Chapter 10

1062 Kata
Ketika Hazel Clara keluar dari hotel dengan mengenakan gaun pengantin dan wajah yang berantakan, ia bertemu tanpa sengaja dengan Matthew yang baru saja tiba dari penerbangannya dan langsung landing ke hotel AryaDuta. Handphone Matthew telah mati entah mengapa sejak ia melakukan penerbangan dari Los Angeles yang menjadi salah satu usaha Abra terbesar di sana, usaha real estate. Dan tepat sekali saat Clara menangis keluar dari lift dan berjalan keluar hotel, menuju mobilnya yang berada di luar hotel dengan gaun pengantin simple gaya V Neck yang panjangnya hanya tiga seperempat kaki, ia bertemu Matthew di tangga. Matthew yang menatap Clara dengan tatapan-tatapan mata yang sangat mengaguminya seperti sebelum-sebelumnya dan Clara yang menatapnya benci saat ini. Perlahan Matthew berjalan mendekati Clara yang masih berdiri di anak tangga paling atas. Dalam keadaan sedih dan diam pun, juga dengan gaun pernikahan sederhana berwarna putih dan rambut yang tergerai bebas itu, Clara masih sangat cantik. Baju pengantin yang dikenakannya itu tak membuat orang-orang di sekitar hotel curiga bahwasannya sesungguhnya Clara adalah sang pengantin asli bukan Gadis. Apalagi tatanan rambut Clara yang kini ia biarkan tergerai bebas karena saat melakukan pertolongan di jalan tadi saat melakukan pertolongan kepada korban kecelakaan, tusuk kondenya jatuh dan rambutnya tergerai begitu saja. Semakin Matthew mendekati Clara, semakin ia tahu bahwa ada sesuatu yang tak beres tengah terjadi. Tak ada sisa-sisa air mata di wajah Clara, ia sudah puas menangis saat sendirian di lift tadi dan memutuskan saat pintu lift terbuka ia akan meninggalkan kesedihannya di hotel tempat ia dicampakkan Abra. "Ra ... What's going on?" tanya Matthew yang paham bahwa telah terjadi sesuatu dengan Clara. Mata Matthew menoleh ke kanan kiri dan melihat ke dalam lobi yang masih ramai tamu undangan, kolega dan wartawan. "Where is Abra?" tanyanya lagi saat tak menemukan Abra di dekat Clara. Clara hanya memandang Matthew dengan kekesalan yang luar biasa ia tahan sekuat tenaga kini. Menyadari bahwa ada yang tak bered dengan Clara, Matthew mendapati Adit yang sedang berbicara dengan GM hotel. Matthew menatap Clara yang diam saja sebelum ia menghampiri Adit yang hendak pergi tapi batal karena Matthew menghadang langkah kakinya. "Di mana Abra?" tanya Matthew pelan. "Tuan Abra ada di kamar pengantin sama istrinya." "Kamar pengantin?" tanya Matthew mengulangi kalimat Adit. "Iya, resepsi pernikahan malam hari dan mereka berdua ingin istirahat sejenak." "Tapi pengantin perempuannya ada di sini. Itu dia!" kata Matthew seraya menunjuk ke arah luar di mana Hazel Clara berdiri. Adit mengikuti arah telunjuk tangan Matthew dan menoleh ke arah perempuan yang memakai gaun putih yang baginya terlihat seperti drees bukan gaun pengantin yang identik dengan rumbaian panjang yang mengekor di belakang. "Not her. She more beautiful than her." kata Adit. Ucapan Adit itu seketika membuat Matthew terpanah. Bukan Clara? Lalu siapa? Siapa yang dinikahi oleh Abra? Tak sabar dengan pernyataan setengah-setengah dari Adit, Matthew berjalan ke arah Clara yang masih mematung di tempatnya. Semakin mendekat, Matthew semakin menyadari bahwa ada sisa-sisa air mata di wajah Clara yang ayu. "Ra, whats going on?" tanya Matthew. "Its already done." kata Clara dengan tatapan kosong lalu berlalu begitu saja dari Matthew. "What do you mean?" tanya Matthew seraya menarik lengan kiri Clara hingga gadis itu menoleh lagi ke arahnya. "Abra, he know about us. Our vacation on Mackay..." kata Clara lemas. Matthew nampak sangat shock mendengarnya. "Aku bisa jelaskan ke Abra kalau kau dan aku tidak terjadi apa-apa." "Pernikahannya sudah digelar, Matthew!" seru Clara. "Aku sudah tamat! Dan aku sangat malu saat ini! Undangan untuk teman-temanku lusa, dan semuanya sudah siap dan aku harus menghadirinya seorang diri ..." kata Clara dengan air mata yang kembali jatuh. Ia sudah menahannya sekuat tenaga tapi tak bisa, ia bingung, ia patah hati dan terlebih ia sangat terluka saat ini. Melihat Clara yang menangis itu, Matthew masuk ke dalam hotel dan berjalan dengan langkah lebar-lebarnya menuju kamar utama dan paling megah hotel tersebut. Setelah sampai di depan kamar hotel yang ramai oleh pengawal Abra, Matthew mencoba mendekat, tapi dua pengawal Abra menghadangnya. "Tuan muda tidak ingin diganggu siapapun, Tuan Matthew." kata Rendy, salah satu dari bodyguard Abra. "Lo gak tahu siapa gue?" tanya Matthew dingin dengan tatapan yang tajam dan rahang yang mengeras. "Maafkan kami, tapi tuan muda Abra benar-benar tak ingin diganggu untuk saat ini tuan Matthew." kata Rendy lagi. "Minggir!" perintah Matthew. Perintah Matthew tak diindahkan oleh para pengawal Abra. Matthew berusaha melewati para pengawal Abra yang hasilnya malah tubuh para pengawal semakin lekat satu sama lain. Kesal karena usahanya telah sia-sia, Matthew berteriak seperti orang gila dan mengucapkan sesuatu yang membuat beberapa wartawan yang ada di situ saling pandang sebelum akhirnya mereka menyerbu Matthew. Matthew mengatakan bahwa Abra telah melakukan pengkhianatan besar kepada Clara dan berani meninggalkan gadis itu yang dulunya pernah hamil dengannya dan kini Abra malah menikah dengan yang lainnya. Tak cukup di situ, Matthew mengatakan bahwa Abra pernah terlibat kasus narkoba saat masih di LA. Dan kini saat James mengatakan hal itu kepada Abra, Abra menghela napas berat. "Bapak Matthew berbicara banyak hal yang membuat para wartawan kini berada di luar kamar bapak." kata James. Abra bingung, kini ia tak tahu harus melakukan apa. Bagaimana jika para wartawan itu tak bergerak sama sekali dari depan kamarnya hingga ia kini tak bisa berkutik dan kembali ke kamarnya. "Gue anterin lo ke rumah sakit, setelah itu gue akan balik ke hotel." Kata Abra, ia hendak melajukan kembali mobilnya tapi tangan Gadis tiba-tiba mencegahnya dan Abra menoleh ke arahnya dengan tatapan bertanya-tanya. "Kita suami istri, kan?" tanya Gadis yang membuat Abra mengerutkan kening, tak mengerti sama sekali maksud ucapannya barusan. "Kita balik ke hotel sama-sama." "Tapi Clara temen lo?" tanya Abra. Gadis memandangnya baik-baik dengan dua bola mata indahnya itu yang entah mengapa membuat jantung Abra bertalu-talu menatapnya. Dan tengkuknya! Demi Tuhan, indah sekali. "Lo prioritas gue dari yang lainnya sekarang, dipungkiri atau tidak, nyatanya kita sudah menikah." "Pernikahan yang mendadak." "Tapi sah." kata Gadis. "Itu, kan yang kau katakan?" tanyanya. "Enam bulan ini status gue udah jelas, seorang istri." kata Gadis. Saat ia menekankan kata Istri entah mengapa Abra senang mendengarnya. Otak Gadis mungkin memikirkan kondisi Clara yang masih genting tapi ia juga tahu posisinya dan bagaimana Abra menyelamatkannya dengan sangat mudah dari para penagih hutang. Dan itu tak akan bisa Gadis lupakan. Siapa sih yang mau menikahi gadis yang memiliki hutang besar secara tiba-tiba pula jika bukan Abra? Selain itu disadari atau tidak, Gadis tahu bahwa kini ia adalah seorang istri dari tuan Frederick.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN