Jebakan

685 Kata
'Baiklah, Attaya ... untuk handphone ini, aku terima. Anggap saja bonus karena karena kamu telah merusakkan handphoneku,' batin Tiara. "Nona, mohon petunjuk, kita akan mengarah ke mana?" tanya sopir tiba-tiba setelah memasuki pusat kota Bogor. "Hmm ... depan belok kiri ya, yang ada plang Bank itu, Pak," sahut Tiara cepat. Tiba-tiba saja ia mempunyai ide untuk datang ke rumah temannya. Salah satu teman yang tidak begitu akrab dan belum pernah tahu di mana rumah Tiara. Ia merasa aman karena tidak mungkin bisa terlacak seandainya Attaya berniat mencarinya. "Stop, Pak. Sampai sini saja," ucap Tiara seraya melihat ke arah rumah bernuansa putih s**u. Sopir mengangguk, tangannya dengan cekatan membanting setir ke arah kiri dan berhenti tepat di depan pagar berwarna coklat. Sebuah rumah sederhana pinggir jalan raya bertembok kuning pudar. Dengan santai, Tiara turun dari mobil dan melenggang ke arah pagar lalu memencet bel. Ia tidak menoleh kembali ke mobil yang tadi mengantarnya. Seorang wanita setengah baya keluar dari dalam rumah sambil bertanya, "Cari siapa ya?" Tiara tersenyum lebar dan menjawab, "Mau ketemu Nina, Tante ...." "Oh, Nina. Ayo masuk," sahutnya ramah seraya membuka kancing pagar dan mempersilakan Tiara masuk ke dalam. Wanita itu bersama-sama Tiara memasuki rumah sambil memanggil putrinya. "Nina! Ada temen kamu nih. Oya, silakan duduk dulu," ujarnya kepada Tiara. "Terima kasih, Tante," sahut Tiara sambil mendaratkan bokongnya pada kursi tamu di ruangan itu. Seorang gadis muda sebaya dengan Tiara muncul. "Hai, Tiara?" Nina terheran-heran kedatangan teman yang tidak terlalu akrab di rumahnya. "Apa kabar? Ada apa kemari?" berondong Nina penasaran. "Kabar baik. Aku cuma lewat sini trus ingat rumah kamu, mampir deh. Kamu gimana kabarnya?" Tiara bertanya balik sambil tersenyum saat mereka melakukan cipika-cipiki. "Baik, baik," jawab Nina, masih dengan perasaan heran. "Aku lagi cari kerjaan di sini, Nin. Aku sekarang balik ke Bogor." Tiara duduk kembali di kursinya. "Oh ya? Kebetulan kantorku sedang buka lowongan loh, tapi perusahaan kecil deh, Ara. Apa kamu mau?" tanya Nina dengan serius. "Beneran? Tidak apa-apa, Nin. Perusahaan kecil juga belum tentu terima aku. Biar kucoba aja dulu. Kapan bisa walk in interview?" tanya Tiara seraya mencondongkan tubuhnya ke arah Nina. "Besok pagi aja bareng aku, Ara. Gimana?" Nina tersenyum sambil mengagumi kecantikan Tiara. "Ara, kamu makin cantik aja sih," lanjut Nina dengan tulus. Tiara tersipu mendengar pujian dari Nina. "Ah, bisa aja kamu, Nin. Besok pagi boleh. Aku jemput kamu? jam berapa kamu jalan?" Gadis itu tampak bersemangat. "Aku sih jam enam lewat biasanya. Absensi dulu, kantor buka jam delapan teng." Nina tersenyum. "Jauh ya dari sini?" tanya Tiara heran. Kalau buka pukul delapan, kenapa jam enam harus berangkat? "Macet, Ara. Kalau gak pagi-pagi banget, bisa telat. Eh, tapi gajinya kecil loh di sini. Yaa di atas upah minimum dikit deh. Apa kamu mau? Kalau dibandingkan Bank tempat kamu kerja di Jakarta sih jauh," tutur Nina dengan khawatir. "Tidak apa, Nin. Yang penting gak nganggur aja. Eh, makasih ya infonya," tukas Tiara bersungguh-sungguh. "Aih sama-sama, Ara," sahut Nina. Keduanya terlibat obrolan seru. Sebagai teman satu SMA dan satu kelas meski beda 'geng' atau beda teman pergaulan, tapi mereka telah melewati masa tiga tahun bertemu setiap hari sekolah. Sampai akhirnya, dua jam telah berlalu, Tiara harus pamit dan berjanji pukul enam pagi telah sampai di rumah Nina kembali. Tiara pulang ke rumah ibunya menggunakan angkutan kota, membawa harapan tinggi bahwa ia akan segera bekerja. Untuk saat ini, pekerjaan apapun akan diterimanya asalkan bergaji tetap karena harus mengurus ibunya. Pukul sepuluh malam, Tiara sudah merebahkan diri di atas kasur tunggalnya. Ia merasa gelisah dan dikepalanya terus terbayang sosok Attaya. Walaupun ia ingin menampik lelaki itu, tapi kedekatan mereka pagi tadi di mana Tiara berada dalam pelukan perlindungan, benar-benar membuat jantungnya bertingkah liar. Sejurus kemudian, ia teringat bagaimana Denada, yang sangat berani dan tidak peduli sopan santun sama sekali, telah menghinanya dengan kasar. Hanya saja, setiap ucapan yang keluar dari mulut Attaya memberi rasa senang di hati Tiara, yaitu Attaya menyangkal semuanya sambil melindungi Tiara dari ganasmya api cemburu seorang Denada. Senyum-senyum Tiara sampai terukir pada wajahnya yang sedang tidur dengan lelap. Bersiap menyongsong kehidupan baru esok hari tapi enggan meninggalkan kenangannya bersama Attaya. ◇◇◇◇
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN