Derita Batin

1803 Kata
Attaya Mahendrata BRAK! Suara meja digebrak oleh Attaya mengagetkan dua orang utusannya yang diminta mencari keberadaan Tiara, datang dengan laporan nihil. "Kalian becus kerja tidak?!" teriak Attaya. "Kota Bogor seluas apa sih? Cari orang saja tidak mampu!" Kedua orang yang terkejut dengan jantung bergemuruh, menundukkan kepalanya dalam-dalam. Sang bos yang jarang marah itu kini berteriak kepada mereka. "Telusuri seluruh perusahaan terutama perbankan. Temukan gadis itu! Cari juga alamat rumah ibunya!" seru Attaya sambil mengepalkan kedua tangannya. "Ba--baik, Bos." Keduanya menjawab serentak dan secepat kilat mereka berlalu dari hadapan Attaya yang wajahnya merah gelap. Dua minggu sudah ia memerintahkan anak buahnya mencari keberadaan Tiara, tapi tak satu pun yang berhasil menemukannya. Hal itu membuatnya frustasi dan sangat marah. Penyesalan hadir saat ia mempercayakan Tiara diantar oleh Diman dan supirnya. Ternyata, rumah di mana mereka menurunkan Tiara bukanlah tempat tinggal Tiara. Parahnya lagi, seisi rumah itu mengaku tidak tahu di mana Tiara tinggal. "Sialan!" teriak Attaya sambil mengarahkan tinjunya ke udara. "Di mana kamu, Tiara?!" teriaknya lagi dengan nada putus asa. Lelaki yang begitu tersiksa saat malam menjelang tidur, hidungnya masih membaui aroma shampoo yang keluar dari rambut gadis itu saat ia berada dalam pelukannya. Matanya yang bulat dengan manik coklat kabur, sangat indah dan tidak mau pergi dari benaknya. Keberaniannya menentang Attaya menjadi daya tarik lainnya. Sejak hari itu, ia telah mengerahkan orang-orang untuk mencari Tiara. Sementara, desakan keluarganya agar ia segera mengumumkan hubungan dengan Denada yang baginya sangat tidak masuk akal, membuatnya semakin frustasi. Dengan sangat marah, Attaya meninggalkan kantor dan segera melesat pergi mengendarai mobil tanpa supir. Ia memacunya ke arah luar kota seraya mematikan semua akses komunikasi. Dia melamun sepanjang jalan, tanpa arah tujuan. Hanya maju dan maju menyusuri jalan tol yang seolah tanpa ujung. Kadang, matanya berkaca-kaca, kadang ia berteriak sambil memukul setir mobil. Tidak rela hidupnya harus tergadaikan oleh keinginan kedua orang tuanya. Teringat malam itu, Mahendrata, ayah yang otoriter, mendatangi Attaya di kantornya, saat ia sedang mengenang Tiara Kusuma. "Ada apa, Pa?" tanya Attaya merasa heran. Sebab, dalam sepuluh menit, ia harus menghadiri acara dinner meeting di sebuah hotel berbintang. "Santai saja, papa hanya mau bicara beberapa hal. Bagaimana bisnismu? Berjlan lancarkah?" Mahendrata duduk di sofa sebelum putranya mempersilakan duduk. "Hm ... sebentar lagi aku harus jalan, Pa," sahut Attaya. "Ya, acara dengan perusahaan properti kan? Jangan khawatir, sudah diwakili oleh manager operasinal papa," timpal Mahendrata sambil menepuk bantalan sofa, menyuruh Attaya duduk di sebelahnya. Attaya semakin merasa heran. Hal penting apa yang akan disampaikan ayahnya sampai-sampai acara yang harus dihadirinya sudah disabotase oleh Mahendrara. Lelaki muda itu segera duduk di samping ayahnya. "Ada apa sih, Pa?" tanyanya sedikit merasa tersinggung karena urusannya tak pernah luput dari pengawasan lelaki setengah baya itu. "Kamu tahu, Atta? Kalau hampir enam puluh persen, proyek-proyek besar kita dipegang oleh om Brata dan keluarga. Kita nyaris tidak mengeluarkan modal untuk tahap awal proyek-proyek tersebut. Coba kamu bayangkan, bukankah perusahaan properti kita akan goyang dan terancam bangkrut jika om Brata melepaskan diri dari kerjasama kita dan parahnya, dia bisa melakukan itu berdasarkan perjanjian. Tidak ada pelanggaran hukum. Dia bisa hengkang kapan saja. Kita yang akan merugi trilyunan!" tutur Mahendra sambil menatap putranya lekat-lekat. Attaya kebingungan. "Lantas, apa hubungannya denganku?" sergah Attaya. "Jelas sangat berhubungan. Kamu yang bisa menyelamatkan kita dari kerugian yang sangat besar itu," tukas Mahendra "Memangnya, kondisi saat ini sedang terancam? Ada masalah apa, Pa? Setahuku semua berjalan tanpa hambatan yang berarti dan di lapangan pun baik-baik saja," timpal Attaya dengan sangat yakin. Mahendra menghela napas panjang. Putranya ternyata masih hijau. Tidak mampu melihat ke arah depan. Masih terlalu polos dalam dunia bisnis. "Kamu tahu kan kalau Brata menginginkan kamu menjadi menantu dalam keluarga mereka? Papa harap kamu mengerti sampai point ini, Atta." Mahendra kembali menghela napas kasar. Bukan tidak tahu kalau putranya tidak menyukai Denada. Hati kecilnya pun tidak setuju jika putra kesayangannya memperistri Denada yang menganut s*x bebas dengan pergaulan high class-nya. Berat memang harus melepas sang putra demi bisnis keluarga. Tapi, ia tidak punya pilihan lain kalau tidak ingin merugi begitu banyak. Lelaki tampan itu terhenyak mendengar permintaan Mahendra. Tanpa sadar ia berdiri sambil menggelengkan kepalanya berulang kali. Sangat tidak masuk akal harus menikahi wanita yang mustahil bisa disukainya. "Please, Pa. Dena bukan jodohku. Aku menolak. Aku tidak suka sama dia dan Papa kan tahu bagaimana kualitas Denada?!" seru Attaya dengan gusar. "Sayangnya, hal itu harus terjadi Atta. Kami, papa dan mamamu bergantung pada kamu dalam hal ini. Mohon mengertilah, mamamu sangat tidak siap bahkan jika kehidupannya hanya menjadi orang kaya biasa, dia tidak akan sanggup. Hanya kamu yang bisa menyelamatkan keluarga kita, Atta ...," ujar Mahendra denga nada memohon. Attaya menelan salivanya berulang kali. Ia tidak tega mendengar nada memohon dari ayahnya. Tapi dia tidak ingin menerima perjodohan itu. "Aku akan cari cara, Pa. Bagaimana pun caranya, yang penting, aku tidak harus mengawini dia!" ucap Attaya tercekat. Tanpa mengucapkan sepatah kata pun, Attaya pergi meninggalkan Mahendra dengan tergesa-gesa. Hari-hari pun berlalu, lelaki muda itu sudah melakukan beberapa pembicaraan penting dengan beberapa temannya baik yang di dalam negeri maupun temannya yang berada di luar negeri. Berharap ada ide untuk keluar dari perjodohan dirinya dengan Denada. TOOT TOT TOOT Suara klakson Bis dan Truk bersahutan mengagetkan Attaya yang sedang berkaca-kaca. Kedua matanya melotot lebar menyadari dirinya berada di tengah-tengah di antara truk dan bis yang sedang menyalipnya. Bayangannya saat itu adalah kematian dan ia sudah pasrah. Tanpa mengurangi kecepatan, sejenak dia memejamkan matanya, menurunkan air mata membasahi kedua sisi pipinya. Saat matanya terbuka, ia telah melewati posisinya yang terjepit tadi. Tapi kaca spion kiri dan kanannya telah hilang. Hanya ada selembar kabel yang terbang-terbang dihembus angin kencang jalanan. Dengan kesadaran yang masih tersisa dan jantung berdebar-debar, ia berusaha menepikan mobil yang dikendarainya ke arah kiri. Ia butuh berhenti sejenak. Mobil berhasil parkir di pinggir jalan tol. Attaya menghela napas lega meski debar jantungnya masih tidak karuan. Ia menyandarkan kepalanya pada sandaran jok dan memejamkan matanya. Mencoba menenangkan diri dan mengatur pernapasannya. Hidupnya nyaris melayang, walaupun ia sudah pasrah. "Tiara ...," desah Attaya sebelum pecah tangisnya. Ia meraung di dalam mobil. Tubuhnya berguncang-guncang. Lelaki itu sangat menyesali nasibnya yang harus patuh pada keinginan ayah dan ibunya, seolah dalam hidupnya sudah digariskan untuk tidak boleh berbahagia, tidak boleh memiliki keinginan sendiri, tidak boleh jatuh cinta pada perempuan manapun selain yang sudah ditentukan oleh Mahendrata dan Elaina. Satu jam berlalu dari kepanikan dan raungan tangis. Kini ia sudah mulai sedikit tenang. "Tuhan, tolonglah hambamu ini, pertemukan hamba dengan Tiara. Padanya aku jatuh hati dan rasanya begitu menderita," pinta Attaya seraya melihat ke arah langit yang gelap. Bahkan, malampun enggan bersahabat dengannya. Attaya meraih telepon genggam dari sakunya. Ia menghubungi supir dan memintanya untuk datang ke sana. Ia harus mengganti mobil yang sudah tidak memiliki kaca spion kiri dan kanan itu. Setelah memberikan perintah, ia kembali memejamkan matanya sambil terus memikirkan cara untuk mendapatkan pinjaman minimal tiga trilyun agar bisa terbebas dari desakan Denada. Agar ia bisa menolak dengan tegas keinginan gadis itu. Hampir satu jam kemudian, Sebuah lampu mobil yang ikut parkir di belakang mobil Attaya, menyilaukan penglihatannya yang sedang melihat melalui kaca spion tengah di atas dasboard. Supirnya telah sampai di sana. Attaya segera turun dari mobil setelah meraih tas kerja dan menghampiri mobil di belakangnya. Dengan cepat ia berpindah tempat. Kini, Attaya sudah duduk di belakang setir mobil yang dibawa supirnya. "Hati-hati di jalan! Tidak ada kaca spion! Besok bawa ke dealernya. Ganti!" seru Attaya memerintah pada supirnya yang mengangguk cepat mendengar perkataan bos nya. Dengan sekali hentakan, Attaya telah kembali bergabung ke jalan tol dan memacu mobilnya dengan kecepatan tinggi. Tiba-tiba ia memutuskan akan masuk kota Bandung dan menuju bandara. Yang terlintas dalam benaknya adalah pergi ke Singapura, menghilang sejenak dari rutinitas pekerjaannya. Ia membutuhkan waktu untuk menyendir sementara waktu. Sayangnya, penerbangan ke Singapura tidak ada jam malam. Ia harus menunggu pagi dan terpaksa mencari penginapan di luar bandara. Saat itu, ia melihat kios kecil yang menjual isi ulang pulsa. Attaya berhenti dan membeli kartu perdana. Bagaimana pun ia butuh menghubungi beberapa orang bawahannya, terutama orang-orang yang diperintahkan untuk menemukan Tiara. Sementara ia menonaktifkan nomor utamanya. Memasuki sebuah hotel baru yang terbilang cukup mahal. Attaya segera memasuki kamar yang telah disewanya. Ia melemparkan tas kerja ke atas kasur. Ia tidak membawa selembar pun baju ganti, tapi ia tidak mau dipusingkan dengan hal-hal seperti itu. Ia membuka pakaiannya dan hanya tersisa celana dalam saja lalu segera merebahkan diri sambil berselimut. Dia segera menyalakan telepon genggam yang telah terisi kartu baru lalu memeriksa email pribadinya. Rupanya ada email dari orang-orang di lapangan yang masuk dari satu jam lalu. Email tersebut berupa laporan mengenai perkembangan pencarian Tiara. Dear, Bos. Kami menemukan lima nama Tiara Kusuma yang terdaftar di lima perbankan. Empat Bank telah dikonfirmasi, bukan Non Tiara yang dimaksud. Besok pagi kami menuju Bank perkreditan rakyat untuk mengecek apakah benar Nona yang dicari. Regards, Andre L. Attaya mendengus keras setelah membaca email tersebut. Ia memalingkan wajahnya ke arah jendela yang tidak ditutup tirai. Menatap ke arah luar sambil berpikir. Entah kenapa perasaannya yakin kalau Tiara-nya yang bekerja di BPR itu. Ada euforia dalan batinnya. Merasakan kesenangan luar biasa. Tapi ia memutuskan untuk menunggu kabar saja. Kalau ia memutuskan pergi ke kota Bogor dalam kondisi stress berat seperti sekarang, pasti terjadi konflik dalam pertemuannya dengan gadis itu dan berpotensi kehilangan jejak kembali. Lelaki itu memejamkan matanya setelah memasang alarm pada gawainya. Otaknya bekerja keras, memikirkan segala hal. Selain itu, ia berencana untuk tidak menemui ibunya dalam beberapa waktu. Tidak juga pergi ke kantor. Benar-benar ingin rehat dari semua hal yang menekannya. Ia hanya butuh bertemu Tiara. Tidak berapa lama, Attaya tertidur. Membawa gadis yang selalu dirindukannya ke alam mimpi. Di dalam mimpi justru perasaan tidak enak yang mendominasi lelaki itu. Tiara hadir bagai bayangan. Setiap kedua tangan berusaha meraihnya, tubuh gadis itu menjadi gumpalan asap. Betapa menakutkan perasaan seperti itu. Saat terbangun dari mimpi, waktu telah menunjukkan pukul empat pagi. Terlalu pagi untuk bangun. Sebab pesawat yang akan membawanya ke Singapura terjadwal pada pukul tujuh pagi. Attaya menghabiskan waktu dengan gelisab, membolak balikkan tubuhnya di atas kasur tanpa merasakan ketenangan sama sekali. Pukul lima pagi, ia bangkit dan memutuskan untuk mandi. Bersiap-siap check out dan kembali ke bandara. Mimpinya semalam memang tidak enak dan ia telah berusaha melupakan mimpi yang membuatnya resah tidak karuan. Pukul enam lebih ia sudah berada di bandara dan dalam antrian bagian imigrasi. Bisa dipastikan kalau penerbangan pagi bebas delay, seperti pagi itu, keberangkatan pesawat yang akan ditumpangi Attaya, on time. Tanpa terasa kini sudah memasuki waktu boarding. Sengaja antri dalam urutan paling belakang, lelaki itu menghubungi anak buahnya agar segera memberi laporan melalui email begitu sudah bisa memastikan menemukan Tiara. "Honey?! Kok kamu ada di sini? Sama siapa kamu?!" Tiba-tiba saja Attaya mendengar suara yang sangat dikenalnya. Seketika seluruh tubuhnya merasa lemas. Seketika itu pula, ia hanya menginginkan Tuhan menghentikan detak jantungnya saat itu juga. ◇◇◇◇
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN