Berkhianat

1058 Kata
"Aww... Sakit sekali." Dhira menekan kepala nya dengan kedua tangannya. Matanya mengerjap beberapa kali hingga terbuka sempurna. Dhira perlahan bangun dari tidurnya mengambil posisi duduk dengan kepala yang menyender di kepala ranjang. Ia memijit mijit sudut dahinya berharap rasa sakit itu bisa hilang. "Apa yang terjadi? Kenapa tubuh ku bau alkohol? apa semalam aku mabuk?" Mencoba memikirkan kejadian yang terjadi semalam. Ia turun dari atas kasur, melangkahkan kakinya menuju kamar mandi untuk membersihkan dirinya yang berbau alkohol. Dhira melakukan ritual mandi nya, membiarkan tubuhnya di guyur air dingin di bawah pancuran shower. Merasakan segar nya aroma sabun dan shampo yang tengah melekat di tubuhnya. Rasa dingin mampu membuat Dhira melupakan sejenak rasa kesal dan amarah nya pada sosok pria yang menyebab kan dirinya mabuk hingga tak sadarkan diri. "Ah... segar nya." Dhira menggunakan bathrobe dan handuk yang melilit di rambutnya. Dhira segera keluar dari kamar mandi menuju ke dapur untuk mencari makanan yang bisa di makan karna perut nya yang terasa lapar sekali. Langkah Dhira terhenti saat mata nya menangkap sosok pria yang tengah berkutat di pantri. Dhira berjalan perlahan, ia mengenal betul siapa laki laki yang kini tengah berada di dapurnya. Seketika api amarah yang telah meredam kini menyala kembali. "Sedang apa kamu di apartemen ku?" Teriak Dhira hingga mengejutkan pria itu. "Kamu sudah bangun?" Tama menjawab dengan ekspresi dingin. Ya, Tama lah pria yang berhasil menyalakan kembali api amarah Dhira. "Ngapain kamu di sini? keluar dari sini sekarang juga." Tubuh Dhira seakan tersiram oleh bensin hinggebuat nya terbkar hebat. Matanya yang indah terasa perih tak sanggup untuk menahan butiran air bening yang sudah mendesak untuk keluar. "Makan dulu sarapannya." Masih berlagak tak mendengar apapun yang Dhira ucapkan. "Keluar dari apartemen ku. Aku bilang keluar... keluar mas... aku enggak mau lihat muka kamu lagi, aku benci kamu... keluar..." Dhira berteriak hingga bibirnya bergetar, butiran air bening dari mata indahnya kini berhasil lolos. Tama menghela nafas, perlahan ia mendekati Dhira yang masih berdiri dengan isakan tangis nya. Dengan cepat Tama menarik tubuh yang bergetar itu dan berhasil membuat nya masuk dalam pelukan Tama. "Lepasin aku, lepasin mas... aku benci sama kamu." Dhira memukul kuat d**a bidang Tama, tak di hiraukannya lagi aroma maskulin yang masuk ke indera penciuman nya. Dhira terus menangis, ia hanya ingin terlepas dari pelukan Tama dan tak ingin terperangkap oleh perasaan yang masih mencintai Tama. "Lepasin, aku membatalkan semua kerja sama kita. Artinya aku bukan lagi calon istrimu. Leeeppppaaaasss..." Entah memiliki kekuatan dari mana, Dhira berhasil mendorong tubuh Tama hingga terlepas dari pelukannya. Tak ada reaksi apapun dari Tama, pria itu tetap bersikap dingin dengan sorot mata yang begitu tajam, menatap Dhira seolah penuh amarah. "Baiklah, aku akan pergi." Tama melangkahkan kakinya meninggalkan apartemen itu. Dhira terduduk di lantai menyenderkan tubuhnya di dinding. "Aku benci kamu mas, benci... Hiks hiks hiks..." teriak Dhira dalam tangisan nya. "Kenapa kamu mengkhianati aku dengan perempuan itu? kenapaaa? harus nya aku enggak mengharapkan cinta itu. Bodoh nya aku yang mulai mencintai kamu. Aaaaaaaa..." Dhira sangat emosi, tangisannya semakin kuat. Sementara, di ujung pintu keluar ada hati seorang pria yang terenyuh mendengar jeritan sedih yang di lontarkan Dhira. Wajah yang tadi tampak Dingin kini berubah menjadi sendu, hati nya sama kacau dengan apa yang di rasakan oleh Dhira, tapi sebisa mungkin ia menutupi nya. "Seandainya kamu tahu yang sebenarnya, kamu tidak akan seperti ini padaku. Maafkan aku bidadari kecilku, aku tetap mencintai mu." Tama berkata lirih sebelum akhirnya ia benar benar pergi meninggalkan apartemen itu. ***** "Selamat pagi mbak Dina..." sapa Noni dengan senyuman sumringah di bibir nya. "Pagi juga Noni... Bagaimana rasa nya kerja di perusahaan ini?" Sambil menatap layar laptop di hadapan nya. "Eemm... bahagia dong mbak. Oh ya mbak, ngomong ngomong bos cantik kita udah datang enggak ya?" Seraya melirik pintu ruangan Dhira yang terletak tak jauh dari meja kerja mbak Dina. "Belum," jawab mbak Dina singkat tanpa menoleh pada Noni yang masih setia berdiri di hadapannya. "Emm... ya udah deh kalau gitu. Selamat bekerja mbak, bye." Noni melenggang nebas meninggalkan mbak Dina dengan setumpuk berkas yang menemaninya. Tak lama terdengar suara handphone mbak Dina berdering membuat sang pemilik mengalihakan pandangannya pada benda pipih yang bergetar di atas meja kerja. "Selamat pagi bu Renita, ada yang bisa saya bantu?" ucap mbak Dina sopan pada sang penelfon yang tak lain adalah ibu dari bosnya. "Pagi Dina. Bos kamu kemana ya Din? kenapa saya telfon enggak bisa," sahut Renita dari dalam telfon. "Maaf bu, Bu Nadhira pagi ini belum ada ke kantor bu. Nanti saya coba menghubungi nya kembali. Apa ada pesan bu?" ucap mbak Dina. "Ah iya... tolong sampaikan pada Dhira, nanti malam saya menunggu nya di rumah dan sampaikan juga bahwa dia akan menginap satu minggu di sini karena permintaan papanya." Renita meninggalkan pesannya untuk Nadhira. "Baik bu akan saya sampaikan," sahut Mbak Dina cepat. "Oke, terima kasih Dina." Renita mengakhiri telfonnya pada mbak Dina. Perempuan yang menjabat sebagai sekretaris Nadhira itu pun mencoba menghubungi sang bos beberapa kali, tapi tak kunjung berhasil hingga mbak Dina memutuskan untuk segera mendatangi apartemennya. Setelah menempuh waktu kurang lebih dua puluh menit mbak Dina pun tiba di apartemen sang bos. Tanpa fikir panjang mbak Dina segera masuk kedalam apartemen tersebut, karena ia telah di beri akses oleh sang bos. Mbak Dina segera menuju kamar utama, benar saja saat membuka pintu kamar mbak Dina bisa langsung mendapati keberadaan Dhira yang tengah terduduk di atas kasur dengan wajah bersedih dan mata yang tampak sembab. "Bu Dhira, ada apa bu?" Mbak Dina bergegas mendekati sang bos yang tak merespon diri nya sama sekali. Mbak Dina meraba dahi sang bos memastikan kesehatannya. 'Oh syukurlah badan nya tidak mengalami demam,' ucap mbak Dina dalam hati. "Saya akan buat kan ibu teh hangat." Dengan nada lembut mbak Dina hendak keluar dari kamar Dhira, tapi langkah nya terhenti saat Dhira mengatakan sesuatu. "Tolong carikan aku apartemen lain, mbak." Sambil menyeka air mata nya yang kembali menetes dari sudut mata indahnya. 'Hah? Kenapa dia? Apa ada yang salah dengan apartemen ini? bukan kah ini aset dari orang tuanya?' Mbak Dina membatin dengan segala pertanyaan yang muncul di benaknya. Sambil berjalan mendekati Dhira dengan wajah yang cukup tenang. "Maaf bu, kalau boleh saya tahu untuk apa ibu mencari apartemen lain? Bukan kah ini sudah cukup mewah bu?" Mbak Dina bertanya dengan hati hati. Dhira tak bersuara, bahkan kini ia menangis dalam diam mencoba menahan rasa kecewa yang mendalam.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN