Kisya terbangun saat indera penciumannya menangkap aroma makanan yang menguar di udara. Dia mengerjap pelan sambil memegangi kepalanya yang terasa pening. Semalam dia memang tertidur sangat larut, karena pembicaraan dengan Bara berlangsung hingga hampir dini hari. Segalanya dia ungkapkan kepada pria itu sehingga membuatnya merasa sedikit lega setelah bertahun-tahun memendamnya sendirian.
Terdengar suara pintu dibuka dari luar, dan Kisya segera menoleh.
"Kamu sudah bangun?" pria itu muncul diambang pintu.
Kisya tak menjawab, namun dia segera bangkit sambil menyugar rambut panjangnya.
"Bangunlah, kita sarapan bersama," ucap Bara, kemudian dia kembali menutup pintu.
***
"Apa rencanamu setelah ini?" mereka makan di balkon dalam suasana yang begitu tenang. Cuaca memang bagus pada pagi itu, dan keduanya tampak berusaha menikmati kebersamaan yang tercipta diantara mereka.
"Aku nggak tahu, mungkin hal pertama yang harus aku lakukan adalah mencari tempat tinggal, dan mencari pekerjaan," jawab Kisya yang mengunyah makanannya dengan tenang.
"Tinggallah disini, dan bekerjalah kepadaku." Bara sedikit menahan senyum.
"Nggak mungkin." Kisya menggelengkan kepala.
"Kenapa? ini mudah, kamu tidak perlu mencari pekerjaan, dan tidak harus susah-susah mencari tempat tinggal."
"Tapi aku ingin begitu."
"Kenapa kamu harus memilih jalan yang sulit, sementara aku menawarkan kemudahan bagimu?"
"Bukankah sudah aku katakan? aku tidak mau terbebani dengan keharusan membalas budi kepada seseorang?"
"Kamu keras kepala, Ki."
"Memang, dan cepat atau lambat kamupun akan tidak menyukai aku setelah tahu bagaimana aku yang sebenarnya."
"Benarkah?"
"Ya."
"Kamu yakin?"
"Tentu saja."
Pria itu hanya tersenyum.
*
*
Mereka turun ke lobby setelah Bara gagal meyakinkan gadis itu untuk tetap tinggal. Dia berniat mengantarnya mencari semacam kos-kosan untuk tempatnya tinggal.
Namun langkah keduanya terhenti saat di waktu yang bersamaan muncul pula Arga dan Mischa.
"Oh, ... kamu disini rupanya?" sang kakak yang terlebih dulu melihatnya mencoba menyapa.
Kisya memutar bola matanya, sebal.
"Pantas, berani keluar dari rumah tanpa memperhitungkan banyak hal, rupanya kamu lari kesini? aku faham," lanjutnya sambil mengangguk-anggukan kepala.
"Arga, bisakah kau mendidik istrimu, agar dia tidak bicara sembarangan? aku takut itu akan dia lakukan kepada orang lain, dan malah akan mencoreng nama baikmu." Bara berbicara dengan begitu tenang.
"Lagipula, untuk apa juga kalian datang kesini?" lanjutnya.
"Aku mau mulai bekerja, kak." Arga menjawab.
"Bekerja? apa masa bulan madumu sudah berakhir?"
"Sudah, kak."
"Ya, dan dia harus segera bekerja, karena kami akan punya keturunan." Mischa dengan bangganya mengelus perutnya sendiri.
"Apa?" Bara bereaksi.
"Iya 'kan, sayang?" dia bergelayut manja pada lengan Arga.
"Be-begitulah, ...." Arga menjawab,, sedikit merasa canggung.
"Wow, selamat!" Bara berujar. "Kalau begitu, aku akan segera menjadi om, dan kamu akan segera menjadi tante, Ki. Bukankah itu menyenangkan?" pria itu dengan riang gembira.
"Hmm ... " Kisya menjawab dengan gumaman.
"Berapa minggu?"
"Mmm ...
"Dua bulan." Mischa menjawab tanpa merasa canggung sedikitpun, tapi dia malah terlihat bahagia.
"Dua bulan?" ucap Bara.
"Ya, dua bulan." Mischa dengan ceria.
"Wah, ... tidak bisa dipercaya, kilat juga ya?" Bara terkekeh sambil menepuk pundak adik sepupunya.
"Selamat, Ga. Kau akan menjadi ayah," katanya kemudian.
"Hmm ..." sang adik sepupu hanya tersenyum samar. Beberapa detik kemudian dia melirik kepada adik ipar sekaligus mantan kekasihnya, namun gadis itu hanya terdiam tanpa reaksi.
"Apa kamu tidak mau mengucapkan selamat? keponakanmu akan lahir dalam beberapa bulan lagi lho." Mischa kembali berbicara.
"Sudah Bara wakili, 'kan?"
"Memangnya dia siapa? kamu 'kan adikku, seharusnya kamu yang memberiku selamat," perempuan itu dengan raut yang mengesalkan.
"Sama saja."
"Oh, ... aku lupa. Dia hanya kekasih palsumu 'kan? hanya sebagai pelarian disaat ku patah hati ditinggal menikah," ejeknya.
"Mis, ..." Arga sedikit menyentakan tangannya.
"Itu benar, sayang. Dia sampai begini 'kan karena patah hati setelah kamu putuskan. Makanya sikapnya tidak pernah baik kepadaku. Jangan-jangan dia juga berniat merebut kamu lagi, makanya keluar dulu dari rumah untuk merencanakan sesuatu."
"Astaga!" Bara tertawa pelan. Sementara Kisya mengepalkan kedua tangannya.
"Kamu nggak usah berpikir seperti itu ya, Ki? kehamilanku ini membuktikan kalau Arga memang memilih aku karena dia mencintai aku, walaupun kamu lama berpacaran dengannya, tapi jelas dia lebih memilih aku kan?" Mischa mengeratkan lilitan tangannya di lengan suaminya.
Dia merasa memenangkan situasi karena sang adik yang dibencinya sejak kecil tak dapat menjawab semua kalimat yang dia lontarkan.
"Bangga ya kamu hamil diluar nikah? selamat, ayah dan ibu pun pasti sangat bahagia karena anak kesayangannya aka segera memberi mereka cucu?" Kisya buka suara.
"Oh, ... tentu saja. Mereka sangat bahagia." Mischa dengan seringaian jahatnya.
"Bagus, memang keluarga yang sangat serasi, dan harmonis," ucap Kisya, yang tiba-tiba saja meraih tangan Bara lalu menautkan jari-jari mereka.
"Memang. Dan aku bahagia bersama mereka yang sangat menyayangi aku."
Kisya mengetatkan rahangnya hingga giginya bergemeletuk.
"Keluargaku, ..." ucap Mischa lagi sambil tersenyum.
"Syukurlah, dan aku harap kamu akan menyampaikan kabar gembira ini untuk keluargamu, Mischa." Kisya meremat jemari Bara dalam genggamannya.
"Ya, kabar gembira apa? tentu dengan senang hati akan aku sampaikan," jawab Mischa.
"Kabar gembira soal pernikahanku," ucap Kisya kemudian. "Ehm, ... maksud aku, pernikahan kami," dia pun bergelayut manja pada pria disampingnya.
Kisya mendongak ke arah Bara dan dia tersenyum begitu manisnya. Sementara pria itu terdiam menatap wajah cantiknya yang selama bertahun-tahun menguasai dunianya.
"Iyakan, ... sayang?" ucap Kisya, yang membuat pipi pria itu merona seketika.
"Benarkah?" Arga menatap dua orang itu secara bergantian.
Bara masih menatap wajah Kisya, sementara gadis itu meremat jemarinya lebih keras. Pancaran matanya mengandung kesedihan, dan dia tahu penyebabnya apa.
"Ya, tentu saja." Bara memalingkan wajah kepada adik sepupunya.
"Ka-kapan?" Arga bertanya lagi.
"Secepatnya." Bara menjawab.
"Secepatnya itu kapan?" Mischa menyela.
"Mmm ... secepatnya ...
"Minggu depan." Kisya kemudian memberikan jawaban.
Bara kemudian kembali mengalihkan perhatiannya kepada Kisya.
"Iyakan, sayang? kita sudah membicarakannya semalam? dan kita sudah sepakat," dia kembali meremat jemari Bara lebih keras lagi.
"Mm ... ya, tentu saja. Kita sudah sepakat." Bara mengamini.
"A-apa tidak terlalu cepat?" Arga seketika menginterupsi.
"Tidak, lebih cepat lebih baik, 'kan? dari pada terjadi sesuatu kepadaku." Kisya dengan ekspresi yang dia buat seceria mungkin, walau pada kenyataannya hatinya terasa diiris-iris.
"Ya, niat baik harus disegerakan, seperti halnya kalian," sambung Bara yang balas meremat jemari Kisya.
Seulas senyum tersungging di bibirnya, lalu dia mengangkat genggaman tangan mereka berdua kemudian mengecup punggung tangan Kisya dengan lembut. Sebuah akting yang cukup baik telah diperankannya pagi itu.
"Ayo kita mulai hari ini? banyak hal yang harus di persiapkan untuk pernikahan. Aku tidak mau ada yang kurang sedikitpun, ini harus menjadi pernikahan paling indah yang pernah ada," katanya, seraya menarik Kisya dari gedung tersebut. Meninggalkan dua orang yang terdiam dengan pikirannya masing-masing.
*
*
*
Bersambung ...