Aku Masih Mencintaimu

1047 Kata
~Senja itu serupa kau, meski keberadaannya tersapu oleh hujan. Dia akan kembali kemasanya nanti, meluluhkan rindu di dada.~ *** Deg... Jantung Dhira berpacu cepat seiring dengan aliran darahnya yang mengalir deras saat mengetahui sebuah fakta yang telah lama menjadi pertanyaan besar untuknya. Entah kenapa seakan menyapu rasa kecewa yang tengah bertandang di dadanya selama ini. Perempuan berparas cantik itu merasa terhipnotis mendengar kata kata indah yang kini melambungkan dirinya ke udara, namun sebelum terhempas dengan keras ia menggelengkan kepalanya untuk mengembalikan kesadarannya. 'Enggak, aku enggak bisa percaya begitu saja,' ucap Dhira dalam hati. "Ada yang lebih penting dari ini, yang ingin aku katakan pada kalian semua, termasuk kamu, Dhira." Suara bariton milik Tama terdengar begitu jelas di telinga Dhira. Sorot mata tajamnya seakan menembus mata hati Dhira walau kini posisinya tengah membelakangi Tama yang hanya menunjukkan punggungnya saja. Sejenak semua terdiam, termasuk Alea yang tengah terbaring lemah di atas kasur pesakitan dengan jarum infus yang tertusuk di tangannya. Dhira menghela nafasnya perlahan. "Mbak Dina, ayo kita pergi." Final, niatnya tak dapat di ganggu gugat perintah dari seorang CEO wanita muda itu. Mbak Dina mengangguk cepat, mengekori sang bos yang kini tengah membuka tuas pintu kamar inap tersebut. "Tunggu Dhira..." ucap Elindra yang ingin menyusul Nadhira, namun langkahnya kalah cepat dengan tangan Tama yang menarik pergelangannya. "Biarkan dia pergi," ucap Tama datar, membuat Elindra menatap bingung pada Tama. "Tapi, dia-" "Dia hanya membutuhkan waktu untuk mencerna semuanya dengan baik." Alea memotong ucapan Elindra yang akan membantah Tama. Elindra perlahan mengerti, ia merasa jika saat ini Dhira mengalami masa masa yang berat saat mengetahui satu persatu fakta yang menghancurkan perasaannya. "Aku berjanji akan menyatukan kalian berdua, sebagai bentuk permintaan maafku padamu," Elindra berguman. ***** "Maaf bu, jam makan ibu sudah terlewat hampir dua jam. Ibu mau makan apa?" tanya Mbak Dina yang tengah berdiri di hadapan Dhira yang duduk di sofa tunggal ternyamannya yang ada di ruang kerja Dhira. Dhira menggeleng pelan. "Agenda penting apa saja yang harus saya hadiri dalam satu bulan ini mbak?" Dhira balik bertanya dan menatap mbak Dhira degan wajah penuh tanya hingga membuat mbak Dina kembali membuka buku agenda kecil dari dalam saku blazernya. "Ada beberapa yang terpenting bu, seperti acara peluncuran perdana busana edisi idul fitri rancangan Kimci X Gold boutiqe," sahut mbak Dina cepat dan lugas. Dhira terdiam tengah memikirkan sesuatu. "Saya serahkan semuanya pada Mbak Dina untuk menghandle agenda penting ini." Ucapan Dhira membuat mbak Dina menautkan kedua alisnya. "Maaf, apa itu artinya bu Dhira?" Mbak Dina mencoba menerka apa maksud dari ucapan bosnya. Dhira menghela nafas perlahan, mengatur perasaannya yang tak kunjung stabil semenjak ia meninggalkan rumah sakit. "Saya akan pergi dalam waktu yang belum di tentukan," ucap Dhira lirih. "Saya percayakan perusahaan ini pada Mbak Dina selama saya pergi." Kini air mata yang sejak tadi bersembunyi itu telah jatuh dari pelupuk indahnya hingga suaranya terdengar terisak. Mbak Dina mengambil posisi duduk di sofa panjang tepat di hadapan Dhira, lalu menyodorkan tisu pada sang bos yang tampak bersedih. "Apa ibu yakin?" tanya Mbak Dina hati hati. Dhira menganggukkan kepalanya yakin. "Mbak bisa menjaga rahasia kan?" Dhira sedikit terisak. Mbak Dina menganggukkan kepalanya seraya tersenyum pada Dhira. "Jangan pernah mengatakan apapun tentang kepergian saya. Mbak mau kan membantu saya?" tanya Dhira dengan wajah yang terlihat begitu bersedih. "Apapun demi kebahagian dan ketenangan ibu, saya selalu mensupport ibu. Kembalilah jika ibu sudah bisa menerimanya dengan hati yang ikhlas." Mbak Dina memberikan kekuatan pada bosnya. Tentu ia lebih mengerti situasi yang kini di rasakan oleh Dhira, mengingat ia telah pernah melalui saat saat seperti sekarang. "Terima kasih mbak." Dhira memeluk Mbak Dina begitu erat. Menumpahkan rasa kecewanya dalan pelukan sang sekretaris yang sudah di anggapnya seperti bagian dari keluarga sendiri. ***** Senja hampir saja tiba, suasananya tampak begitu sendu, sama seperti hati Dhira saat ini. Waktu berlalu begitu cepat, tak peduli orang bahagia pun bersedih. Namun senja umpama datang dan jua pergi dengan waktu yang pasti. Semilir angin berhembus menggoyangkan rambut panjang yang tergerai indah itu, membiarkan kulit kulit lembutnya di serbu terpaan dinginnya sore hari. Dari sini, ia bisa melihat dengan jelas keindahanan langit sore yang akan berganti malam. Menggantikan gagahnya mentari dengan syahdunya rembulan yang selalu menjadi waktu tenangnya bagi segelintir makhluk hidup. Namun tak serta merta menjadi waktu kejengahan makhluk lainnya. Dari atas rooftop ini, Dhira memanjakan mata dan hatinya sejenak. Pemandangan ibu kota terlihat begitu indah dari ketinggian lantai tiga puluh enam ini. Kerlap kerlip lampu yang menyala di berbagai penjuru kota menambah kesan romantis pada senja yang akan berlalu. Dhira memilih duduk di sofa sudut cafe itu. Berada di cafe romantis sendirian seperti ini, nyatanya tak membuat Dhira merasa buruk. Tak seperti biasanya, kali ini Dhira memesan minuman beralkohol dengan kadar sedang. Entah apa yang merasuki fikirannya hingga Dhira berniat untuk meneguk minuman yang bisa memabukkannya. Padahal, ia tak biasa dengan minuman yang mengandung alkohol. Terakhir, saat ia meneguk red wine saat acara makan malam bersama keluarga Arjuna dan juga Tama membuat dirinya terlihat begitu bodoh saat berada di bawah pengaruh alkohol. Pelahan, tangannya meraih gelas kaca berkaki yang telah terisi minuman alkohol di dalamnya. Di angkatnya gelas itu dan bersiap untuk meneguknya. Tangannya tiba tiba di tepis oleh seseorang dari arah belakang dan dengan cepat gelas yang berada dalam tangannya kini telah berpindah tangan. "Sebegitu frustasinya kamu? Sampai harus meneguk minuman ini?" Suara seorang pria yang kini berada di hadapannya mengagetkan Dhira yang tengah termenung. "Kamu..." ucap Dhira sedikit membentak hingga membuat pria itu akan terlihat bodoh dimata siapapun yang melihatnya. "Kendalikan dirimu Dhira. Ini bukalah kamu yang aku kenal." Pria itu memegang kedua bahu Dhira dengan mata yang menatapnya. Dhira kembali menatapnya dengan wajah sendu miliknya. "Apa aku yang kamu kenal adalah wanita bodoh yang selalu terjerumus dalam kekecewaan?" begitukan?" tanya Dhira tanpa ekspresi. Pria itu tampak menarik bibirnya ke atas. "Apa karena kekecewaan? Lantas kamu ingin meneguk minuman yang membuatmu justru terlihat bodoh, begitu?" sahut pria itu terkekeh. Dhira memutar bola mata malas, disaat seperti ini moodnya sungguh tak terkendali. Niatnya ingin menenangkan hati dan fikiran di tempat indah dengan panorama alam yang spektakuler seperti ini, justru membuat harinya semakin terlihat hancur dan menyedihkan. "Ada apa kamu kemari? atau kamu sengaja mengikutiku?" Tatapan mata Dhira terlihat jelas penuh selidik. Ia merasa heran bagaimana bisa orang lain mengetahui keberadaannya padahal tak satupun yang di beritahukannya. "Aku masih mencitaimu Dhira."
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN