Dan pernikahan itupun digelar dua minggu kemudian, lebih cepat dari rencana semula karena permintaan Mischa saat mengalami keadaan hampir kritis. Dia ingin menikah dengan pria yang sangat dicintainya sebelum ajal menjemput. Dan seperti dugaan, semua orang kembali menuruti kemauannya.
"Kau sudah tampan!" seorang pria yang usianya kira-kira beberapa tahun lebih tua dari Arga datang menghampiri.
"Ah, ... kau datang?" pria itu bereaksi. "Kapan datang dari Turki?" Arga segera memeluk kakak sepupunya yang baru saja tiba.
"Semalam. Mendadak sekali pernikahanmu ini? kau kejar target ya? sengaja mendahului aku?" sang kakak sepupu berkelakar.
"Ah, ... kalau saja Mischa tidak sakit parah, aku pasti akan sesantai kau, Bara." Arga menjawab.
"Mischa? aku kira kekasihmu bernama Kisya? kalau tidak salah waktu itu kau bercerita?"
"Yeah, ... ceritanya panjang, tidak akan cukup waktu dua hari untuk menceritakannya."
"Hmm ... menarik."
"Dan apakah kau datang dengan kekasihmu?" Arga menggoda kakak sepupunya tersebut.
"Kekasih yang mana?"
"Jadi kau belum menemukannya ya? kasihan," si adik sepupu menggelengkan kepala.
"Diam kau!" Bara menepuk kepala Arga sambik tertawa.
"Hey!! hati-hati! kau merusak rambutku Bar! sebentar lagi aku menikah!" protes Arga, namun membuat kakak sepupunya itu terus tertawa.
Mereka memang sudah bersahabat sejak kecil, dan Bara menganggap Arga seperti adiknya sendiri. Bahkan lebih dari itu.
"Sekarang katakan, mengapa kau masih belum juga menemukan gadis pujaanmu itu? bukankah kau sudah tahu dimana dia, dan sosoknya yang sekarang?" mereka berjalan keluar dari kamar Arga.
"Sebentar lagi."
"Kapan? kau selalu mengatakan sebentar lagi, sebentar lagi. Tapi tidak pernah mendapatkannya. Ada apa denganmu? kau bahkan telah menolak banyak gadis cantik hanya karena menunggu sosok yang belum pernah kau temui sejak terakhir kali. Ah, ... kau konyol sekali!" cibir Arga.
"Semuanya akan tiba jika memang sudah waktunya."
"Dan kapan waktunya itu?"
"Sebentar lagi." Bara dengan senyum manisnya.
"Ah, ... jawabanmu selalu begitu."
"Memang, tunggu saja."
"Baik, aku akan menunggu. Dan jika saat itu tiba aku akan memberikan tantangan kepadamu."
"Dan apakah tantanganmu itu?"
"Ketika kau telah menemukannya, kau harus mengajaknya menikah."
"Kau bercanda!"
"No, lebih baik kau melakukannya sebelum dia pergi lagi, dan malah menemukan orang lain."
"Tidak ada gadis yang bersedia diajak menikah saat pertemuan pertama. kecuali gadis itu gila, kau tahu?"
"Ya, berharap saja gadis pujaanmu itu gila, maka dia akan bersedia kau ajak menikah." Arga tergelak.
"Ya, akan aku pastikan itu." Bara menatap wajah adik sepupunya yang tampak sangat bahagia di hari pernikahannya itu.
*
*
Sebuah hotel bintang lima menjadi pilihan dua keluarga mempelai untuk menikahkan putra putri mereka. Sengaja, agar mendapatkan suasana yang meyenangkan terutama bagi Mischa yang masih dalam masa pemulihan pasca perawatan di rumah sakit satu minggu sebelumnya.
Gadis itu tmpak cantik bak putri dari negeri dongeng. Dengan gaun putih yang cantik dan elegan. Riasan yang membuatnya tampak luar biasa mempesona, mampu menyembunyikan kulit pucatnya akibat penyakit yang dia derita saat ini.
Semua orang tentu saja memujinya, dan memang pada dasarnya Mischa merupakan gadis yang cantik. Memakai pakaian dan riasan apapun akan selalu membuatnya tampak sempurna. Seharusnya dia memiliki karir cemerlang di bidang modeling, namun penyakit yang diidapnya menghambat segala cita-citanya. Dan itu cukup memilukan.
"Ki?" gadis itu mengulurkan tangan kepada adiknya yang terdiam memperhatikan.
Kisya datang menghampiri dan menyambut tangan sang kakak yang kemudian memeganginya.
"Mereka datang!" seseorang memberitahukan kedatangan mempelai pria, dan sesaat kemudian, yang ditunggu-tunggu pun tiba di gedung tersebut.
Arga mengenakan stelan jas berwarna abu-abu yang tampak bersinar. Dengan wajah sumringah dan senyum yang menghiasi bibirnya, tampak sekali dia begitu bahagia.
Tentu saja dia bahagia, ini adalah hal yang paling Arga inginkan.
Dan Kisya menatapnya dengan hati perih. Masih terbayang di ingatannya, saat pertama kali mengenal pria itu. Sang kakak kelas yang selalu membantunya mengerjakan tugas kuliah, menemaninya mencari buku yang dia butuhkan untuk riset, dan mendukungnya dalam segala hal. Yang kemudian menumbuhkan benih-benih cinta dihatinya, dan gayung pun bersambut saat Arga juga merasakan hal yang sama.
Mereka menjalin hubungan dengan begitu manis, hingga akhirnya saat hubungan menginjak di tahun kedua, bencana itu datang tanpa di duga.
Saat entah bagaimana awalnya, Arga mengaku memiliki perasaan kepada Mischa, dan telah menjalin hubungan dengan kakak perempuannya itu, kemudian berkata bahwa mereka sudah tidak dapat dipisahkan lagi.
Dunia Kisya runtuh seketika, apalagi saat orang tuanya meminta dirinya untuk mengalah. Dan untuk kesekian kalinya, gadis itu harus menyerah. Seperti sebelum-sebelunya, saat mereka meminta apa yang dia miliki untuk membahagiakan Mischa.
"Ki?" suara seorang kerabat membuyarkan lamunannya.
"Ya?"
"Bawa Mischa kedepan," ucapnya seraya mengarahkan pandangan ke arah tempat akad, dimana Arga bersama penghulu dan beberapa orang saksi sudah menunggu.
Rupanya sudah waktunya akad nikah, dan Kisya baru saja menyadarinya.
Gadis itu menghela napas dalam-dalam.
"Kuat, Kisya, kamu kuat. Pasti bisa," gumamnya dalam hati.
Kemudian Kisya menuntun sang kakak denga langkahnya yang pelan, mengantarkannya ke depan sana, menghampiri Arga dan para saksi juga penghulu.
Ini seperti menyiramkan cuka diatas luka yang masih basah.
Enam bulan yang lalu mereka masih bersama dan bahagia. Menyusun rencana masa depan dan dengan bangganya Kisya mengenalkan Arga kepada kedua orang tuanya, namun kini, di sinilah dia. Mengantarkan sang kakak yang sebentar lagi akan mengukuhkan ikatan suci bersama mantan kekasihnya.
Ah, Kisya. Mengapa kisah cintamu semenyedihkan ini? batinnya. Dan sama seperti puluhan pasang mata yang mengetahui cerita sebelumnya, yang memandang iba kepadanya.
Bagaimana seorang adik yang berkorban demi kebahagiaan kakaknya yang sakit. Merelakan kekasih yang lama menjalin hubungan dengannya, ditambah kini dia yang mengantarkannya sendiri untuk mengucap ijab.
"Saya terima nikah dan kawinnya Misca Alana binti bapak Marwan dengan mas kawin tersebut, tunai." Arga mengucap ijab dengan lantang. Yang segera mendapat reaksi positif dari khalayak yang hadir.
"Sah!!!" sorakan berkumandang di ruangan besar tersebut, dan kini mereka berdua telah sah menjadi suami istri.
Arga, dan Mischa.
Semuanya bergembira, tentu saja. Juga ikut mendoakan kebaikan bagi pasangan baru tersebut. Seperti halnya juga Kisya, yang mendoakan dirinya sendiri agar mampu menghadapi ini tanpa harus merasa sedih lagi.
***
Mereka memang tampak bahagia, bersanding di pelaminan dengan begitu mesra. Gelak tawa menguar setiap kali mereka berinteraksi. Bahkan keduanya kini tak malu-malu lagi untuk menunjukan kemesraan.
"Kamu Kisya?" Bara mendekat begitu menemukan gadis itu yang tengah menyendiri di sisi lainnya. Menjauhkan diri dari khalayak yang sebagian besarnya mengetahui kisah mereka. Menghindari tatapan iba dan rasa kasihan yang jelas membuatnya merasa rendah diri.
"Ya?" Kisya menjawab seraya mendongakan wajahnya. Menatap pria tinggi yang entah datang dari mana.
"Kamu adiknya Mischa?" tanya Bara lagi, seperti meyakinkan.
"Iya, dan kamu sendiri?"
"Bara," katanya seraya mengulurkan tangannya.
Kisya tertegun menatap wajah dan tangan yang terulur itu secara bergantian. Pria itu tampak hampir tersenyum ketika di saat yang bersamaan Kisya menoleh pada suara yang memanggilnya lewat mikrofon.
"Dan lagu ini buat adik saya, Kisya. Kamu harus bahagia Dek, kakak doakan kamu. Jangan sedih lagi ya?" ucap Mischa, yang kemudian mengembaikan mokrofon tersebut kepada wedding singer di sebelahnya.
"Apa itu maksudnya?" Kisya bergumam, dan sesaat kemudian sebuah lagu romantis mengalun merdu.
Lagu yang tidak sesuai dengan suasana hatinya, dan dia merasa terpojok karenanya. Menatap dua sejoli yang tengah merayakan cinta mereka di depan khalayak dengan begitu mesranya.
Diakui ataupun tidak, tetap saja hatinya terasa nyeri, melihat sang kakak yang begitu bahagia bersama mantan kekasihnya, yang tampak merasakan hal yang sama. Walaupun berusaha untuk ikhlas, hatinya tetap saja terluka.
Oh, mengapa ini rasanya sakit sekali! batin Kisya.
"Kamu baik-baik saja?" Bara yang masih berada di dekatnya.
"Ya, tentu saja baik. Bagaimana aku tidak baik-baik saja melihat kakak dan mantan kekasihku bersanding disana. Bukankah itu sangat baik dan begitu membahagiakan?" sarkasnya, lalu Kisya memutuskan untuk pergi.
Ingin rasanya dia berlari menjauh dari acara ini. Membuang segala kenangan dan rasa sakit yang menyiksa. Yang dia yakini tidak akan berhenti hanya sampai disini.
Penyiksaan lain masih menunggunya karena setelah pernikahan, tentulah sang pengantin baru akan tinggal di rumah mereka. Karena Mischa tidak akan bisa hidup jauh dari ibunya yang menjadi perawat pribadinya selama bertahun-tahun.
"Ki!!" Mischa kembali memanggil, dan dia menggerakan tangannya kepada Kisya untuk mendatanginya di pelaminan. Sementara Arga tengah menemui beberapa temannya di sisi lain. Begitupun kedua orang tua mereka.
"Kamu temenin kakak dong, Arga lagi menemui teman-temannya." ucap Mischa dengan entengnya.
"Apa kamu akan terus menghindar seperti itu? mau tidak mau sekarang Arga itu adalah kakak iparmu. Jadi kamu harus menyesuaikan diri."
"Nggak usah bahas itu dulu deh sekarang. Lagian nggak penting juga, kenapa di saat seperti ini kakak malah membahas itu?" ucap Kisya dengan nada kesal.
"Cuma memastikan," jawab Mischa.
"Apa yang mau kakak pastikan?"
"Kalau kamu nggak dendam dan nggak berniat merebut kembali Arga dari kakak."
"Apa?"
"Ya, di depan ikhlas, di belakang kan kita nggak tahu, bagaimana hati kamu yang sebenarnya."
"Belum apa-apa kakak udah curiga?"
"Hanya waspada."
"Waspada dari apa?"
"Dari kamu."
Dan kemarahan Kisya membuncah dengan tiba-tiba. Susah payah dirinya menahan diri namun Mischa malah memancingnya di saat seperti ini.
"Sebenarnya mau kakak apa sih? kayaknya semua yang aku lakukan selalu salah, selalu kurang?"
"Dari kecil, aku selalu mengalah. Memberikan apapun yang aku punya untuk kakak, walaupun aku nggak rela. Tapi untuk kakak lho. Terus sekarang, bahkan di saat pernikahan kakak sendiri yang seharusnya kakak sudah tenang, sudah bahagia karena kakak sudah mendapatkan hal yang paling kakak inginkan di dunia ini. Tapi kakak malah membahas hal yang nggak ada kaitannya sama sekali dengan itu. Kenapa sih kak?" Kisya sedikit menggeram, bisa-bisanya Mischa malah memancing kemarahannya di saat seperti ini.
Kakak perempuannya itu tak menjawab, namun tiba-tiba saja dia menangis histeris.
"Lho?" Kisya bereaksi.
Hal tersebut tentu saja mengundang perhatian orang banyak yang tengah menikmati pesta. Yang segera saja menujukan pandangan ke arah mereka.
"Ada apa ini?" Arga segera menghampiri.
"Kisya, ...." Mischa menghambur ke pelukannya.
"Kenapa lagi?" Arga sedikit menggeram.
"Kisya marah-marah," katanya sambil sesenggukan.
"Apa?" Kisya dan Arga bersamaan.
"Kisya masih marah, dia masih nggak rela kamu menikah dengan aku," ujar perempuan itu dengan tangis yang semakin menjadi.
"Sudah aku bilang 'kan untuk membatalkan pernikahannya, dan kamu kembali saja kepada Kisya, tapi ...
"Hey, hey!! kita sudah menikah." Arga memeluk tubuh Mischa yang melorot di kursi pelaminan.
"Kisya!" lalu dia beralih kepada mantan kekasih yang kini sudah resmi menjadi adik iparnya itu. "Apa yang kamu lakukan?"
"Nggak ada, aku hanya menjawab apa yang dia katakan."
"Apa yang Mischa katakan?"
"Soal ...
"Ada apa lagi ini?" Sonya dan Marwan pun datang menghampiri.
"Kisya bu, apa yang harus aku lakukan untuk membuat dia nggak marah lagi? aku sudah minta maaf untuk semuanya, tapi dia tetap nggak terima." Mischa menambah panjang daftar dramanya lagi.
"Kisya! ini hari pernikahan kakamu, tolonglah!" Sonya berucap.
"Aku hanya menjawab kakak bu!"
"Kisya, cukup!" sergah Marwan. "Sikapmu kali ini tidak bisa di tolelir lagi. Kamu sudah keterlaluan. Bahkan di hari penting seperti ini kamu berani berulah. Mau mempermalukan ayah dan Ibu? atau mau menunjukan bahwa kamu sebagai korban?"
"Nggak yah, ... aku cuma ..."
"Cukup. Jika kamu memang tidak bisa melihat kakakmu bahagia, maka pergilah kamu dari sini. Maaf, ayah salah karena telah memaksamu untuk hadir."
"Ta-tapi yah?"
"Pergilah, jika kamu memang tidak bisa. Pulanglah kerumah, dan biarkan kakakmu menikamati hari bahagianya tanpa terganggu."
"Ayah ngusir aku?"
"Jangan mempermalukan ayah dan ibu, Kisya. Pulanglah," ucap Marwan lagi, tegas.
Dari sekian tahun dia mengalami di sisihkan, maka sepertinya hari ini adalah puncaknya. Ketika tidak ada siapapun yang mendukungnya, atau setidaknya percaya dan memberikan dirinya kesempatan untuk menjelaskan drama apa yang terjadi. Dan itu adalah sakit yang sebenar-benarnya. Maka tiada lain yang bisa Kisya lakukan adalah dengan menurut.
Gadis itu turun dari pelaminan, dengan langkah gontai diikuti pandangan dan cibiran orang-orang. Yang salah faham setelah mendengar racauan Mischa. Dia berjalan menunduk untuk menyembunyikan air mata yang sudah lebih dulu mengalir di pipinya.
Namun sebuah suara menghentikannya dari apa yang akan dia lakukan.
"Rupanya kamu disini. Aku mencarimu kemana-mana tadi."
Kisya mendongak, dan wajah pria yang tadi menyapanya mendominasi pandangan.
"Jangan menangis, aku akan menepati janjiku kepadamu," ucap Bara dengan senyuman yang begitu menawan. Lalu dia mengusap air mata di pipi mulus gadis itu.
Bara meraih tangan Kisya, lalu dia berlutut dengan sebelah kaki di depannya.
"Kisya Hanindira, maukah kamu menikah denganku? jadi istriku, dan ibu dari anak-anaku?" katanya, yang segera menyita perhatian khalayak ramai.
"Apa?" Kisya menjengit.
"Sudah aku katakan, aku akan menepati janjiku kepadamu di hari yang istimewa, dan aku rasa inilah saatnya. Jadi maukah kamu menikah denganku?" Bara mengeluarkan sebuah cincin dari saku jasnya.
Kisya tertegun.
"Ayo, terimalah. Maka kamu akan selamat dari cibiran orang-orang," pria itu kemudian berbisik.
"Hah?"
"Jawablah, bodoh! agar kamu selamat dari rasa malu ini!" Bara berbisik lagi.
"Mmm ..." Kisya memutar otaknya, dia mencoba mencerna apa yang sedang terjadi.
"Kisya, jadilah istriku, dan aku janji akan selalu membahagiakan kamu." Bara mengulang kalimatnya.
"Baik, aku bersedia." ucap Kisya, yang kemudian menjulurkan jari tangannya hingga pria itu berhasil menyematkan cincin yang entah mengapa ukurannya sangat pas dengan jari manis Kisya.
"Terimakasih." Bara bangkit dan langsung memeluk tubuh mungil perempuan itu.
"Hey!! apa yang ..." Kisya memekik.
"Diam sajalah, dan ikuti rencanaku. Aku tahu kamu sedang terpojok, tidak ada yang mempercayaimu, tapi aku percaya padamu." Bara masih berbisik.
"Mmm ... " Kisya menarik kepalanya dan menatap wajah pria itu lekat-lekat.
"Aku percaya padamu, jadi percayalah kepadaku." Bara balas menatapnya dengan raut tak biasa, dan sebuah senyum yang masih tersungging di bibirnya. Menatap dan memeluk cinta pertamanya yang sudah dia tunggu selama bertahun-tahun.
*
*
*
Bersambung ...