Lara tahu kalau sikapnya sekarang sangatlah kekanak-kanakkan. Pergi tanpa izin di tengah acara akhir pekan keluarganya, tanpa sepengetahuan siapapun, termasuk Jala yang selalu ada bersamanya di area panahan tadi.
Sebenarnya Lara sendiri tidak mau pergi diam-diam. Namun ia terlalu kesal dan tidak tahan melihat bagaimana papinya begitu akrab dengan Ambar. Ada yang sakit di hati Lara melihat itu dan ia tidak mau lanjut melihatnya lebih lama lagi. Jika bertahan lebih lama lagi di tempat itu, Lara tidak yakin ia akan bisa diam.
Jadi, daripada ujung-ujungnya marah atau menangis, Lara pun memilih untuk pergi. Bilang ke Jala mau ke toilet, padahal sebenarnya Lara mau pergi meninggalkan area panahan itu guna menenangkan dirinya sendiri.
Tanpa pamit dan izin, Lara pergi dengan memesan sebuah taksi online. Ia pergi menuju sebuah mall yang letaknya tidak begitu jauh dari lokasi area panahan itu. Lara pergi dengan kondisi hati yang benar-benar panas dan ia bad mood bukan main. Perasaan Lara campur aduk, antara kesal, marah, dan sedih. Sulit untuk dijelaskan kenapa bisa begitu. It happened just like that.
Setelah sampai di mall itu, Lara menyetel ponselnya ke dalam mode silent dan menyimpan benda itu ke dalam sling bag yang dipakainya hari ini. Niat Lara, ia tidak akan memeriksa ponselnya sampai ia sudah cukup memiliki waktu sendiri. Lagi-lagi, Lara tahu kalau yang dilakukannya ini sangatlah kekanakan. Semua orang pasti akan khawatir begitu sadar jika Lara menghilang dan sulit untuk dihubungi.
Biar Lara meminta maaf tentang itu nanti. Sekarang ia hanya ingin sendirian dan menenangkan diri. Seumur hidupnya, Lara tidak pernah punya sosok mami. Seharusnya orang-orang seperti Lara merasa senang kan ketika pada akhirnya berkesempatan untuk punya apa yang sebelumnya tidak punya. Tetapi, Lara sama sekali tidak senang. Ia justru merasa sakit.
Mimpi buruk terbesar Lara selama ini adalah kenyataan kalau ia tidak punya mami.
Sekarang, memikirkan kalau dirinya bisa saja memiliki sosok mami dalam waktu dekat ini, entah kenapa juga terasa seperti mimpi buruk yang Lara harap, tidak perlu terjadi.
***
Segelas green tea latte menjadi teman Lara di Starbucks tempatnya berada saat ini. Karena tidak tahu harus kemana sebab tidak sedang dalam mood untuk cuci mata atau belanja di mall, jadilah Lara memilih datang ke Starbucks hanya untuk bengong dengan dibarengi menyesap green tea latte sesekali.
Lara merasa cukup hampa. Sudah duduk sendirian di Starbucks, ia juga tidak melakukan apa-apa. Lara tidak mau memainkan ponselnya, karena jika ia memegang benda itu, yang ada Lara justru jadi gatal ingin membuka notifikasi yang datang dari keluarganya.
Jadilah Lara harus merasa puas dengan melamun sendirian di Starbucks. Pasti banyak orang yang melihatnya menganggap Lara menyedihkan.
"Lara?"
Nyaris saja Lara berteriak karena terkejut mendengar namanya disebut oleh suara yang tidak asing. Dalam gerakan cepat, Lara mengalihkan pandangan yang semula tertuju pada jendela dan keadaan di luar Starbucks, jadi melihat ke belakang tubuhnya untuk melihat siapa yang baru saja memanggil.
Sepasang mata Lara membola melihat sudah ada Semira di hadapannya. Looking so pretty dan tidak berpenampilan seformal di sekolah yang biasa Lara lihat.
"Astaga! Bu Semira ngapain disini?!" tanya Lara terkejut sekaligus semangat sendiri karena bisa bertemu Semira.
Semira tersenyum pada Lara. Di tangannya ada segelas americano dan sama seperti Lara, Semira juga sendirian.
"Ibu lagi kepengen aja ngopi di Starbucks, udah lama enggak soalnya," jawab sendirian.
"Ibu sendirian ya?"
Semira mengangguk.
"Gabung sama saya aja Bu kalau gitu!" ajak Lara. Semangatnya jadi sedikit membara karena bertemu dengan guru favoritnya itu. "Saya sendirian juga."
"Oke deh."
Akhirnya, Semira pun bergabung di meja Lara dan duduk di kursi yang tepat ada di depannya.
Ini benar-benar kebetulan yang mengejutkan sekaligus menyenangkan buat Lara. Mana terpikir ia akan bertemu dengan Semira disini. Lara justru sudah membayangkan dirinya akan membatu disini sendirian hingga sore dan menghabiskan waktunya melamun seperti seseorang yang menyedihkan.
Suasana hati Lara jadi sedikit membaik karena ia bertemu dengan seseorang yang sudah dikenalnya sendiri.
"Kamu kok disini sendirian, Lara? Nggak sama teman-teman atau keluarga kamu?" tanya Semira. Ia memandang Lara penasaran dan menganggap aneh saja melihat muridnya yang satu itu sendirian disini.
Lara meringis.
Semira adalah tempat yang menurutnya paling enak untuk jujur dan bercerita mengenai apa saja. Jadi, tanpa ragu Lara mengatakan yang sebenarnya, "To be very honest, saya lagi kabur, Bu."
"Apa?!" Semira nyaris berseru. Untungnya ia belu menyesap kopi di gelasnya. Jika iya, mungkin Semira sudah memuncratkannya karena terlalu terkejut mendengar penuturan siswanya yang ternyata sedang kabur. "Lara, kamu bercanda ya?"
Lara menggelengkan kepala. "Saya nggak bercanda, Bu. Saya emang betulan lagi kabur."
Semira tertegun. Masih kaget.
"Maaf Bu kalau bikin kaget." Lara tersenyum tidak enak. "Tapi kenyataannya memang begitu."
"Ya ampun, ada masalah apa emangnya sampai kamu kabur begini?"
"Lumayan panjang Bu, ceritanya."
"Mau cerita? Ibu bakal dengerin kamu."
Sejenak Lara hanya mengerjapkan mata. Ditanya begitu, entah kenapa ia jadi berkeinginan untuk menangis. Setelah merasa bisa mengendalikan dirinya agar tidak mengeluarkan airmata, barulah cerita Lara mengalir.
Lara menceritakan apa yang terjadi di area panahan tadi kepada Semira, tentang perasaan tidak sukanya melihat sang papi bersama Ambar, serta rasa tidak relanya. Lara juga bercerita kalau ia sudah merasa begitu, bahkan sejak melihat papinya makan siang dengan Ambar tempo hari.
"Jadi, kamu kabur karena nggak mau liat Papi kamu sama...gebetannya?" tanya Semira usai Lara bercerita.
Lara mengerucutkan bibir sebal. "Ih, Ibu, jangan sebut gebetan dong. Saya nggak suka."
"Oke, maaf, maksud saya temannya yang kamu curigai bakal punya hubungan sama Papi kamu." Semira mengoreksi.
Lara pun mengangguk. "Saya sebetulnya nggak mau begini, Bu. But I don't know why it hurts to see them together. Saya betul-betul nggak mau punya mami, Bu...kalaupun terpaksa harus punya, I just don't want it to be her."
"Kenapa?"
"Nggak tau. Nggak mau aja."
"Karena dia tantenya Anette?"
Lara mengangkat bahu. Ia sendiri tidak bisa benar-benar mengakui itu sebagai alasannya karena ia pun tidak yakin apa alasannya memang itu.
"Lara, saya nggak berhak berkomentar apapun tentang apa yang kamu mau dan nggak mau karena itu hak kamu, urusan kamu. Tapi Ibu cuma mau bilang kalau yang kamu lakukan sekarang nggak benar. Di luar dari rasa nggak suka kamu ada di kegiatan sama keluarga kamu tadi, nggak seharusnya kamu menghilang tiba-tiba begini. Mereka pasti khawatir banget dan lagi cari-cari kamu sekarang."
"Iya, saya tau, Bu."
"Terus kenapa masih dilakukan?"
Lara hanya diam, walau jauh di lubuk hatinya, Lara tahu jawabannya apa. Ia ingin melihat sejauh apa keluarganya akan peduli, terutama papinya. Lara pun secara tidak langsung ingin papinya juga tahu kalau Lara tidak bisa menerima hubungan apapun itu yang dimiliki papinya bersama Ambar. Dengan cara ini, Lara mau papinya memilih.
Tapi mau bagaimanapun juga, yang dilakukan oleh Lara tetaplah salah. Ketika kabur tadi pun Lara sama sekali tidak berpikir panjang dan hanya memikirkan egonya.
"Lara, kamu harus hubungi keluarga kamu sekarang. Setidaknya kasih tau mereka kalau kamu ada disini dan baik-baik aja."
Lara menggelengkan kepala. "Kalau saya kasih tau, nanti saya disusul dan disuruh pulang, Bu. Saya masih mau sendiri."
"Yaudah kalau begitu, biar Ibu yang kasih tau."
"Tapi, Bu, saya-"
Lara tidak jadi melanjutkan ucapannya karena Semira yang memberinya tatapan tegas sehingga Lara tidak berani melawan ketika Semira meraih ponsel miliknya sendiri dan menghubungi sebuah nomor setelah mencarinya selama beberapa saat.
Tatapan Semira tertuju lurus pada Lara hingga teleponnya diangkat.
"Halo, Pak Hamdan? Saya Semira, guru bimbingan konseling di sekolahnya Jala dan Lara..."
Lara menundukkan kepala dan menghembuskan napas berat. Gagal sudah rencananya.
Ternyata ia hanya bisa kabur tak lebih dari satu jam saja. Semesta tidak mengizinkannya untuk menghilang lebih lama daripada itu.