Sembari menunggu mbak Dina tiba, Dhira mencoba memejamkan kedua matanya berharap rasa sakit yang singgah di kepalanya ini segera pamit dan tak kembali lagi.
Namun saat itu juga Dhira teringat saat akan keluar dari kamar Tama, tampak beberapa foto yang membuatnya tak percaya melihat semua itu.
'Sejak kapan dia mengumpulkan semua foto itu, aku semakin menaruh curiga pada mas Tama mengapa ia sampai sekekeh itu untuk menikahi ku?' Dhira membatin
◾ Flashback On ◾
Dhira berjalan cepat dengan tangan yang memegang sepatunya, menuruni anak tangga dan langkahnya terhenti saat berada di depan ruangan yang pintu terbuka lebar terletak tepat di depan tangga, yang ia duga ruang kerja Tama.
Entah kenapa kakinya mengantarkan Dhira untuk segera memasuki ruangan tersebut, matanya tampak melirik ke atas memastikan Tama tak turun dari atas. Dengan cepat ia memasuki ruangan yang penuh dengan rak buku yang tersusun rapi di lengkapi bohlam lampu yang sangat terang serta furniture minimalis dengan harga fantastis dan tak lupa bingkai foto berukuran besar dengan wajah tampan dan tubuh atletisnya yang menempel di dinding, foto siapa lagi kalau bukan seorang Pratama Agung Mawadi.
Mata Dhira segera tertuju pada meja kerja yang ada tak jauh darinya, dengan beberapa bingkai foto berukuran 5R yang terletak di atasnya.
Perempuan itu berdiri di samping kursi yang terletak di tengah ruangan. Ia terperangah saat melihat beberapa foto yang ada di dalam bingaki tersebut, salah satunya foto almarhum Marissa yang tampak tersenyum manis dengan balutan dress selutut berwarna mint.
Matanya kemudian beralih menatap foto foto yang lainnya yang ada di atas meja tersebut.
"Bagaimana bisa mas Tama mendapatkan foto foto ini?" ucap Dhira pelan.
Tatapan Dhira berhamburan saat mendengar suara Tama dari atas yang menyadari diri nya telah kabur dari hadapannya.
Dengan cepat Dhira berlari keluar dari ruangan itu menuju pintu utama dan berhasil keluar sebelum Tama dapat melihatnya.
◾ Flashback off ◾
"Siapa sebenarnya kamu mas?"
"Apa yang kamu ingin kan dari ku sebenarnya?"
"Bisa bisanya aku menaruh hati pada pria dingin seperti dia. Sadar Dhira sadar dong... Masih banyak pria lain, jangan pernah mau jadi Bucin dong. Argh sial ...."
Dhira bermonolog sendiri, memukuli bantal yang ia jadikan pelampiasan perasaannya yang mulai menaruh hati pada sosok tampan dan dingin bak kulkas tiga pintu melebihi dinginnya gunung es siapa lagi kalau bukan Tama.
Ceklek...
Suara pintu terbuka...
Itu pasti mbak Dina, karna hanya Dhira dan mbak Dina yang dapat mengakses appartemen besar milik Dhira bahkan kedua orang tuanya pun tak bisa.
"Apa ibu baik baik saja?" tanya mbak Dina pada sang bos.
Dhira mengangguk pelan pada mbak Dina.
"Ini ibu minum dulu obatnya." Mbak Dina memberikan Dhira obat penghilang rasa nyeri dan segelas air putih pada Dhira.
"Trima kasih banyak mbak. Maaf jadi ngerepoti mbak Dina," ucap Dhira pada mbak Dina yang tampak sedang menaruh pizza berukuran sedang dan salad buah di atas nakas tepat di samping ranjangnya.
"Udah jadi tanggung jawab saya bu untuk menemani ibu dimana pun ibu berada jika saya di butuhkan," sahut mbak Dina sembari tersenyum.
"Anak mbak gimana? Apa suami mbak nggak marah mbak kesini? Kan udah bukan jam kerja lagi?" tanya Dhira pada mbak Dina sedikit khawatir mengingat hari sudah menunjukkan pukul 19.45 wib.
"Enggak usah fikirkan saya bu. Yang penting saat ini ibu bisa segera sehat, kerjaan banyak bu saya nggak bisa menghandle semuanya tanpa ibu," jawab mbak Dina memegang punggung tangan Dhira memberi kan semangat.
Dhira tersenyum pada mbak Dina, ia beruntung mempunyai sekretatis pribadi yang berhati baik bahkan bisa menjadi tempatnya untuk bertanya banyak hal di luar pekerjaan. Ia memang merasa sudah klop dengan mbak Dina, disamping kerjanya yang sangat telaten dan disiplin dia juga selalu mengingatkan Dhira pada kebaikan. Yang Dhira salutnya lagi sama mbak Dina ini dia nggak pernah meninggalkan kewajibannya sebagai seorang hamba-Nya, bahkan saat mereka memiliki jadwal ke luar kota yang terkadang tak memungkinkan untuk berhenti di masjid pun mbak Dina tetap menjalankannya di dalam mobil atau pun pesawat, sebegitu taatnya dia pada sang pencipta terkadang membuat Dhira merasa malu.
"Bu? boleh saya bertanya?" tanya mbak Dina ragu.
"Emm... Tentu, tanya saja mbak," jawab Dhira.
"Apa ibu dan pak Tama akan segera menikah?" tanya mbak Dina pelan dengan tatapan penuh selidik.
Dhira yang sedang meneguk minum pun tersedak hingga menumpahkan sedikit air yang telah masuk di dalam mulutnya.
"Pelan pelan saja bu, minumnya." Mbak Dina segera berdiri dan menepuk nepuk pelan pundak Dhira.
"Mbak sih bicara gitu. Tau dari mana sih mbak? Jangan asal deh mbak, nanti di dengar orang kan nggak enak," sahut Dhira dengan nada sedikit kesal.
"Maaf bu bukan gitu maksud saya, tapi pak Tama sendiri yang bilang sama saya di telfon," ujar mbak Dina membela diri.
Dhira terperangah kaget mendengar ucapan mbak Dina, bisa bisanya Tama udah nyebarin berita gila ini sama mbak Dina.
"Memang kapan dia ngasih tau mbak?" Dhira penasaran .
"Sebelum saya kesini setelah ibu menelfon saya. Pak Tama nelfon saya dia bilah kalau ibu saat ini dalam kondisi tidak sehat, di akhir percakapan dia bilang 'tolong jagakan calon istri saya, kalau terjadi sesuatu padanya perusahaan kalian akan saya obrak abrik.' Gitu bu dia bilang ke saya, belum sempat saya bicara sudah di matikan telfonnya," ujar mbak Dina dengan nada penekanan menirukan suara Tama saat di telfon.
Bagaikan bumi yang berputar kuat seolah tubuh Dhira bergetar menahan kekesalan pada Tama yang bisanya mengancam mbak Dina.
"Dasar pria gila, beraninya dia mau mengobrak abrik perusahaan yang telah aku dirikan? Emang nggak punya hati nurani. Cih... Mana mungkin aku mau menikah dengan pria misterius seperti dia," ucap Dhira sedikit berteriak.
Mbak Dina yang melihat kekesalan sang bos tak berani membuka suaranya, pandangannya terfokus pada tangan Dhira yang bereaksi keras pada bantal yang ada di atas pahanya saat ini.
"Enggak usah dengerin dia mbak, enggak akan mungkin bisa dia mengganggu perusahaan kita. Coba aja kalau berani, dan saya minta satu lagi sama mbak, nggak usah lagi terima telfon dari dia, nggak apa deh kalau dia membatalkan kerja samanya, biar kita cari rekan bisnis yang waras aja. Lagian papa juga nggak akan biarin perusahaan ini bangkrut." Lanjut Dhira dengan nada penuh kekesalan.
"Apa ibu mencintai pak Tama?" Lagi lagi pertanyaan mbak Dina membuat Dhira terkejut.
Dhira mengambil nafas dalam dalam lalu menghembuskannya perlahan, menikmati kembali udara segar yang masuk dari jendela kamar yang sengaja ia buka.
Ia berdiri dari atas kasur, melangkah ke depan jendela sembari menatap langit malam yang tak begitu banyak bintang namun masih menyimpan sejuta keindahan malam di terangi dengan kilauan lampu lampu yang menyala di seluruh penjuru dunia.
"Bagaimana mungkin saya mencintainya mbak? Baru beberapa hari saya mengenal nya," ucap Dhira pada mbak Dina yang masih duduk di ujung ranjangnya.
"Cinta nggak di ukur dari seberapa lama kita mengenal seseorag itu bu. Yang terpenting kita selalu merasa nyaman saat bersama dengan seseorang." Mbak Dina menyampaikannya dengan lembut.
"Dia itu ngeselin mbak, sangat amat dingin nggak akan mungkin nyaman berada di dekatnya deh." Dhira menatap mbak Dina. "Haa... iya... dan juga sangat misterius mbak." Lanjut Dhira dengan mata yang sedikit membulat.
Mbak Dina tersenyum saat melihat ekspresi yang ada di wajah Dhira, ia yang melihat bibir mbak Dina melebar dengan suara suara tawa yang keluar dari mulutnya segera menatap mbak Dina serius dengan alis yang terangkat ke atas.
"Apanya yang lucu mbak?" tanya Dhira heran.
"Saya rasa ibu sudah jatuh cinta sama pak Tama," ucap Mbak Dina sembari melempar senyum pada sang bos.
"Apaan sih mbak, mana mungkin saya jatuh cinta sama pria misterius itu," sahut Dhira cepat.
"Kenapa nggak bu? Pak Tama pria tampan dengan sejuta pesona dan mapan bahkan saat ini pak Tama bisa di bilang menjadi impian setiap wanita yang melihatnya, apa lagi di usianya yang hampir memasuki kepala tiga ini pasti dia benar benar pria yang matang." Ucap mbak Dina sekenanya.
Tiba tiba Dhira teringat saat wajah Tama berada tepat di hadapannya yang menyisakan jarak hanya beberapa senti, bibirnya yang selalu mengecup lembut bibir Dhira membuat ia selalu merasakan kenyaman berada di dekatnya. 'Apa ini yang di katakan mbak Dina? apakah benar aku telah mencintai pria menjengkelkan seperti dia?' Guman Dhira.
"Apa ibu memikir kan pak Tama?" tanya mbak Dina membuyar kan fikiran nakal Dhira
"Ah... Sudah lah mbak nggak usah bahas dia lagi. Bisa gila saya di buatnya." Sembari berjalan ke atas kasur dan mengambil salad buah yang telah di letakkan di atas nakas oleh mbak Dina.
"Tergila cinta pak Tama kali maksudnya," ucap mbak Dina pelan tapi masih dapat Dhira dengar dengan baik .
"Mbak Dinaa..." Menatap sinis mbak Dina.
Mbak Dina hanya menggeleng cepat sembari menundukkan pandangannya dengan tangan yang menutupi wajahnya.
"Tuh di makan mbak pizzanya keburu dingin nanti. Kenapa beli saladnya cuma satu?" tanya Dhira pada mbak Dina yang masih tersenyum kecil.
"Saya sudah makan malam tadi bu, saya juga lagi program diet bu," sahut mbak Dina santai.
"Diet kok masih makan malam sih mbak, ada ada aja nih mbak. Awas aja mbak sampai sakit karena diet, saya nggak mau loh pekerjaan numpuk tuh mbak," ucap Dhira pada mbak Dina yang tampak menggaruk kepala nya yang tak gatal.
_______
Jangan lupa tinggalkan komen dan love sebanyaknya readers.