Malam Yang Aneh

1378 Kata
"Apa maksud dari semua ini Ki?" Marwan duduk bersama Sonya, dan anak menantunya, juga Kisya dan Bara, begitu acara resepsi pernikahan Mischa usai. Putri keduanya itu tak menjawab. Kisya sedang memutar otak untuk mencari jawaban, namun tak mampu dia temukan. Karena jawaban dalam bentuk apapun akan tetap membuatnya terpojok. "Kamu tidak main-main 'kan?" Maria pun bereaksi, lebih tepatnya hal itu di tujukan kepada Bara, sang keponakan yang aksinya sore itu telah menyebabkan kehebohan tersendiri. "Tidak tante. Aku bersungguh-sungguh," jawab Bara dengan tegas, membuat Kisya terperangah, begitu juga Arga. "Akhirnya! kamu mau menikah juga." Maria dan Rendra memeluk keponakannya itu dengan bahagia. "Orang tuamu pasti akan sangat bahagia jika mereka masih ada, Nak!" katanya, dan Bara sedikit tersenyum. "Tunggu! ada apa ini sebenarnya?" Arga bereaksi. "Kalian sudah saling mengenal sebelumnya? kalian sudah berhubungan?" "Kau kira kenapa aku bisa mengajak dia menikah? hanya karena aku gila heh?" Bara menjawab. "Kisya?" Marwan menyela percakapan. "A-aku ... "Izinkan saya menikahi Kisya, Om," lagi-lagi Bara membuat orang-orang yang berada di ruang tunggu tamu itu terperangah, terutama Kisya yang tangannya dia genggam erat. "Sebentar nak, Kisya belum menjawab pertanyaan kami," jawab Marwan. "Kami sudah sepakat mengenai ini Om, dan saya memutuskan untuk melamarnya malam ini. Seperti yang dia mau." Bara dengan senyum manisnya. "Te-tapi ..." Kisya hampir saja buka suara saat merasakan pria disampingnya meremat tangannya dengan kuat. "Kemarin kami sempat bertengkar di telfon, jadi mungkin itu yang membuat Kisya agak emosional hari ini." Bara terus berbicara. "Tunggu kak!" Arga menginterupsi. "Kau sudah mengenal Kisya sebelumnya? Kalian sudah pernah bertemu?" "Tentu saja." Bara menjawab. "Kau pikir kenapa aku bisa membuat keputusan seperti ini?" "Sejak kapan kalian saling mengenal? kau bahkan tidak pulang selama bertahun-tahun." Arga masih tidak habis pikir dengan kabar ini. Entah mengapa hatinya merasa tidak bisa menerima. "Ini zaman modern, kau bisa mengenal seseorang dari belahan bumi yang lain lewat internet." Bara menjawab lagi. "Internet?" mereka semua bersamaan. "Yah, ... bukankah kita beruntung karena memiliki sosial media? yang akhirnya membawaku menemukan gadis luar biasa ini." Bara dengan tatapan tak biasa kepada Kisya yang masih mencerna segala yang dia simak saat ini. "Tapi kau tidak pernah mengatakannya kepadaku Kak!" ucap Arga lagi. "Aku memang merahasiakannya, Kisya tidak mau hubungan ini diketahui jika aku tidak serius. Dan hari ini aku ingin mebuktikan kepadanya jika aku benar-benar serius," jawaban yang masuk akal. "Sejak kapan kalian berkenalan?" Arga bertanya. "Enam bulan belakangan." Bara menatap Kisya yang tampak mengerutkan dahi, namun dia mengedipkan sebelah matanya untuk memberi isyarat. Itu berarti begitu putus denganku. Batin Arga. "Dan hubungan serius kalian?" tanya Arga selanjutnya. "Kurang lebih tiga bulan ini." Bara menjawab dengan tenang. "Apa? dan kalian memutuskan akan segera menikah? apa itu tidak terlau cepat?" Arga terus beraksi. "Ada yang salah?" "Kalian baru saja mengenal. Bahkan berhubungan jarak jauh lewat internet, apa tidak sebaiknya ..." pria itu menggantung kata-katanya ketika menyadari pandangan orang-orang tampak curiga kepadanya, terutama Mischa yang menatap tajam ke arahnya. Tentu saja, posisinya sebagai mantan kekasih dari Kisya cukup mencurigakan jika mendengar dia berkata seperti itu. "Maksudku, ... apa tidak sebaiknya ... lebih mengenal lagi, karena pernikahan adalah sesuatu yang tidak bisa dianggap remeh. Ya , maksudku itu," lalu dia menutup mulutnya rapat-rapat ketika dirasa pandangan Mischa menjadi lebih tajam kepadanya. "Arga benar." Marwan menyela. "Kalian hanya kenal di internet, sebaiknya memang tidak terlalu terburu-buru," katanya. "Well, ... yang penting aku sudah melamarmu di depan semua orang, sayang. Walau ternyata hal itu tidak cukup meyakinkan, tapi setidaknya aku sudah berusaha kan?" Bara kembali menatap wajah Kisya. "Baiklah, sebaiknya kita pulang untuk beristirahat. Hari ini sangat melelahkan bukan?" ucap Marwan. * * "Kamu ini siapa?" mereka berjalan beriringan keluar dari dalam hotel. Masih berusaha berpura-pura sebagai sepasang kekasih yang telah lama tak bersua. "Kamu tidak ingat aku?" Bara malah balik bertanya. "Soal apa?" Kisya dengan nada putus asa. Pasalnya pria itu telah melontarkan pertanyaan yang sama sebanyak tiga kali. "Soal aku." "Iya, apa? tolonglah!" "Tidak apa-apa jika belum ingat." "Bodoh!" hardik gadis itu. "Aku memang bodoh." "Bukan kamu! tapi aku." "Memangnya kenapa?" "Aku sulit mengingat kenangan masa kecil selain perasaan marah dan kecewa. Kata dokter aku mengidap depresi yang menyebabkan otakku memaksa melupakan banyak hal. Tapi sayangnya malah kenangan baik yang aku lupa," katanya, dengan kesal. "Penyakit aneh macam apa itu?" gumam Bara. "Entahlah, temanku yang bilang." "Jadi kamu benar-benar tidak ingat aku ya?" mereka berhenti di dekat mobil mengkilat milik Bara. Kisya menggelengkan kepala. "Jika kamu bilang kita pernah bertemu, mungkin iya. Tapi sumpah, aku benar-benar tidak ingat. Dan rasanya ..." Kisya meremat kepalanya sendiri ketika rasa sakit kembali menghantam setiap kali dirinya mencoba mengingat dengan keras. "Aarrgghh!" gadis itu menggeram. "Are you oke?" Bara memegangi pundak Kisya. Gadis itu tak menjawab, namun masih tertunduk dan memegangi kepalanya. "Kisya, are you oke?" ulang Bara. "Rasanya sakit sekali." Kisya tiba-tiba saja berjongkok, lalu terdengar menangis. "Rasanya sakit sekali setiap mengingat sesuatu, tapi kamu tetap tidak mengingatnya. Tapi malah terus mengingat apa yang sebenarnya ingin kamu lupakan," katanya dengan suara parau. "Ah, ... sial!! aku lupa membawa obatku," katanya, dan dia meremat kepalanya semakin keras. *** "Maaf, ..." Kisya berhenti menangis dan segera mengeringkan air matanya. Mereka kini tengah berada di ruang gawat darurat sebuah rumah sakit besar di Jakarta. Dia meminta pria itu membawanya ke rumah sakit ketimbang harus membawanya pulang kerumah, dan mendapatkan penanganan medis. Juga resep obat yang diberikan oleh dokter. "Its oke." Bara menyodorkan sehelai saputangan kepadanya, yang diterima Kisya untuk kemudian dia gunakan. Lalu Bara meletakan sebuah bungkusan diatas nakas disamping tempat tidur. "Aku sudah ke apotek. Tapi hanya mendapatkan dua botol obat pereda nyeri," pria itu berdiri di samping ranjang. "Tidak apa-apa, terimakasih. Itu cukup untuk dua bulan ke depan. Tapi aku belum bisa membayarnya untuk sekarang ini. Aku baru saja lulus kuliah, nanti jika aku sudah bekerja, aku janji akan membayarnya." "Tidak usah dipikirkan. Bukankah kita akan menikah? kelak apapun yang aku punya akan menjadi milikmu." Bara tertawa. "Kamu serius dengan apa yang kamu ucapkan?" "Tentu saja aku serius." "Kenapa?" Bara menatapnya lekat-lekat, dan merasakan debaran yang sama indahnya seperti saat dia menatap foto gadis itu yang diambil diam-diam oleh orang suruhannya. "Kita tidak saling mengenal, selain yang kamu katakan bahwa kita pernah bertemu sebelumnya. Yang sayangnya tak aku ingat sama sekali. Apa mungkin itu kenangan yang indah?" "Entahlah, mungkin." "Karena aku lupa, masa-masa indah apa saja yang pernah aku alami. Tapi hal menyakitkan malah dapat aku ingat dengan baik." "Sepertinya kamu orang baik, Bara. Apa aku benar? namamu Bara kan?" "Ya. Bara Algantara." "Hmm ... seperti aku pernah mendengarnya, tapi aku tak ingat dimana." "Tidak apa-apa. Jangan dipaksakan. Nanti kamu sakit lagi." "Iya." "Orang tuamu tahu jika kamu sakit?" Bara melanjutkan percakapan. "Tidak." "Kenapa? kamu tidak mengatakannya?" "Mereka terlalu sibuk mengurus Mischa." "Sakitnya parah?" "Kamu tahu Mischa sakit?" "Tahu. Aku juga tahu, bahwa dulu kamu dan Arga adalah pasangan kekasih." "Apa hubunganmu dengan Arga?" "Dia adik sepupuku." "Lalu apa yang membuatmu melakukan apa yang tadi kamu lakukan?" "Hanya ingin menyelamatkanmu dari rasa malu." "Kamu tahu apa yang Mischa katakan?" "Aku memperhatikan. Dia meyebalkan bukan?" pria itu tertawa lagi. "Kamu memiliki kakak yang menyebalkan, Kisya." "Memang. Dia merebut segala yang aku punya." "Kenapa kamu menyerahkannya?" "Karena dia kakakku." "Jadi kamu harus mengalah?" "Dia sakit, Bara." "Tapi bukan alasan untuk merebut hak orang lain." "Semua orang sangat menyayanginya, termasuk Arga." "Mereka sangat memanjakannya, dan itu bukanlah hal yang baik. Sekalipun dia sakit.": Kisya terdiam. "Apa kamu sudah baikan? kamu mau pulang?" pria itu kembali bertanya. "Ya, ... sepertinya tidak akan ada yang menginterogasiku jika pulang selarut ini." Kisya menatap jam yang sudah menunjuian pukul 11 malam. Bara terkekeh, "Nanti aku yang menghadapi orang tuamu jika mereka macam-macam." "Kamu sungguh-sungguh dengan ucapanmu yang tadi itu?" "Iya. Kenapa? mau cepat-cepat mewujudkannya?" pria itu membantu Kisya turun dari tempat tidur. "Kamu konyol!" "Memang." "Ini aneh sekali tahu?" "Apanya?" "Aku bertemu pria asing yang langsung melamar tanpa mengenalku terlebih dahulu." Bara tergelak lagi. "Dan kamu sangat aneh." "Apanya yang aneh?" "Melamar gadis yang tidak kamu kenal sama-sekali." "Kamu tidak tahu itu, Ki." "Memang, makanya aku merasa aneh." "Jadi bagaimana?" "Apa?" "Mau menikah denganku?" "Tidak mau." "Kenapa? aku sudah melamarmu tahu? dan tadi kamu jawab iya." "Itu tadi terpaksa, kan kamu juga yang memaksa." "Benar, dan aku memang suka memaksa." "Dasar Aneh!" "Sama sepertimu." Dan mereka terus berdebat hingga meninggalkan tempat itu. * * * Bersambung ...
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN