Rumah sakit menjadi seperti rumah kedua bagi mereka. Setidaknya bagi Mischa. Sejak kecil dia memang sering bolak-balik untuk menjalani pengobatan yang tidak ada habisnya. Cek jantung, cek darah, pemeriksaan mata, dan cek kesehatan lainnya. Yang sangat menyita waktu dan perhatian hampir semua orang. Apalagi emosinya yang kadang tidak stabil membuat kedua orang tuanya harus memberikan perhatian ekstra kepadanya.
Jadilah mereka tidak dapat membagi waktu antara mengurus Mischa, dan memperhatikan Kisya adiknya, sejak dia kecil sampai dewasa seperti ini.
Seperti hari ini, setelah perdebatan cukup sengit yang di akhiri drama kehisterisan Mischa hingga dia tak sadarkan diri, semuanya terulah seperti hari-hari yang sudah berlalu.
Mereka duduk di ruang tunggu, menanti hasil pemeriksaan dokter dan berharap gadis itu segera terbangun dari pingsannya.
Arga berlari melewati lorong rumah sakit begitu dia mendapatkan kabar jika calon istrinya itu jatuh tak sadarkan diri, diikuti kedua orang tuanya di belakang.
"Kenapa lagi?" dia bertanya setelah tiba di ruang pemeriksaan, raut wajahnya tampak khawatir dan dia memang terlihat sedikit panik.
"Hanya kambuh." Marwan menjawab.
Arga mengusap wajahnya dengan kasar, lalu pandangannya tersita saat menemukan wajah datar Kisya yang duduk membeku di kursi ujung. Dia tertegun.
Pintu pemeriksaan terbuka, dan dokter bersama perawatnya keluar.
"Bagaimana dokter?" dia segera menghampirinya.
"Mischa sudah siuman. Dia hanya shock, dan sedikit mengalami stress ringan. Mungkin karena terlalu banyak berpikir, membuat kondisinya menurun," dokter menjelaskan.
"Shock? stress? kenapa? apa ada masalah?" Arga menoleh kepada Sonya dan Marwan. Sementara dua orang itu hanya tertegun.
Kemudian terdengar suara isakan dari dalam kamar pemeriksaan. Arga mengalihkan perhatian, dan tampaklah Mischa yang sedang menangis sesenggukan.
"Mi?" dia menerobos masuk kedalam sana.
"Arga!!" Mischa mengulurkan kedua tangannya, yang disambut Arga dengan segera. Dia menundukan tubuhnya untuk memeluk gadis itu saat tangisannya pecah kembali.
"Hey, hey... ada apa? kamu kenapa?" pria itu menepuk punggungnya pelan-pelan.
"Kita batalin aja nikahannya!" ucap Mischa tiba-tiba.
"Apa? kenapa?" Arga sedikit mengangkat wajahnya.
"Aku nggak mau kehilangan adikku." jawabnya dengan suara pilu.
"Apa?"
Mischa tersengal-sengal.
"Kisya, ..." katanya.
"Kisya? kenapa Kisya?" Arga mengerutkan dahi, lalu mereka berdua menoleh ke arah pintu saat ekor mata keduanya menangkap pergerakan. Dan Kisya berdiri disana.
Mischa mencoba untuk bangkit, masih dalam posisi memeluk Arga, dengan tatapan tetap tertuju kepada adik perempuannya.
"Dek, kalau kamu memang nggak bisa merelakan Arga untuk kakak, nggak apa-apa. Kakak yang akan merelakan dia untuk kamu." Mischa berucap diikuti isakan.
"Apa maksud kamu?" sergah Arga.
"Kakak akan membatalkan pernikahan kami, biar kamu yang menikah dengan Arga bulan depan. Asal kamu mau memaafkan kakak, dan jangan membenci kakak lagi," ujarnya dengan suara parau dan air matanya bercucuran.
Kini Kisya yang mengerutkan dahi.
"Aku nggak pernah benci kakak. Kenapa kakak bisa mengatakan hal seperti itu?"
"Tapi itu yang kakak rasakan. Sejak kami merencanakan pernikahan, kamu seolah menunjukan rasa benci kamu sama kakak." jawab Mischa.
Kisya menggigit bibir bawahnya dengan keras.
Drama apa lagi ini? Mischa mulai mengada-ada.
Batinnya.
"Kamu marah-marah kepada ayah dan ibu, dan kamu mengamuk di kamar, apa itu namanya kalau bukan sedang menunjukkan kemarahan dan kebencian kamu sama kakak?" lanjut Mischa.
"Apa?" Arga menyela.
"Kisya tadi ngamuk di kamarnya, padahal aku sudah minta maaf. Tapi dia tidak mau memaafkan aku. Apa salah aku? apa karena aku sakit-sakitan sejak kecil? apa karena semua orang merawat aku? apa karena kamu juga malah memilih aku? katakan dimana salahku?" tangis Mischa pecah lagi.
"Hey!!!" Arga memeluknya semakin erat. "Bukan salah kamu, keadaan memang tidak berpihak kepada kamu. Tidak apa-apa, jangan khawatir. Aku tidak akan meninggalkan kamu," katanya, dan dia mengucapkannya seringan bernapas.
Kisya memejamkan mata dan mengepalkan kedua tangannya dengan erat. Jelas ini bukan tempatnya, dan dia salah telah menyusul kedua orang tuanya ke rumah sakit. Karena nyatanya, drama itu terulang lagi, sama seperti hari-hari lainnya. Saat dirinya menjadi kambing hitam atas menurunnya kondisi kakaknya yang dia olah sedemikian rupa sehingga semua orang iba kepadanya, dan berbalik membencinya.
Sama halnya seperti Arga, yang juga berubah sejak dia sering kali datang kerumah dan menyimak drama tersebut.
Kisya menghembuskan napas dengan kasar, lalu dia memutuskan untuk keluar dari tempat tersebut. Tidak ada gunanya juga dirinya tetap berada disana, karena tidak akan ada yang berada di pihaknya. Dia akan selalu menjadi anatagonis yang membenci kakaknya sendiri karena rasa iri.
*
*
"Ki?" suara yang dikenalnya menginterupsi lamunan.
Kisya menoleh kebelakang dan sosok Arga berdiri di belakang kursi tempatnya melamun. Ini pertama kalinya pria itu menemuinya setelah beberapa bulan dia memutuskan untuk berpisah.
"Maaf," ucapnya dan dia duduk di tempat kosong di sampingnya.
"Kenapa kamu meminta maaf? kan bukan kamu yang salah?" Kisya menatap dedaunan yang bergoyang tertiup angin.
"Karena aku, kamu dan Mischa jadi seperti ini," ini pertama kalinya mereka berbicara lagi.
"Sudahlah, jangan bahas itu. Aku ngerti apa yang terjadi disini. Semuanya demi keselamatan Mischa, dan aku hanya bisa mengalah," sergah Kisya.
"Dengar Ki, aku mohon!"
"Tidak kah kamu lihat keadaan Mischa yang seperti itu? tidakkah kamu merasa iba kepada kakakmu yang sedari kecil kamu ketahui jika keadaannnya selemah itu? dimana perasaan kamu Ki?"
"Apa? kamu tanya perasaan aku dimana?" gadis itu hampir berteriak.
"Ya, kenapa kamu selalu bersikap seperti itu? sejak kita berhubungan dulu, yang aku dengar cuma keluhan kamu tentang Mischa dan orang tua kamu yang selau memprioritaskan dia. Tanpa kamu sadari keadaannya yang memang mengharuskan dia diperlakukan sperti itu."
"Kamu juga tahu apa yang terjadi jika dia terlalu lelah, terlau banyak berpikir. Seharusnya kamu lebih peduli kepada dia dari pada aku. Mischa itu kakak kamu."
"Kamu sedang menghakimi aku, Arga?" Kisya menunjuk wajahnya sendiri.
"Aku tidak sedang menghakimi kamu, hanya saja aku mohon, rubah sikap kamu. Kita memang nggak jodoh. Mengertilah, jangan jadikan aku sebagai alasan untuk memusuhi Mischa, dia tidak bersalah. Aku yang memang memutuskan untuk memilih dia, kamu tahu itu. Dia sangat terpukul karena adik satu-satunya malah memusuhi dia karena hal kecil."
Kisya kembali memejamkan mata. Masalah drama ini malah semakin melebar kemana-mana, dan dia merasa tidak tahan lagi. Dia bangkit dari duduknya.
"Kamu tahu, apapun yang aku katakan, nggak akan pernah mempengaruhi kamu, orang tuaku, atau siapapun. Sekalipun itu adalah kebenaran. Kalian semua akan tetap membela Mischa, dan menyalahkan aku. Nggak peduli apa aku yang salah atau Mischa yang salah. Kalian akan tetap ada di pihaknya."
"Bukan begitu Ki. Masalahanya hati kamu yang dengki kepada kakak kamu sendiri. Cobalah kamu introspeksi diri, dan melihat permasalahan ini dari sudut pandangnya Mischa. Bukan sudut pandang kamu."
"Apa dia mau sakit-sakitan seperti ini? apa dia mau lemah seperti sekarang ini? atau apakah dia mau mengalami semua yang dia alami ini? tidak ada yang mau berada di posisi Mischa seperti sekarang ini," ucap Arga, berapi-api. Dia merasa harus membela calon istrinya yang selalu tersudut oleh Kisya.
"Kamu benar, dan nggak satu orang pun yang mau ada di posisi seperti aku. Harus merelakan segala yang aku punya untuk dia. Kamu boleh menyebut aku dengki, iri, atau apapun, aku nggak peduli. Karena pada kenyataannya pun nggak ada yang peduli dengan aku!" dia memutar tubuhnya, bermaksud untuk pergi. Tapi Kisya menghentikan langkahnya pada jarak yang masih dekat, lalu berbalik.
"Kamu tahu, sebaiknya kamu percepat pernikahan kalian, sebelum Mischa mengandung. Hubungan kalian sudah sangat jauh."
Arga membelalakan matanya, dia tak menyangka mantan kekasih sekaligus calon adik iparnya itu mengetahui sejauh apa hubungannya dengan Mischa.
"Kenapa? kaget? kamu pikir aku nggak tahu, kenapa kamu lebih memilih kak Mischa dari pada aku? aku tahu, Arga. Kamu memilih dia karena kalian sudah terlanjur berhubungan badan 'kan? itu alasan terbesar kamu memilih dia. Karena Mischa dengan mudah memberikan mahkotanya dari pada aku," katanya, dengan tegar.
"Jadi nggak usah berlagak diplomasi dengan aku. Orang lain mungkin nggak tahu, tapi aku tahu."
"Dan aku nggak peduli, hanya saja, nikahi dia secepatnya, jangan membuat orang tuaku kecewa karena mengetahui anak kesayangannya telah berbuatt diluar batas." katanya, yang kemudian segera pergi.
*
*
*
Bersambung. ...