Sikap Dingin Irfan

1434 Kata
Irfan dan Windy sudah masuk ke dalam kamar mereka. Tidak seperti biasanya, kali ini sampai di atas ranjang pun suasana canggung dan aneh begitu terasa. Windy diam, Irfan pun sama. Entah kenapa aura rumah dan kamar itu kini tampak sangat berbeda. Mungkin karena sikap Irfan yang kurang bijaksana, atau sikap Windy yang masih trauma dengan masa lalunya. Windy menoleh ke arah box bayi. Fandi masih terlelap dalam nikmat di sana. Ia sendiri masih belum bisa memejamkan mata. Ya Allah, apa yang harus aku lakukan? Apakah aku harus diam begitu saja sementara ada sesuatu yang ingin aku sampaikan pada suamiku? Kenapa aku secanggung ini sekarang? Bukankah bang Irfan adalah suamiku, lalu kenapa aku jadi bersikap seperti ini? Windy membatin. Wanita itu berusaha sekuat yang ia mampu untuk melawan perasaan canggungnya. Perlahan, Windy membalik badan dan menatap sang suami yang ternyata masih menyandarkan punggungnya di dinding ranjang seraya melihat gawai. “Bang, aku ingin bicara, boleh?” lirih Windy tiba-tiba. “Hhmm … Mau bicara apa?” jawab Irfan dingin. Sepertinya pria itu tengah mengerjakan pekerjaan di tablet miliknya. Windy menghela napas. Perlahan, ia pun duduk lalu menyandarkan punggungnya juga ke dinding ranjang. “Sibu ya?” tanya Windy. “Nggak terlalu. Aku hanya belum bisa tidur saja. Jadi untuk mengisi waktu, aku mengerjakan desain pesanan orang.” “Kalau pekerjaanmu memang banyak dan butuh bantuan, aku bisa membantumu. Kamu tahu kalau aku juga lulusan sarjana Teknik Sipil dan kemampuan menggambaku juga mumpuni,” ucap Windy berusaha memecah suasana canggung. “Iya, aku tahu … Tapi aku tidak mau merepotkan kamu. Kamu sudah sangat repot dengan anak-anak dan pekerjaanmu sebagai penulis novel online. Aku bisa mengatasi semua ini.” “Syukurlah kalau kamu bisa … Bang, aku kepikiran dengan perkataanmu di meja makan tadi.” “Tentang apa?” tanya Irfan. “Tentang sebuah ancaman.” Irfan menghentikan tangannya bekerja pada tablet. Wajahnya ia putar hingga kini menoleh pada Windy. “Ancaman apa maksud kamu, Windy?” Deg … Jantung Windy seketika berdetak sangat cepat. Irfan sangat amat jarang memanggilnya dengan sebutan nama. Biasanya Irfan memanggilnya dengan kata “sayang” atau panggilan “umi”. Namun malam ini, Irfan berbicara dengan memanggil nama Windy, itu adalah hal yang sangat aneh di telinga Windy. “Bang, kamu tampak berbeda malam ini.” “Berbeda? Aku biasa saja. Mungkin aku terlalu disibukkan dengan pekerjaan sehingga sikapku jadi agak lain.” “Tidak, aku yakin bukan karena itu.” “Kamu ingin menyalahkan Kenzo?” “Bukan begitu, Bang. Aku hanya mempertanyakan mengenai ancaman kamu tadi di meja makan. Jika ada pengaduan lagi dari Kenzo, benar kamu akan memarahiku dan memberi sanksi kepadaku?” “Jika memang terbukti kamu salah, maka aku harus menepati janjiku pada Kenzo.” “Bang, harusnya sebagai seorang suami dan seorang ayah kamu harus lebih bijak mengambil sikap dan keputusan. Apa yang kamu lakukan pada Kenzo itu akan membuat Kenzo semakin keras kepala dan seenaknya di rumah ini.” Kalimat itu mengalir begitu saja dari bibir windy. Ia memang sudah menahannya semenjak di meja makan tadi. Irfan kembali melabuhkan pandang pada Windy, “Jadi sekarang kamu menyalahkan aku?” “Ya Allah, bang Irfan. Kamu yang ada di depanku kini tampaknya bukan lagi lelaki yang mencintai setulus hati. Lelaki yang ramah, baik dan selalu berpikir jika mengeluarkan kata-kata. Itu baru satu hari Kenzi di sini. Aku tidak bisa bayangkan bagaimana hari-hari selanjutnya jika seperti ini.” “Windy, jangan menyalahkan aku atau menyalahkan Kenzo atau menyalahkan siapa pun dalam masalah ini. Seharusnya kamu itu sebagai ibu sambung juga bisa berbuat baik pada Kenzo. Kenzo itu anak kandung aku, artinya ia anak kamu juga. Sama halnya aku menyayangi Langit, Mentari dan Fandy yang jelas-jelas juga bukan darah dagingku.” Deg … Deg … Kali ini detak jantung Windy semakin cepat dan kencang. Tidak hanya kencang dan cepat saja, napasnya juga sesak seketika. Hatinya perih dan teriris ketika mendengar pernyataan itu dari suami yang sangat ia cintai. Lelaki yang sudah melepaskannya dari keterpurukan oleh penganiayaan yang ia dapatkan dari suami ke duanya. Windy hanya bisa diam. Ia tahu, kali ini bukan waktu yang tepat untuk berdebat dengan sang suami. Jika Windy tidak ingin hatinya semakin remuk redam, sebaiknya ia diam. Menenangkan diri sesaat. Mungkin menangis bisa menjadi salah satu solusi untuk menenangkan dirinya. Windy pun kembali merebahkan tubuhnya di atas ranjang. Ia membalik tubuh itu hingga memunggungi suaminya. Windy tidak mampu menahan air mata. Ia sesak, ia menangis. Tidak sangka semua ini akan menimpanya. Setelah selama kurang lebih satu tahun lamanya ia sangat bahagia dengan pernikahannya bersama Irfan, hingga saat ini Allah percayakan janin berusia tujuh minggu di rahimnya. Namun kini, semuanya seakan berubah. Ya, Windy kembali diuji. Entah kenapa Windy begitu senang diberi ujian oleh Tuhan-nya. Seolah air mata itu tidak boleh jauh-jauh dari Windy. Kehilangan suami pertama yang sangat mencintainya dengan setulus hati. Menjalin kasih bersama, membina serta bersama-sama melewati hidup mulai dari angka nol besar. Mereka sudah menyemai benih cinta itu semenjak ke duanya masih kelas satu SMA. Tapi sayangnya Allah lebih mencintai sang suami pertama. Allah renggut nyawanya dalam sebuah kecelakaan sepulang ia bekerja. Windy sedih, sakit dan trauma. Selepas ketraumaan itu, ia pun terjebak dalam sebuah pernikahan yang sama sekali tidak ia inginkan. Sahabatnya satu pengajian, meminta Windy untuk menjadi madunya karena ia sedang mengidap penyakit parah. Nyamanya di vonis dokter tidak akan lama. Ia ingin sesosok istri yang baik, penyayang serta punya keimanan dan pengetahuan agama yang baik. Ia percayakan semua itu kepada Windy. Lalu apakah Windy bahagia? Sayangnya tidak. Banyak rintangan, cobaan serta air mata yang mengiringi hidup Windy. Jika pembaca ingin lebih tahu lagi, bagaimana perjalan Windy sebelum ini, pembaca bisa membuka buku yang berjudul “BUKAN MAUKU”. Penulis pastikan, emosi pembaca akan meledak-ledak karenanya. Tangis, haru, air mata serta bahagia, semua bercampur dengan porsinya masing-masing. Banyak pelajaran hidup berumah tangga juga di sana. Kembali lagi ke Windy. Saat ini ia menangis. Namun Windy berusaha untuk menyembunyikan tangisan itu dari sang suami. Susah memang, bahkan sangat susah. Sekuat yang Windy bisa untuk menahan air matanya, sekuat itu pula sesak di d**a Windy semakin besar ritmenya. Ya Allah, jangan jadikan aku manusiamu yang lemah. Sudah cukup aku menderita selama ini. Bukankah aku juga manusia biasa? Aku juga berhak bahagia. Windy membatin. Namun pikirannya tiba-tiba saja ambyar sebab Fandy menangis. Windy segera bangkit, menyeka air matanya dengan daster yang ia kenakan, lalu menggendong Fandy. Windy membawa bayinya itu keluar kamar sebab ia lupa menyiapkan botol s**u serta perlengkapan lainnya yang dibutuhkan Fandy. Apakah Fandy sudah tidak ASI lagi? Ya, semenjak Windy tahu dirinya hamil, Windy menghentikan asupan ASI pada Fandy. Windy menggantinya dengan s**u formula yang dipercaya memiliki kandungan yang tidak jauh berbeda dengan ASI. Sambil menggendong Fandy, Windy segera membuatkan s**u untuk bayinya itu. Bayi yang memang bukan darah daging Irfan, tapi darah daging suami ke dua Windy. Usai s**u siap dibuat, Windy pun duduk di karpet tebal di ruang keluarga. Ia memangku sang bayi lalu memasukkan ujung dot ke mulut Fandy. Fandy menyusu dengan lahapnya. Sembari menyusui sang bayi, Windy pun melantunkan ayat-ayat suci Alqur’an yang ia hafal. Suaranya sangat lirih dan merdu. Setiap ibunya mengaji, Fandy selalu tenang. Matanya besar, tangan kirinya memegang ujung kaki kirinya. Ia menatap sang ibu yang tengah melantunkan kalam-kalam Ilahi yang sarat akan makna hidup. Satu botol s**u berhasil dihabiskan oleh bayi satu tahun itu. Mata Fandy tampak mulai berat. Walau demikian, Windy tetap belum mau menidurkan bayinya begitu saja. Ia gendong bayinya dengan posisi kepala menghadap ke belakang. Ia tepuk pelan punggung sang bayi sampai Fandy sendawa berkali-kali. Setelah memastikan pencernaan bayinya aman, Windy kembali membalik tubuh sang bayi. “Fandy sudah mengantuk lagi?” tanya Windy lembut. Fandy menganggu lemah sebab matanya memang mulai berat. “Mama bawa ke kamar ya ….” Fandy hanya diam, sebab ia sudah tertidur. Windy tersenyum melihat bayi satu tahun itu. Wajahnya sangat persis seperti suami ke duanya. Pria yang sudah membuatnya sakit dan trauma, bahkan hampir gila. Tapi Windy tidak peduli. Bagaimanapun juga, Fandy adalah bayinya, darah dagingnya. Tidak mudah bagi Windy melewati kehamilan itu. Jadi bagaimanapun, kasih sayang dan cinta Windy pada Fandy tidak akan berkurang sebiji zahrah pun. Fandy pun menggendong bayinya dengan aman. Ia melangkahkan kaki masuk ke dalam kamar lalu menidurkan Fandy dengan baik di atas ranjang bayi. “Sudah tidur lagi?” tanya Irfan. “Iya, ia habis menyusu,” jawab Windy. “Owwhh …,” jawab Irfan. Windy hanya bisa menghela napas. Perlahan, ia berjalan ke tepi ranjang. Ia dudukkan bokongnya di sana, lalu ia pun merebahkan badan. Windy menarik selimut dari berusaha untuk memejamkan mata. Sulit memang, tapi tetap harus ia lakukan.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN