"Saya terima nikah dan kawinnya Kisya Binti Bapak Marwan dengan mas kawin tersebut, tunai." Bara mengulangi ucapan Marwan beberapa detik sebelumnya dengan lancar dan tanpa hambatan.
Semua orang yang hadir tentu saja mengucap syukur dan bernapas lega. Walau keterkejutan masih mendominasi atas pernikahan yang begitu kilat ini, namun secara keseluruhan mereka bahagia.
Pesta resepsi berlangsung meriah dihadiri beberapa tamu yang cukup penting. Terutama para anggota keluarga dan kerabat lain dari kedua belah pihak.
Tidak ada yang tak terpukau dengan penampilan Kisya hari itu, terutama pada saat malam resepsi. Gadis itu terlihat begitu anggun dengan gaun pesta berbahan begitu lembut dan warna alami yang menonjolkan kecantikannya.
Gaun panjang tanpa lengan dengan pundak terbuka dan belahan cukup tinggi. Rambutnya hanya diikat kebelakang namun membuatnya tampak begitu mempesona.
Bara tak bisa memalingkan pandangan darinya. Dia terus menatap Kisya, seolah gadis itu akan menghilang jika dirinya mengedip sekali saja.
"Jangan lihat aku terus, Bar." Kisya berbisik.
"Kamu ... sangat cantik." pria itu sambil terkekeh.
"Kamu sudah mengatakannya berkali-kali."
"Benarkah? aku lupa." Bara tergelak.
"Hmm ...
"Kisya?" Sonya bersama Marwan datang mendekat.
"Ya?"
"Ibu dan ayah pamit," ucap Sonya kemudian.
"Oh, ... baik." Kisya hanya menganggukan kepala tanpa ekspresi. "Terimakasih," lanjutnya kemudian.
Bara meyentuh jemari gadis yang kini telah berstatus menjadi istrinya itu, kemudian tersenyum.
"Acaranya masih satu jam lagi, Bu."
"Iya, tapi maaf, Mischa sudah kelelahan jadi sebaiknya kami pulang." Sonya menjawab.
"Jangan dipaksa sayang, mereka datang sebentar saja sudah merupakan kehormatan bagiku, jadi kalau mereka ingin pergi sekarang yan biarkan saja, tidak usah ditahan." Kisya menyela percakapan.
Masih segar dalam ingatannya saat terakhir kali dirinya berada di rumah itu. Saat tamparan keras Marwan mendarat di pipinya hanya karena dia menolak ajakan kakak perempuannya untuk makan malam. Dan membuat Kisya bersumpah bahwa sejak saat itu dirinya tak akan lagi menginjakan kaki di rumah tersebut apapun alasannya.
Termasuk saat Bara memberitahukan kepada keluarganya itu bahwa mereka akan menikah. Dia membiarkan pria itu berbicara kepada kedua orang tuanya sendirian sementara dirinya menunggu di dalam mobil.
Sekeras itu hatinya kini, dan dia enggan untuk melunakannya lagi.
"Bukan begitu Ki." Sonya menyanggah.
"Sayang, aku mau ke toilet dulu ya? kamu bisa aku tinggal sebentar 'kan?" Kisya bangkit dari kursi duduknya.
"Terimakasih Bu, kalian sudah datang. Itu sangat berarti bagiku." gadis itu berucap sebelum akhirnya pergi seperti yang dikatakannya.
*
*
Malam sudah sangat larut ketika pesta itu usai. Orang-orang telah berlalu dan ballroom mulai di bersihkan dari segala pernak-pernik pesta hingga keadaannya kembali ke bentuk semula.
Sang pengantin baru telah kembali ke peraduan. Ruangan pribadi milik Bara di lantai paling atas gedung hotel Diamond, tempat di mana mulai kini mereka akan hidup bersama sebagai suami istri.
Kisya menatap ruangan tersebut dalam diam.
"Masuklah, ini rumahmu sekarang." Bara berjalan mendahuluinya sambil melepaskan jasnya.
Kisya hanya menatapnya dalam diam.
"Ki?"
"Umm, ... ya?"
"Masuklah." pria itu menyentakan kepalanya.
"Ba-baiklah, ..." gadis itu akhirnya menurut.
"Ini kamarmu, lemarinya disini, kamar mandi, ruang ganti , dan ... yang lainnya. Atur saja sesuai keinginanmu." Bara menunjukan kamar di ujung.
"Kamar?" Kisya bereaksi.
"Iya, kamarmu."
"Kamu sendiri?"
"Di sana." Bara melirik ke ruangan tertutup di ujung lainnya.
"Kita tidak tidur satu kamar?" Kisya dengan heran. Pasalnya dia tak menyangka jika pria itu akan mengatur tempat tinggal mereka hingga sedemikian rupa.
"Apa kamu mau kita tidur satu kamar?" Bara mendekat hingga jarak mereka hanya tinggal beberapa langkah saja.
"Umm ..." wajah Kisya memucat seketika.
"Tidak 'kan?" pria itu terkekeh. "Aku sih mau-mau saja karena kita sudah sah, dan sudah seharusnya juga kita berada dalam satu ruangan yang sama tapi, ... aku rasa bukan itu yang kamu inginkan sekarang ini."
"Kamu benar-benar ingin lepas dari keluargamu, dan aku ingin kita saling memahami terlebih dahulu."
"Bara ...
"Aku mencintaimu, Kisya." Bara menatapnya dengan lembut.
"Tapi kamu belum merasakan hal yang sama kepadaku saat ini. Jadi, ... mari kita saling memahmi terlebih dahulu? kamu bisa menggunakan waktu sebanyak yang kamu perlukan. Dan kita bisa tetap berpura-pura menjadi suami istri pada umumnya."
"Sepertinya aku jahat ya kepadamu Bara?" Kisya buka suara.
"Jahat?"
"Aku seolah-olah sedang memanfaatkanmu sekarang ini. Menggunakanmu sebagai alasan agar aku terbebas dari hal yang selama ini menahanku."
"Perasaanmu begitu?"
"Ya."
"Apa kamu bisa merubahnya?"
"Entahlah, mungkin akan sedikit sulit dalam hal ini."
"Tidak apa-apa, aku akan bersabar menunggu hingga hal ini tidak lagi hanya berpura-pura."
"Apa pernikahan kita ini pura-pura?"
"Aku rasa pernikahan kita sah, tapi mungkin konteksnya kita memang sedang berpura-pura, bukan?" Bara tergelak.
"Jadi kita pura-pura menikah?"
"Begitulah." jawab Bara sekenanya.
"Baiklah."
"Tapi aku berharap kepura-puraan ini menjadi nyata nantinya."
Reva hanya tersenyum.
"Sana, masuklah. Kita aka menghabiskan malam pengantin ini bersama-sama."
"Malam pengantin?" Kisya membeo.
"Ya, malam pengantin. Kamu dikamarmu, dan aku dikamarku." Bara tertawa lagi seraya menghambur kedalam ruang pribadi miliknya. Sementara Kisya menatap punggungnya hingga dia menutup pintu.
*
*
"Selamat pagi?" Bara sudah menunggunya di meja makan. Sudah siap dengan sarapan dan segala macamnya.
Kisya berjalan mendekat, dan sebuah senyum tersungging di bibirnya.
"Tidurmu nyenyak tadi malam?" Bara menyeruput kopinya yang masih mengepulkan uap tipis. "Bagaimana malam pengantinmu?"
"Lumayan, tidak terlau buruk." Kisya duduk di seberangnya.
"Baguslah."
"Kamu sendiri bagaimana?" Kisya memilih membuat teh hangat dengan tambahan irisan lemon di dalamnya, kemudian menambahkan sedikit gula, dan meminumnya pelan-pelan. Rasanya segar di tenggorokan, dan dia juga merasa lebih baik.
"Sangat nyenyak, apalagi? kita sudah menikah, dan tak ada hal lain yang lebih aku inginkan dari pada itu." Bara menjawab dengan senyuman yang cukup manis pula.
Kisya terdiam.
"Berbahagialah, kamu sudah benar-benar bebas sekarang. Lakukanlah apapun yang kamu mau, tanpa takut akan ada yang mendiktemu, atau mengaturmu."
"Terimakasih," ucap Kisya kepada Bara.
"Untuk semua yang telah kamu lakukan," lanjutnya. "Apa ada yang bisa aku lakukan untuk membalasnya?"
"Tidak ada, selain menjadi seutuhnya milikku." Bara mejawab diiringi senyuman yang sama.
Kisya kembali terdiam.
Namun seketika tawa menyembur dari mulut pria itu.
"Bercanda, Ki. Kamu terlalu serius, hahaha ..." katanya dengan wajah yang terdongak keatas.
"Jangan takut, aku tidak akan melakukan sesuatu kepadamu walaupun kita sudah sah menjadi suami istri, jika kamu memang tidak menginginkannya. Kamu bisa mempercayai aku, Ki."
Gadis itu menatapnya lekat-lekat.
"Pura-pura menikah, ingat?"
"Pura-pura menikah?"
"Ya, pura-pura menikah."
Kemudian keduanya terdiam dengan pikirannya masing-masing.
"Aku mau bekerja, ingat?" gadis itu kembali membuka percakapan.
"Bekerja?"
"Ya, bekerja."
"Bekerja dimana?"
"Entahlah, mungkin aku akan mencari yang sesuai dengan jurusan kuliahku."
"Kenapa tidak di hotel ini saja? kan bagus. Kamu tidak perlu capek-capek keluar."
"Tidak bisa."
"Kenapa?"
"Tidak sesuai dengan jurusan kuliahku."
"Pekerjaan tidak tidak harus selalu sesuai dengan jurusan kuliah, Ki. Yang penting kamu bisa menghasilka uang dan mampu mengerjakannya."
"Tapi aku ingin yang sesuai dengan yang aku pelajari dulu."
"Hmmm ..." Bara menghela napas lalu mengerucutkan mulutnya.
"Rasanya mungkin akan sangat senang jika aku bisa mendapatkan pekerjaan yang sesuai dengan minatku."
"Baiklah, nanti aku coba carikan," ucap Bara yang meneruskan kegiatan sarapannya.
*
*
*
Bersambung ...