"Tuan." Suara vokal milik Angga membuyarkan lamunan pria yang sedang duduk di kursi kebesarannya.
"Hem." Sang pemilik suara menatap tajam Angga yang masih berdiri di hadapannya.
"Wanita itu sebentar la-" suara Angga terhenti saat mendengar keributan di depan pintu masuk ruang eksekutif sang bos.
Ceklek...
Pintu ruangan terbuka hingga menampilkan sosok seorang wanita muda cantik dengan wajah memerahnya.
"Kamu lihat para karyawan mu ini Tama? Cih... Aku muak melihat mereka yang tak pernah bisa bersikap baik pada ku." Sambil merapikan rambut ikal panjang berwarna kecoklatan miliknya.
"Apakah anda bisa sopan, Nona? Anda tidak bisa main masuk keruangan ini." Angga berjalan mendekati wanita yang menerobos untuk masuk kedalam ruangan pribadi milik tuannya.
"Biarkan dia masuk." Suara tegas itu mampu memberikan hawa dingin keseluruh ruangan hingga membuat bulu kuduk Angga berdiri.
"Tapi tuan-" Angga telah mencengkeram tangan si wanita dengan erat dan akan menyeretnya keluar ruangan itu.
"Lepaskan dan keluarlah," titah sang bos.
"Kamu dengar itu? Hahaha... Cepat kamu pergi keluar." Suara tawa dengan nada mengejek yang di lontarkan wanita bertubuh montok itu membuat Angga mengepalkan kedua tangannya, jika saja itu pria maka sudah bisa di pastikan kepalan besar itu telah melayang bebas di wajah pemilik.
Angga melepaskan cengkraman di lengan wanita itu dan pergi meninggalkan mereka berdua sesuai perintah Tama.
"Ada perlu apa kamu menemuiku?" tanya Tama sekena nya.
"Tsh, apa kamu tak merindukan ku Tama? Setelah cukup lama kita tak bertemu." Dengan nada manja berjalan berlanggak lenggok mendekati kursi Tama.
"Jaga sikapmu, Alea." Perkataan Tama membuat langkah wanita yang bernama Alea terhenti dan mengurungkan niatnya untuk duduk di pangkuan Tama.
"Baik lah, setidaknya kamu menawarkan ku untuk duduk baru bertanya." Alea menghentakkan kaki nya dengan wajah kesal berjalan menuju sofa tak jauh dari meja kerja Tama.
"Katakan penawaranmu." Seolah telah mengerti kedatangan Alea akan memberikan penawaran untuknya, Tama menyandarkan tubuhnya di kursi kebesaran dengan kaki kanan yang menimpa kaki kiri dan kedua tangan yang menyilang di depan d**a.
"Aku telah mengikatnya, dengan begitu dia tak akan pernah bisa lari dari ku dan kamu bisa menjatuhkannya dengan mudah." Seringai licik terpampang jelas di wajah Alea hingga membuat sudut bibirnya tertarik ke atas.
"Apa kamu yakin?" Tama menatap Alea penuh selidik.
Alea memutar kedua bola matanya malas menyaksikan raut wajah yang di tampilkan oleh pria tampan berhati dingin yang ada di hadapannya itu. Alea merupakan sahabat lama Tama saat mereka sama sama melanjutkan kuliah di salah satu univeritas terbaik di singapur, namun persahabatan itu hancur saat Alea mulai menaruh hati pada Tama, ia mengharapkan lebih dari sekedar pertemanan hingga Alea rela akan memberikan tubuh moleknya pada Tama hanya untuk menyakinkan Tama bahwa ia benar benar menginginkan Tama. Namun hal itu justru membuat Tama membenci Alea bahkan ia merasa jijik melihat sikap murahan Alea.
Semenjak saat itu Tama memutuskan untuk tidak berhubungan apa pun dengan Alea, walau telah ratusan kali Alea meminta maaf pada Tama tetap saja Tama tak mengindahkan niat baik dari mantan sahabatnya itu, hingga akhirnya mereka berdua bertemu secara tidak sengaja dengan tujuan yang sama.Yaitu sama sama ingin membalas dendam pada orang yang sama setelah lima tahun tidak bertemu.
"Tunggu sampai dia sedikit membesar." Alea mengelur elus perutnya yang datar dengan senyum getir di wajahnya.
Tama yang mendengar, begitu terkejut hingga ia berdiri dari kursinya menatap tajam pada Alea.
"Kamu hamil? Anaknya?" Mata Tama membulat sempurna dengan rahang yang mulai mengeras.
Alea menganggukkan kepalanya perlahan, tanpa di sadari butiran air bening lolos dari sudut pelupuk matanya.
"Kamu gila Alea. Kamu sendiri sudah tahu dia itu b******k, bahkan birahinya melebihi nafsu hewan, kenapa kamu terdengar seperti w************n Alea?" Tama memukul kuat meja kerja yang di alasi kaca tebal hinggga mengeluarkan bunyi yang keras, tak di hiraukannya lagi tangan besar yang kini mulai memerah.
"Aku tahu Tama, aku tahu. Tapi kamu juga tahu bukan, jika aku mencintainya? bahkan melebihi rasa cinta ku padamu dahulu. Apa aku enggak boleh mencintai seseorang? Bahkan p*****r pun berhak jatuh cinta Tama." Isak tangisan menghiasi ruangan tersebut, Alea benar benar kacau dan sedih dengan apa yang di ucapkan Tama.
Tama meraup wajahnya kasar, wajah tampan dan berseri kini telah berubah memerah dengan amarah yang membara. Tama memang telah lama tidak berhubungan baik dengan Alea, tapi bukan berarti rasa simpati itu hilang begitu saja, bahkan saat ini perasaan ingin melindungi sebagai sahabat pun masih ada di benak Tama. Karena bagaimana pun Alea adalah satu satunya sahabat yang mengetahui segala permasalahan serta masa lalu seorang Tama, dan juga Alea sosok sahabat yang bisa di percaya menjaga rahasia, terbukti hingga saat ini Alea tak membeberkan satu pun masa lalu dan rahasia Tama pada siapapun.
"Apa dia mengetahuinya?" Suara dingin penuh amarah menggema di seluruh ruangan itu.
Alea hanya menggeleng tertunduk, tangisannya kini benar benar terdengar pilu, penyesalan dan kecewa bercampur baur di dalam hati perempuan berambut kecoklatan itu.
*****
"Sayang, kamu kenapa? Apa kamu sakit?" Renita menempelkan pinggung tangannya di dahi Dhira.
"Mama, aku enggak sakit." Dhira menurunkan selimutnya hingga sebatas perut.
"Syukur lah, ayo mandi dan siap siap sana. Nanti malam Arjuna akan makan malam bersama kita." Renita menampilkan senyuman di wajahnya dengan tatapan menggoda pada Dhira.
Dhira menghela nafas kasar sembari memutar bola matanya malas.
"Mama kenapa senyum senyum gitu? Kesambet?" Beringsut duduk dan menyandarkan tubuhnya di kepala ranjang.
Seutas senyuman menggoda kini berubah menjadi senyuman penuh harap di wajah wanita paruh baya itu, tampak pancaran kebahagian dari kedua sorot mata itu.
"Mama sangat bahagia, akhirnya anak kesayangan mama bisa mendpatkan calon suami yang sangat baik dan perhatian. Kamu tahu kan Arjuna itu sangat di gilai para wanita, bahkan anaknya teman mama ada juga yang menyukai nya loh Dhir." Mama Dhira meyakinkan pada Dhira bahwa pilihannya adalah yang terbaik.
"Ya ya ya... Terserah mama aja deh." Dhira membuka selimut dari tubuh
nya lalu bergegas turun dari atas kasurnya menuju kamar mandi.
"Ooh iya, coba tanyain deh sama anaknya teman mama itu." Wajah serius di tampilkan Dhira pada sang mama.
Renita tak menjawab, hanya tarikan alis yang keatas dengan tatapan penuh tanya terlihat di wajahnya.
"Mau enggak dia jadi calon istri mas Arjuna menggantikan posisi aku?" Dhira melangkahkan kakinya kembali memasuki kamar mandi dan menutupnya tanpa mendengarkan jawaban dari mamanya.
Melihat tingkah anaknya, Renita hanya tersenyum simpul tanpa harus menekankan kata kata pada Dhira, karena ia sangat mengerti jika ada sesuatu yang mengganjal di hati sang putri semata wayangnya itu.