Mengalah …

1517 Kata
Waktu sudah menunjukkan pukul setengah enam pagi. Windy yang sudah selesai dengan munajatnya, lalu beranjak ke dapur untuk menyiapkan sarapan bagi keluarga kecilnya. Tiga gelas kosong dan satu cangkir kosong sudah ia siapkan di atas meja mini bar di ruang dapur itu. Biasanya Windy hanya menyiapkaan dua gelas kosong saja setiap pagi untuk s**u Langit dan Mentari. Namun kini ada satu anak lagi di sana dan Windy juga harus menyiapkannya untuk Kenzo. Windy berusaha tersenyum pagi ini. Selepas terlelap semalaman, perasaanya mulai sedikit lega. Ia mulai menyiapkan wajan karena ia ingin membuat nasi goreng spesial untuk semua anggota keluarganya. Ia juga harus menyiapkan bekal untuk anak-anaknya. “Umi masak apa?” tanya Langit yang memang sudah terjaga. Bocah itu sudah terbiasa bangun sendiri ketika subuh tiba. “Umi mau bikin nasi goreng. Bukankah kemarin Langit dan Mentari minta bekal nasi goreng untuk sekolah?” tanya Windy. “Iya ya … Langit lupa. Apa yang bisa Langit bantu, Umi?” Windy tersenyum, “Tidak usah, Sayang … Sebaiknya Langit segera bersiap untuk sekolah.” “Ini masih sangat pagi, Langit masih bisa bantu kok. Biar Langit saja yang buat susunya, nanti piring kotor biar Langit yang cucikan,” ucap Langit dengan tersenyum lebar. “Terima kasih, Sayang …,” jawab Windy. Tanpa diketahui oleh Windy dan Langit, Irfan menyaksikan momen kemesraan antara ibu dan anak itu di dapur. Langit dan Mentari memang anak-anak yang baik. Andai saja Kenzo bisa bersikap seperti itu juga, batin Irfan. Perlahan, Irfan berjalan mendekat. “Wah, anak papa bikin apa sepagi ini?” tanya Irfan. “Eh, papa sudah bangun? Ini, Langit kasihan lihat umi kerja sendiri di dapur. Apa lagi umi’kan sedang hamil muda. Jadi Langit bantuin umi bikin s**u dan nanti piring-piring kotornya biar Langit yang cuciin.” “Pintar sekali anak papa. Mentari mana? Sudah bangun?” “Tadi sudah bangun, sudah shalat subuh juga. Tapi kayaknya tidur lagi. Sebentar lagi akan Langit bangunkan dan akan Langit suruh mandi, Pa.” “Iya … Kalau bang Kenzo?” Langit langsung terdiam. Entah kebetulan atau memang ikatan antara ibu dan anak yang sangat kuat, Langit dan Windy spontan langsung saling tatap. “Kok diam?” “Maaf, Pa. Langit tidak berani membangunkan bang Kenzo,” ucap Langit. Windy sendiri hanya diam dan sibuk dengan masakannya. “Jangan begitu, Langit … Bang Kenzo itu’kan abangnya Langit, jadi Langit harus memperlakukan bang Kenzo dengan baik juga. Tolong bangunkan bang Kenzo, sebab ia juga harus sekolah.” “Baik, Pa.” Langit pun berlalu dari dapur. Ia beranjak menuju kamar Kenzo yang tepat berada di sebelah kamarnya. Di dapur, Irfan mulai mencoba mendekati Windy. Ia melingkarkan tangannya di pinggang sang istri, lalu mendaratkan sebuah ciuman manis di leher sang istri. “Maaf atas sikapku semalam,” lirih Irfan. Windy berusaha tersenyum, “Lupakan saja Bang,” jawabnya. Irfan melepaskan tangannya dari pinggang sang istri. Bagaimanapun juga, mereka punya anak-anak dan mereka harus tetap menjaga sikap di depan anak-anak mereka. “Windy, aku tidak tahu kenapa aku jadi bersikap seperti semalam. Sekali lagi aku minta maaf. Aku berjanji akan berusaha lebih bijak lagi.” “Aku harap memang begitu, Bang. Bang, aku itu sayang sama Kenzo. Sama halnya aku sayang sama Langit dan Mentari. Betapa inginnya aku jika Kenzo pun mau bersikap yang sama. Bukannya aku tidak mau melayani Kenzo, tapi setidaknya ia pun bisa memperlakukan aku sama seperti ibunya.” “Iya … Nanti aku akan coba bicarakan lagi pada Kenzo.” Di tempat berbeda, Langit masih berdiri di depan pintu kamar Kenzo. Entah kenapa, bocah itu enggan untuk membangunkan Kenzo. Selain karena masih asing baginya, Kenzo sudah membuat ibunya menangis. Bagaimanapun juga, hati Langit juga ikut sakit. Tapi ia belum bisa berbuat apa-apa untuk membela sang ibu. Ya Allah, aku harus apa? Kalau aku biarkan saja, nanti papa bisa marah sama aku. Bismillah, aku akan coba bangunkan, batin bocah itu. Perlahan, Langit pun mulai mengetuk pintu kamar. “Assalamu’alaikum … Bang Kenzo, bangun … Maaf, papa menyuruhku untuk membangunkan abang. Ini sudah hampir jam enam, kita disuruh bersiap-siap untuk sekolah,” ucap Langit. Sama sekali tidak ada jawaban dari balik daun pintu. Langit kembali mengetuk pintu itu, “Bang Kenzo, bangun … Papa menyuruhku ke sini untuk membangunkan abang. Disuruh siap-siap untuk sekolah,” ucap Langit lagi. Lagi-lagi tidak ada jawaban dari dalam kamar. “Bang Kenzo ….” Kkkrrkkk … Akhirnya pintu terbuka. “Mau apa?” tanya Kenzo, ketus. “Maaf, Bang. Papa yang menyuruhku ke sini untuk membangunkan abang. Kita harus bersiap pergi sekolah.” “Ini masih sangat pagi.” “Ini sudah hampir jam enam, Bang. Memangnya bang Kenzo pergi sekolahnya jam berapa?” tanya Langit. “Bawel banget lo,” ketus Kenzo seraya menutup pintu kamarnya dengan keras. Langit langsung mengucap istighfar. Ya Allah, sabarkan hamba … Jangan sampai hamba terpancing emosi karena ulah kakak tiri hamba, batin Langit. Sebagai laki-laki, Langit tentu marah diperlakukan demikian oleh orang asing di rumahnya. Apa lagi ia tidak salah apa-apa. Ia merasa sudah sangat sopan ketika membangunkan Kenzo. Tapi perlakuan yang ia dapatkan malah sebaliknya. Langit pun berlalu ke kamar adiknya. Dibukanya pintu kamar Mentari dengan perlahan lalu ia dekati ranjang sang adik. “Dek, bangun … Ini sudah jam enam, sekolah nggak?” ucap Langit, lembut. Mentari langsung menggeliat, “Sudah jam enam ya, Bang?” tanya Mentari. “Iya, Dek … Mandi gih, abang sudah buatkan s**u hangat untuk kita.” Mentari langsung duduk. Ia mengucek matanya seraya mengangguk. “Baca doanya belum?” ucap Langit. “Oiya ….” Mentari nyengir kuda. Bocah kelas satu SD itu pun mulai membaca doa bangun tidur lalu segera beranjak masuk ke dalam kamar mandi. Setelah memastikan adiknya mulai bersiap, Langit pun meninggalkan kamar Mentari menuju kamarnya sendiri. Ia sendiri pun harus segera bersiap. Waktu sudah menunjukkan pukul setengah tujuh pagi. Semua hidangan sudah siap di meja makan. Satu cangkir teh hangat, tiga gelas s**u segar untuk anak-anak dan satu gelas s**u ibu hamil. Yang pertama kali keluar menuju meja makan adalah Mentari. Ia sudah sangat cantik dengan baju gamis berwarna merah maroon dan jilbab lebarnya yang berwarna putih bersih. Mentari dan Langit memang bersekolah di sekolah Islam Terpadu yang menerapkan pakaian longgar dan lebar. Bahkan murid laki-laki dan murid perempuan dipisah ruang kelasnya. “Selamat pagi, Sayang …,” ucap Windy. Ia langsung memeluk putri cantiknya yang sudah bisa mengurus diri sendiri setiap pagi. “Selamat pagi, Umi … Umi masak apa untuk bekal Mentari?” “Tapi katanya kemarin minta nasi goreng udang? Itu sudah umi buatkan, sekalian sama telur dadar sosisnya.” “Oiya iya … Masyaa Allah, kayaknya enak banget. Makasih umi sudah buatkan untuk Mentari.” Gadis itu kembali memeluk sang ibu. “Sama-sama, Sayang …,” balas Windy. Tidak lama, Irfan dan Langit pun menyusul ke meja makan. “Selamat pagi, Sayang …,” sapa Irfan. Ia mencium puncak kepala Windy. Pria itu juga mencium puncak kepala Mentari. “Selamat pagi … Ayo duduk, kita sarapan bareng. Umi sudah masakin nasi goreng udang yang lezat dan bergizi.” Windy tersenyum lebar. Ia sangat bahagia melihat keluarganya yang lengkap dan ceria. Semua orang mulai mengambil posisi. Tapi ada satu bangku kosong lagi. “Lo, Kenzo mana?” tanya Irfan. “Tadi sudah Langit bangunkan, Pa. Kata Bang Kenzo ia akan segera bersiap,” bohong Langit. “Windy, bisa tolong panggilkan Kenzo?” ucap Irfan Windy langsung terdiam. “Kenapa kamu diam saja, Windy? Kamu tidak mau membangunkan Kenzo. Apa kamu semarah dan sebenci itu padanya?” tanya Irfan. Kelembutan yang tadi ia berikan pada Windy, sirna seketika. “Bukan begitu, Bang. Aku hanya takut nanti Kenzo tidak nyaman jika aku yang membangunkan. Apa tidak bisa kamu saja yang membangunkan, Bang?” tanya Windy. “Jadi kamu masih menganggap Kenzo itu orang lain di rumah ini? Windy, Kenzo itu anak kandung aku. Harusnya kamu itu memperlakukannya sama seperti Langit dan Mentari. Apa kamu mau aku juga membedakan mereka, ha?” Suara Irfan sedikit meninggi. Langit dan Mentari yang tadinya ingin sarapan, malah meletakkan kembali sendok mereka. Ke dua kakak dan adik itu saling tatap. “Kenapa merembes kemana-mana, Bang? Apa salahnya sih kamu saja yang tolong panggilin Kenzo? Aku hanya tidak ingin—.” PLAKK!! Irfan menampar meja makan. “Oke! Biar aku saja yang memanggilnya. Kenzo itu memang anak aku dan biar aku saja yang mengurusnya.” Irfan bangkit dari duduknya, tapi Windy segera mencegah. Ia pegang lengan sang suami, “Maafkan aku, Bang. Kamu duduk saja, biar aku yang memanggil Kenzo. Maafkan aku,” lirih Windy. Irfan menyibak tangan Windy, “Tidak perlu, aku bisa melakukannya sendiri. “Bang, bukankah kamu sendiri yang bilang kalau aku harus memperlakukan mereka sama. Biar aku saja yang pergi. Aku mohon, maafkan aku atas sikapku tadi.” Windy memaksa suaminya untuk duduk kembali di kursi makan. Ia berusaha menenangkan Irfan. “Aku akan ke kamar Kenzo, kamu duduk saja di sini,” lirih Windy lagi. Irfan menghela napas. Ia tenggak air mineral yang ada di depannya. Terlihat jelas kalau pria itu sedang dikuasai emosi. Alhasil, Windy pun terpaksa menekan langkah menuju kamar Kenzo. Ia kecewa dengan sikap suaminya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN