorang wanita yang merasa kecewa kepada suaminya. Ia membanting tubuhnya ke atas kursi sofa yang empuk di dalam kamar pribadinya.
Sudah lima tahun, antara suami dan istri pisah kamar. Bukan karena di antara mereka ada masalah rumah tangga, tapi lebih kepada memilih kenyamanan masing-masing.
Mahendrata tidak menyukai air conditioner yang terlalu dingin, karena membuatnya mudah terserang sakit, sementara Elaina harus tidur dengan udara yang sangat dingin. Selain itu, Elaina tidak tahan dengan suara dengkuran Mahendra yang semakin bertambah usia justru semakin kencang hingga ia selalu merasa terganggu dan kehilangan momen tidur yang berkualitas.
Namun, cekcok besar karena pertengkaran baru kali ini terjadi setelah bertahun-tahun. Dulu, lima tahun pertama perkawinan mereka, keduanya pernah ribut besar karena perselingkuhan serius yang dilakukan oleh Mahendra dengan seorang wanita sederhana yang miskin. Benar-benar masa lalu kelabu bagi Elaina. Selebihnya, wanita yang telah melahirkan Attaya Mahendra itu tidak bisa lagi berlaku pada suaminya seperti sebelum terjadi pengkhianatan tersebut.
Elaina menangis tersedu-sedu. Kemarahannya karena tidak tahu menahu keberadaan putra semata wayang mereka, membuat ia tidak bisa berpikir secara rasional. Satu minggu penuh, Atta meninggalkan rumah dan belum kembali sampai saat ini. Menghilang bagai ditelan bumi, tanpa kabar dan berita.
Sementara, Mahendra memikirkan masalah lain yaitu apa yang akan dikatakannya kepada Brata kalau putranya menghilang tidak tahu di mana rimbanya? Bukankah akan terlihat jelas kalau Atta sengaja menghindar dari perjodohannya dengan Denada?
"Aah! Pusing!" seru Mahendra seraya merapikan rambutnya dan mendengus ke arah pintu yang dibanting Elaina. "Dasar egois, cih."
Mahendra segera beranjak ke kamarnya sendiri, ia harus menelepon seseorang untuk mengerahkan segala upaya dalam rangka mencari putranya yang berdampak besar pada perusahaan. Banyak rapat-rapat penting yang ditinggalkannya. Hal itu berimbas pada dirinya yang menjadi repot karena harus mengatasi semua.
Sementara sang putra di kota Bogor, telah menemukan tanda-tanda terpikatnya Tiara kepada dirinya. Ia sedang mengalami saat-saat yang paling mendebarkan dari upayanya mendekati gadis itu. Kini, ia sedang berpikir untuk membuat Tiara benar-benar jatuh hati padanya.
Siang itu, begitu terik. Hari-harinya mengendarai motor dan baru tersadar bahwa panas matahari bisa membuat Tiara tidak nyaman. Ia menatap gadis itu dari atas motor yang masih menyala. "Ara, bagaimana kalau kita naik taksi aja? Panas loh ini, aku gak mau kamu merasa kegerahan," ucap Attaya sambil tersenyum.
"Ya, aku juga merasa terganggu sih, tapi ... waktu istirahatku pendek loh. Naik motor aja ah, ayo jalan," ujar Tiara seraya memakai helm berwarna merah muda.
"Okelah, siapa takut?" sambar Attaya terkekeh.
Setiap hari makan siang di tempat yang berbeda dan makan malam di rumah Tiara dengan hidangan yang berbeda pula. Setiap malam, Attaya dan Tiara pergi mencari makanan untuk disantap di rumah. Keduanya tanpa terasa makin dekat satu sama lain. Meskipun gadis itu masih saja bersikap tak acuh, bicara seenaknya dan bersikap seenaknya kepada Attaya.
Setelah acara makan malam, Attaya berpamitan untuk kembali ke hotel dan akan datang lagi pukul enam pagi, menjemput sang putri jutek yang sangat cantik.
Tanpa terasa, hari pun berlalu. Tiba saatnya di suatu malam sebelum hari kesepakatan berakhir. Wajah Attaya tampak murung. Sebaliknya, Tiara terlihat bergembira.
"Ara, masihkah kamu belum menemui jawaban bagaimana perasaanmu kepadaku?" tanya Attaya secara langsung.
"Hm ... bagaimana ya? Sungguh aku menikmati kebersamaan kita, tapi mengenai perasaan sepertinya butuh diuji dulu, Atta. Bagaimana kalau setelah ini kita berpisah? Tinggalkan aku tanpa kamu harus menghubungiku," ucap Tiara dengan yakin.
Attaya terdiam, ia merasakan sedikit goresan di dalam hatinya. Besok adalah hari terakhir dari kesepakatan mereka. Dua minggu memiliki akhir yang jawabannya sangat mudah ditebak jika sikap Tiara masih jual mahal seperti ini. Attaya akan pulang dengan perasaan hancur.
Sepanjang hari wajahnya tertekuk dalam-dalam. Pengorbanan yang telah dilakukan Attaya cukup besar. Ayah ibunya pasti kebingungan mencari dan mereka bisa dipastikan sangat khawatir. Belum lagi urusan bisnis yang diperkirakan ada beberapa proyek yang gagal jatuh ke tangannya hanya demi untuk memikat sang pujaan hati.
"Nanti malam, kita ke cafe ya, aku butuh menyaksikan life music dan memiliki kebersamaan yang lama denganmu." Attaya mengatakannya tanpa menoleh kepada Tiara.
Gadis itu tentu saja tidak mau. Ia tidak suka dengan hal-hal yang berbau kesenangan malam. Life music tidak pernah sekalipun menyenangkan dirinya. Gadis itu membuka mulutnya ingin menyatakan penolakan, tapi ... melihat Attaya yang sudah murung seharian, ia merasa tidak tega menolak secara langsung. "Hm ... boleh sih, tapi, gak lama gak apa-apa kan? Aku lebih suka melewatkan malam di rumah ketimbang di luar apalagi dalam keramaian," sahut Tiara.
"Sebentar tak apa, Ara. Makasih ya," ujar Attaya sambil menghela napas.
Seperti biasa, Mereka makan malam bersama dengan Rubyah. Mengobrol dan bercanda, tapi kemurungan Attaya terlihat jelas oleh wanita setengah baya itu. "Atta, ada yang mengganggu hatimu? Apakah masalah pekerjaan?" tanya Ruby dengan keprihatinan yang tulus.
"Semua baik-baik saja, Bu," kilah Attaya meski sebenarnya ia tidak tahu sama sekali perkembangan kantornya karena memang sedang menutup diri dan fokus mengejar Tiara.
"Bu, saya minta ijin mengajak Tiara jalan-jalan ke cafe. Tidak sampai malam, sebentar saja," pamit Attaya sambil menunduk.
"Ya, boleh saja. Tapi janji ya, jangan kemalaman. Kalian segera berangkat biar cepat pulang," jawab Ruby sambil tersenyum dan melirik putrinya yang tampak tidak tertarik atas ajakan Attaya.
"Iya, Bu, Janji," sahut Attaya. Kemudian ia menoleh kepada Tiara. "Ayo jalan takut kemaleman," ajak Attaya seraya berdiri dari atas kursinya.
Tiara bangkit dengan bahasa tubuh enggan. Tapi ia sudah terlanjur mengiyakan jadi tidak ada alasan untuk membatalkan ajakan lelaki itu. Keduanya berangkat mengendarai sepeda motor dan saling berdiam diri sepanjang jalan.
Sesampainya di cafe, ternyata Attaya telah memesan tempat di bagian paling strategis di dalam cafe yang selalu banyak pengunjung tersebut. Ia mempunyai kejutan yang telah dipersiapkan dibantu dengan orang-orang yang bekerja di cafe tersebut. Karena janjinya tidak akan berlama-lama di sana, Attaya memberikan isyarat agar acara yang direncanakannya segera di mulai.
Lewat pukul sepuluh saat pemain band selesai membawakan lagu pertamanya, Sang vokalis mengumumkan sesuatu.
"Malam ini adalah malam istimewa karena dua hati akan dipersatukan dalam nama cinta diiringi sebuah lagu yang indah. Siap?! Ayo kita mulai."
Lampu cafe diredupkan perlahan dan pada neon sign panjang yang menempel pada dinding panggung, menyala. Sederet tulisan bergerak maju perlahan dengan sangat jelas.
... Teruntuk gadis cantik yang tidak mampu mengalihkan pandanganku, tidak mampu menghentikan debaran jantungku karena begitu indah bola matamu, Tiara Kusuma. Terimalah aku yang tidak berdaya ini, menjadi kekasih hatimu, sekarang untuk selamanya ....
Suasana Cafe menjadi hingar bingar dengan dengungan suara-suara dari para pengunjung. Mereka serempak menoleh ke kiri dan ke kanan mencari tahu pasangan mana yang memiliki acara seperti itu. Sungguh sangat romantis dan indah.
Sebuah buket bunga rose berwarna merah segar, dibawakan seorang pelayan menuju meja Tiara dan Attaya. Bunga itu diserahkan kepada Attaya yang segera bangkir berdiri. Sementara Tiara masih duduk dengan wajah kebingungan. Ia terkejut membaca isi text neon sign yang ia sadari memang ditujukan kepadanya.
Lebih terkejut lagi saat melihat Attaya berlutut menghadapnya dengan buket bunga di tangan dan menengadah kepada Tiara. Suasana cafe pun mendadak hening. Seluruh pasang mata menyaksikan ke arah mereka berdua.
"Ara, setelah waktu yang kita lalui bersama, aku semakin yakin dengan perasaanku. Terima kasih karena kamu telah memberi kesempatan untukku mengenalmu lebih jauh. Sekarang, maukah kamu menjadi kekasihku?" Tatapan mata Attaya penuh dengan permohonan dan harapan bahwa gadis pujaannya akan menerima kehadiran dirinya dengan suka cita atau setidaknya mau mencoba menjalani hubungan.
Tiara terpaku dengan perasaan tidak menentu. Ia menelan salivanya berulang kali. Gadis itu memejamkan matanya sesaat lalu menarik napas panjang sebelum menyahut, "Atta, jujur kebersamaan kita memang luar biasa menyenangkan. Tapi ... aku masih butuh waktu untuk bisa menjalin hubungan. Maaf, Atta ... aku belum bisa," ucap Tiara dengan suara bergetar. Gadis itu berdiri dan meninggalkan Attaya yang menunduk lesu sambil berlutut. Bahkan, ia tidak sadar jika Tiara sudah meninggalkan cafe tersebut.
Pekikan terkejut dan desahan simpati dari suara orang-orang yang menyaksikan acara mereka, menyadarkan lamunan Attaya. Saat itu ia menyadari kalau Tiara sudah tidak berada di sana. Perlahan, lelaki tampan yang kaya raya itu bangkit berdiri. Ia meletakkan buket bunga di atas meja dan melangkah dengan gontai ke arah luar dari cafe itu dengan perasaan hancur lebur. Malam yang tidak akan pernah dilupakan di sepanjang hidupnya.
◇◇◇◇