~Kau dan senja memiliki persamaan yang sama. Sama-sama menghangatkan walau dalam jarak yang jauh, dan hanya mampu ku kagumi namun sulit ku gapai.~
Alvero Juanda
***
"Aku masih mencitaimu Dhira." Ucapan yang akhir akhir ini sering terdengar di telinga Dhira membuat perempuan itu sampai muak mendengarnya.
Dhira menopang dagunya dengan sebelah tangannya, menatap langit senja yang telah berganti malam. Pandangannya menerawang jauh ke langit seakan menembus ketebalan awan yang menggelap.
Perlahan, air matanya kembali menetes membasahi wajah sendu itu. "Untuk apa mencintaiku? bahkan aku sendiri sudah mati rasa dengan kata kata cinta." Dhira masih menatap langit langit malam itu.
"Tapi perasaanku ini masih sama seperti yang dulu. Kamu bahkan tahu seberapa besar cinta ini Dhira." Menarik lembut tangan Dhira hingga membuat tatapan Dhira tertuju padanya.
"Vero," ucap Dhira lirih. "Aku mohon, buang jauh perasaan itu. Karena aku enggak akan pernah bisa membalasnya." Dhira menatap dalam kedua manik berwarna kecoklatan itu.
Pria yang pernah mengisi hari harinya dengan penuh kebahagiaan selama bertahun tahun namun harus berakhir kecewa saat pria itu memilih untuk pergi meninggalkannya tanpa alasan dan kabar yang jelas, hingga mengukir luka yang sulit terobati.
Vero mendekatkan kedua tangan Dhira di wajahnya. "Kasih aku kesempatan untuk membuatmu kembali mencintaiku." Mencium punggung tangan perempuan itu.
Dhira menggeleng samar, namun tetap membiarkan kedua tangannya dikuasai oleh Vero. "Maafkan aku Vero." Ucapannya lantas membuat Vero mendesah lesu. "Kalau begitu, berjanjilah untuk tetap menjadi sahabat terbaikku," pinta Vero dengan mata yang penuh harap, dan kedua tangan yang masih menggenggam erat kedua tangan Dhira.
Sesaat tak ada jawaban apapun yang keluar dari mulut manis perempuan itu, pandangannya tertunduk seakan tengah menimbang jawaban yang akan di ucapkannya.
Tak lama Dhira menganggukkan kepalanya hingga membuat lengkungan indah di bibir Vero. "Terima kasih," ucap Vero bersemangat. "Aku sangat bahagia." Kemudian kembali menciumi punggung tangan Dhira.
"Berhenti melakukan itu, Vero," ucap Dhira sedikit kesal. "Kamu terlihat seperti kucing." Dhira menarik kedua tangannya.
Vero terkekeh, karena terlalu bahagia ia sampai tak menyadarinya. "Kucing mana yang enggak bahagia bisa berdekatan terus denganmu. Pamor ikan dimata kucing akan kalah dengan kecantikanmu." Vero menatap Dhira dengan senyumannya.
"Dasar kucing garong." Dhira menepuk lengan Vero hingga membuat Vero larut dalam tawanya.
"Jangan pernah menyentuh minuman ini lagi. Kamu enggak perlu merusak dirimu dengan pengaruh buruk alkohol. Tetaplah menjadi Dhira yang selalu bersikap dengan hal hal positif." Vero mengucapkan keberatannya saat melihat Dhira akan meneguk gelas kaca yang berisi minuman yang mengandung alkohol.
Dhira mengangguk, ia menyadari kebodohannya yang hampir saja dilakukannya. Entah apa yang mendorongnya hingga berani memesan minuman yang telah masuk dalam daftar kutukannya. Beruntung Vero muncul di waktu yang tepat hingga mengurungkan niat Dhira untuk meneguk minuman alkohol itu.
"Aku lapar Ver, sejak tadi belum ada makan apapun," ucap Dhira sembari memegangi perutnya yang telah meminta asupan gizi.
Vero tersenyum melihat tingkah manja Dhira yang telah lama tak di rasakannya. "Baiklah, akan ku pesan makanan terenak di kafe ini." Lalu memanggil waiters dan memesan dua porsi makanan dan minuman untuk keduanya.
Dhira masih menatap langit malam yang belum di hiasi sang bintang bintang, matanya seolah enggan untuk berpaling dari indahnya langit malam yang di terangi oleh syahdunya rembulan yang mamou menyejukkan jiwa.
"Oh iya, perempuan berhijab yang bersamamu saat di cafe itu siapa?" tanya Dhira yang kini menatap mata Vero penuh selidik.
Vero meautkan alisnya. "Kenapa? apa kamu cemburu?" goda Vero dengan wajah tangan kanan yang menjadi tumpuan dagunya.
Dhira memutar kedua bola mata malas. "Aku hanya bertanya Vero. Menyebalkan." Dhira berdecak kesal melihat wajah menggoda Vero.
Hahaha...
Vero tertawa terbahak hingga menggoyangkan kedua bahunya. "Baiklah baiklah, jangan seperti itu wajahmu." Vero mencubit pelan pipi menggemaskan Dhira.
Dhira menepis tangan Vero. "Memangnya ada apa dengan wajahku?" Tanpa menoleh pada Vero.
"Kalau wajahmu seperti itu terus, aku bisa bisa semakin mencintaimu dan aku pastikan aku enggak akan pernah melupakanmu," ancam Vero diiringi kekehannya.
Dengan secepat kilat Dhira mengubah mode wajahnya menjadi tersenyum paksa menatap Vero. "Haah, sepertinya aku bisa gila berdekatan denganmu."
Vero semakin merasa gemas pada perempuan yang duduk di sampingnya saat ini.
'Bagaimana mungkin aku bisa melupakanmu Dhira. Walau harus bertepuk sebelah tangan, aku akan tetap mencintaimu, hingga rasa ini memudar sendirinya tanpa harus ku perintahkan,' batin Vero dalam hati.
*****
Sementara di sebuah rumah sakit, ketiga anak manusia itu masih saja menghabiskan waktu mereka dengan mencari cara untuk bisa meyakinkan Dhira.
"Bagaimana bisa kamu membiarkannya pergi begitu saja, Tama?" tanya Elindra dengan kedua tangan yang bersidekap di depan dadanya.
Tama masih duduk santai di sofa empuk yang ada di dalam ruangan VVIP itu engan tablet pc di tangannya. "Biarkan saja. Dia hanya memerlukan waktu sejenak," jawabnya santai tanpa menoleh pada Elindra.
Elindra berdecak kesal, bagaimana mungkin pria itu tampak begitu santai setelah apa yang terjadi siang tadi di ruangan itu. "Lalu, sampai kapan kamu akan menutupi kebenaran yang baru saja aku dan Alea ketahui ini." Elindra memilih untuk duduk dan menyandarkan tubuhnya di sofa panjang yang sama dengan Tama.
"Iya Tama, kamu harus segera memberitahukan ini semua pada Dhira. Jangan sampai fikiran anehnya merusak dirinya sendiri nantinya," sambung Alea dari atas kasur pesakitannya.
Tama menghentikan gerakan tangannya yang naik turun di layar tablet pc itu. "Apa maksud mu Alea?" tanya Tama degan wajah serius yang menatap kedua bola mata Alea.
Alea menghela nafas perlahan. "Aku juga seorang wanita yang pernah merasakan kekecewaan seperti yang dirasakan Dhira saat ini," sahut Alea dengan tenaga yang mulai terkumpul kembali. "Hati seorang wanita sangatlah tipis, setipis kain sutera, bila hatinya telah tersobek maka akan sulit untuk menjahitnya kembali. Jangan sampai Dhira mengambil keputusan yang akan sulit untukmu." Alea menjelaskan dengan panjang lebar.
Tama terdiam dengan pandangan yang tertuju pada satu arah di depannya. Tak tahu apa yang tengah di fikirkannya. Hanya saja perkataan Alea mampu merontokkan keyakinannya akan sikap Dhira yang akan kembali membaik.
"Temuilah Dhira besok, segera katakan kebenaran yang sesungguhnya. Dia berhak bahagia Tama. Jangan sampai kebahagiaan itu di raihnya bersama pria lain dan kamu akan menyesalinya." Elindra kini berkata dengan wajah yang sangat serius.
Alea mengagguk, menandakan kesetujuannya dengan apa yang telah dikatakan Elindra.
Seolah jengah melihat sikap dingin Tama, Elindra pun berjalan mendekati Alea yang terbaring di atas ranjang perawatan. "Kamu akan baik baik saja Alea, jangan banyak berfikir," ucapnya lembut dengan senyuman manis di bibirnya. "Jika mas Arjuna menyakitimu, akan kupastikan kali ini dia akan menyesali perbuatannya. Kejadian lima tahun silam nyatanya belum membuatnya sadar. Bahkan penghasilanku cukup untuk menghidupi kalian berdua. Aku akan ikut andil dalam membesarkan keponakanku, aku berjanji Alea." Tangan Elindra telah berada diperut Alea yang masih tampak rata, di elusnya dengan lembut perut yang tengah mengandung calon keponakannya itu.
Alea begitu terharu, hingga meneteskan air mata. "Terima kasih, Elindra. Terima kasih telah menerima keberadaanku dan anakku." Keduanya tampak larut dengan suasana haru itu, hingga Elindra pun meneteskan air matanya. Membiarkan Tama seorang diri merenungi apa yang akan dilakukannya untuk mendapatkan Dhira kembali.