Kebodohan Dhira

1032 Kata
"Ini dimana? Apa kamu menculik aku? Kamu sengaja kan menculik aku agar aku bisa menikah denganmu? Kamu memang licik mas." Mata Dhira menatap tajam mata Tama dengan nada menuduh ia melontar kan pertanyaan yang ada di fikirannya saat itu. Bukan marah tapi Tama malah terkekeh mendengar ucapan Dhira yang ia rasa tak ada kelucuan sama sekali di dalamnya. Dhira mengerutkan dahinya saat menatap Tama yang tersenyum padanya, walau sebenarnya senyuman itu selalu membuat hati Dhira meleleh dan terlalu gemas ingin mencubit pipinya . "Tanpa perlu menculikmu kau tetap akan menikah denganku," ucap Tama dengan keyakinan yang teramat . "Segitu yakinnya kamu, jangan terlalu percaya diri kamu," sahut Dhira kesal. "Jadi? Kamu menolak ku sayang?" Tama menaikkan kedua alisnya. "Jangan pernah panggil aku dengan sebutan sayang. Aku bukan siapa siapa kamu mas kita hanya sebatas rekan bisnis." Dhira semakin kesal pada Tama yang seolah merasa tak bersalah. "Jangan lupakan tawaran yang telah kamu terima, tanpa perlu mendapat persetujuan darimu. sampai kapan pun kamu tetap akan menjadi milikku." Tama mendekatkan wajahnya tepat di hadapan Dhira dengan tatapan membunuh. Pertahanan yang di bangun oleh Dhira sedari tadi runtuh begitu saja ketika Tama memegang lembut ujung dagunya, hingga membuat Dhira menahan nafas saat merasakan aroma mint yang keluar dari nafas Tama, kini tatapannya semakin intens pada Dhira membuat ia mengerjap beberapa kali bahkan tubuh nya seolah membatu tak bisa berlari dari hadapan pria dingin dihadapannya. "Maafkan aku sayang." Segera Tama mengecup singkat bibir Dhira pelan . Dhira bisa merasakan kelembutan bibir Tama yang selalu hangat, walau ini bukan yang pertama kali Tama lakukan padanya tapi perasaannya masih sama saat pertama kali Tama merenggut kesucian bibirnya. Dhira masih mematung di hadapan Tama lagi dan lagi tubuhnya tak melakukan perlawanan sedikit pun pada Tama. Dengan lembut Tama segera memeluk tubuh ideal Dhira sembari membelai lembut rambutnya yang indah. Dhira semakin merasakan kenyamanan saat berada di pelukan Tama, membuatnya mampu memejamkan mata sejenak sebelum akhirnya keegoisan nya kembali mengambil alih kewarasannya. Dhira mendorong kuat d**a Tama, membuat pelukannya terlepas dari tubuh perempuan cantik itu. "Kamu selalu mempermainkan perasaan ku mas. Apa mas mau menjadikanku istri kedua mas? Apa mas menginginkan aku untuk menjadi ibu tiri bagi Jasmin? haah?" Dengan sedikit keberanian Dhira berdiri dari kasur menahan rasa sakit yang masih menghinggap di kepalanya. Tama mengerutkan dahinya sebelum ia menatap Dhira dengan sorotan tajam bak singa yang sedang marah namun tak mengeluarkan kata sepatah pun. "Perempuan itu siapa? Perempuan yang ada di dalam foto yang terpajang di ruang keluarga mas? Dia istri pertama mas kan? Wajahnya sangat mirip dengan Jasmin, kenapa mas tega mau menduakannya padahal mas sudah memiliki Jasmin." Dengan penuh kekesalan Dhira menuangkan pertanyaan yang bertubi tubi pada Tama tanpa memberi jeda sedikit pun . Tama tersenyum sinis pada perempuan yang telah membentaknya seolah mentertawakan rendah Dhira dengan kekesalan yang mendominasi paras cantiknya. "Benar... Dia Marissa ibu kandung Jasmin. Dia salah satu perempuan yang aku cintai dalam hidup selain mama dan sebelum hadir nya Jasmin di kehidupan ku," ujar Tama memalingkan pandangannya kesembarang arah. "Lantas, kenapa mas mau menikahi aku kalau ternyata mas masih mencintainya? Apa mas nggak punya perasaan? Pasti dia akan terluka mendengar kabar ini ." Tanya Dhira tegas. "Dia sudah meninggal dunia sejak Jasmin berusia dua tahun," ucap Tama datar. Dhira terkejut saat mendengar ucapan Tama, merasa sedikit bersalah karena telah menyudutkan Tama dengan pertanyaan pertanyaan yang tak bisa lagi ia tahan. 'Kenapa aku setega ini sih sama dia? Apa saat ini dia marah sama aku? Apa aku harus minta maaf sama dia?' Dhira membatin dengan segala penyesalan nya. Dhira memberanikan diri mendekat pada tubuh Tama yang masih duduk di ujung ranjang langsung memeluknya dengan hangat. Entah apa yang mendasari fikiran Dhira hingga ia berani memeluk pria yang sangat ia benci saat ini, tapi ia tak ingin berkata apa apa hanya sekedar bentuk permintaan maafnya secara tidak langsung karena telah membuat Tama tersudut dengan segala penyerangannya melalui pertanyaan pertanyaan itu. Tama merespon, tangannya juga melingkar di punggung perempuan cantik yang ada di hadapannya, Dhira tahu betul perbuatannya ini sedikit lebih gila dari keegoisannya yang ingin melawan sikap dingin dan pemaksa Tama, tapi apalah daya ia juga tak bisa membohongi perasaannya sendiri. "Apa kamu sedang menggoda mas, Dhira?" ucap Tama datar . Dhira begitu kaget mendengar ucapan Tama ia segera tersadar. 'Apa yang ada di fikiranku hingga aku senekat ini memeluk mas Tama.' Dhira kembali membatin. Segera di lepaskan tubuhnya dari pelukan Tama, tapi lagi lagi tangan Tama lebih dahulu menahan tubuhnya untuk tetap berada dalam pelukannya . "Teruslah seperti ini Dhira. Aku akan menjadikanmu Ratu satu satunya di hati mas," bisik Tama di balik telinga Dhira. Dhira merasa semakin gugup, dadanya memompa semakin kencang membuat tubuhnya sedikit panas akibat rasa gugup yang semakin menjadi jadi. "Lepasin mas... lepas!" Dhira mendorong kuat d**a bidang Tama yang masih berbalut jas hitam yang sama saat di kenakannya sejak terakhir ia bersamanya. "Bukan kah kamu yang memeluk ku sayang? Apa kamu lupa?" ucap Tama santai. Dhira terdiam tak dapat berkata hanya mampu merutuki kebodohan yang telah ia lakukan pada pria pemaksa seperti Tama. "Sial, bisa bisanya aku melakukan hal bodoh seperti ini, makin besar kepala nanti pria sombong ini," ucap Dhira dalam hati. Drrtt drrtt... Getaran beringin nada panggilan di handphone Tama berbunyi, membuat Tama mau tak mau harus melepaskan pelukannya dari tubuh Dhira. Tama kemudian berdiri menghadap jendela untuk menerima panggilan itu. 'Beruntung semesta memihak ku saat ini, aku harus segera kabur dari sini atau aku bisa terjebak selamanya.' Dhira membatin. Melihat kesempatan yang ada Dhira segera mengambil tasnya yang terletak di atas nakas serta sepatu nya yang tergeletak di lantai. Dhira bergegas secepat mungkin menuruni anak tangga satu persatu, menuju pintu utama untuk segera kabur dari pandangan Tama sebelum ia mengakhiri telfonnya dan kembali menangkap Dhira untuk tetap di sini. Heuh... Heuh... Heuh... Dhira mengatur kembali pernapasannya saat berhasil keluar dari apartemen mewah dua lantai milik Tama. Dengan nafas yang masih terengah engah serta sakit di kepalanya yang tak kunjung hilang, ia memasuki lift untuk segera menuju lantai di mana apartemennya berada. Dhira segera merebahkan tubuh idealnya di atas kasur empuk berukuran big size yang selalu menjadi tempat ternyaman nya setelah beraktifitas seharian. Sakit di kepalanya tak kunjung reda, ia mencoba menelfon mbak Dina untuk membelikannya obat penghilang rasa nyeri dan makanan untuk camilannya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN