Bab 4

2105 Kata
HAPPY R READING *** Rara memandang Maikel menghentikan mobil nya tepat di depan lobby Swissotel PIK. Rara tidak tahu apa yang dipikirannya hingga mau di ajak ke sini oleh laki-laki yang tidak ia ketahui namanya bahkan asal usulnya. Ia memejamkan mata sejenak ia menangkan diri. Ia bersandar di kursi menatap ke arah jendela ia mendengar suara hujan turun. Ternyata hujan pada mala mini memiliki sesi ke dua. Oh God, suasana hujan seolah mendukung mereka untuk melakukan ini. “Hujan lagi,” gumam Maikel melihat hujan turun dengan derasnya. “Iya.” “Kita bisa saling menghangatkan,” ucap Maikel pelan. “Oh, no …” bisik Rara. Maikel memandang ke arah lobby suasana hotel tampak sepi, mungkin para tamu sudah beristirahat di kamar. Maikel membuka hendel pintu, ia keluar dari mobil. Ia mendekati pintu Rara, dan membukanya. Otomatis Rara menoleh menatap secara jelas, mata elang, rahang kokoh dan alis tebal itu. Dia seolah mengatakan bahwa, “Kita harus ke dalam.” Rara menelan ludah, ia membuka sabuk pengaman. Ia menatap Maikel mengulurkan tangan ke arahnya. Otak dan pikirannya sepertinya kompak, ia meraih jemari itu. Permukaan tangan hangat menjalar ke tubuhnya. Rara mengikuti langkah Maikel masuk ke dalam lobby, pria itu menyerahkan kunci mobil ke bellboy. Maikel berjalan maju ke counter resceptionis, lalu melakukan transaksi p********n. Rara mengedarkan pandangannya kesegala penjuru ruangan lobby yang tampak sepi, hanya dirinya dan Maikel di sini. Langit-langit tinggi dan pencayaan yang baik, letak hotel ini letaknya tepat disebelah North Lobby PIK Venue. Tidak butuh waktu lama receptionis memberikan kunci akses ke pada Maikel dan mengatakan selamat istirahat. Mereka masuk ke dalam lift, jujur ia bukan gadis suci ia pernah tidur dengan mantan-mantannya terdahulu. Namun ia mengalami peningkatan dengan sebutan wanita liar, tidur dengan seorang pria yang tidak ia ketahui asal usulnya bahkan namanya saja ia tidak tahui. Apa ia takut? Ya tentu saja ia takut, karena ini pengalaman pertamanya. Lift membawa mereka menuju lantai tujuh. Beberapa detik kemudian lift terbuka, pria itu masih menggenggam jemarinya. Mereka melangkah menuju koridor mencari nomor kamar. Sepanjang jalan tadi mereka hanya diam, ia membiarkan Rara dengan pikirannya. Langkah Maikel berhenti tepat di pintu nomor 706, ia menempelkan kartu akses di daun pintu. Mereka mendengar suara kunci terbuka. Ia menatap iris mata bening itu ia lalu membuka hendel pintu dan meletakan kartu akses di dinding, otomatis lampu menyala. Maikel memperlebar daun pintu, ia mempersilahkan Rara masuk. Rara mengedarkan pandangan kesegala penjuru ruangan kamar, biasa kamar hotel ukuran standar di dekat pintu masuk disambut dengan pintu kamar mandi dan walk in closet, namun di sini berbeda. Ia disambut dengan tempat tidur berukuran king size, TV berukuran 49 inchi, food bar, partical untuk ruang kerja dan kamar mandi private yang di dalamnya ada bathroom. Rara memandang sofa ruang tamu dan standing lamp mempermanis ruangan hotel ini. View langsung menghadap laut menjadi point utama di sini. Rara yakin ini adalah kamar terbaik di hotel ini. Rara menatap Maikel pria itu masuk ke dalam kamar mandi ia mendengar suara shower menyala. Ada perasaan takut sekaligus deg-degan, rasa itu keluar secara bersamaan. Pikirannya mengatakan bahwa Maikel itu bukan orang baik karena terlalu berani, ia melakukan ini memiliki resiko yang tinggi. Rara memiliki waktu beberapa menit untuk berpikir dan mempertimbangkan. Agar ia bisa kabur dari kamar hotel ini karena pria itu sedang mandi. Sekian menit berlalu namun ia masih bergeming dan jantungnya maraton menatap seorang pria keluar dari kamar mandi. Dia mengenakan handuk berwarna putih. Rara menelan ludah kesekian kalinya, ia menatap tatapan tajam pria itu yang tengah memandangnya. Tatapannya beralih ke arah tubuh pria itu, otot-ototnya terlihat dan bahunya sangat bidang, ia yakin dia memiliki hobi berenang karena terlihat dari lengannya kuat dan kokoh. “Kamu mau mandi?” ucap Maikel, memandang Rara yang masih berdiri di dekat sofa. “Hemm, iya,” ucap Rara pelan ia menatap Maikel menggantung kemeja dan celananya di lemari. Rara lalu melangkah masuk ke dalam kamar mandi. Bisa-bisanya ia terpesona melihat tubuh pria itu. Rara menatap penampilannya di cermin, ia berkaca dan menghidupkan keran wastafel, jantungnya maraton luar biasa. Rara melepaskan pakaiannya dan ia perlu mandi air hangat, setidaknya dengan mandi ia akan tenang. Rara menghidupkan air hangat di bathup, dan meneteskan parfum essensial pada air itu. Rara menggulung rambutnya hingga ke atas agar tidak terkena air. Berendam di air hangat seperti ini memberi efek relaksasi, memperlancar aliran darah, membersihkan kulit dan mengurangi nyeri. Rasanya sangat nyaman, ketakutan-ketakutan itu seketika hilang. Ia tidak tahu apa yang ia lakukan di sini, namun seperti ini lebih baik. Ia teringat dengan kata-kata Resti beberapa jam yang lalu. Jika tidak ingin pacaran namun solusinya adalah one night stand dengan orang yang tidak dikenal. Masalahnya pria itu mengenalnya dan justru dia tidak mengenal pria itu. Beberapa menit berlalu, Rara keluar dari kamar mandi. Ia memandang pria itu berbaring di tempat tidur dengan menatap ke arah layar TV yang menyiarkan film Game of Thrones. Tangan kirinya menompang kepala dan tangan kanan memegang remote TV. Pria itu menyadarinya dan kini tatapan mereka bertemu. “Sudah selesai mandi?” tanyanya, Maikel menatap Rara, wanita itu mengenakan handuk kimono. “Iya sudah.” “How do you feel?” Tanya Maikel, ia memastikan bahwa Rara baik-baik saja. “Better.” Maikel menyungging senyum, ia beranjak dari tidurnya ia meletakan remote itu di nakas. Ia mendekati Rara, ia pandangi wajah cantik itu, rambut panjangnya sedikit lembab membuatnya terlihat sexy. “Saya tidak memaksa kamu untuk melakukannya,” ucap Maikel pelan.. Maikel menangkup wajah cantik Rara, mata itu sangat cantik, “Kamu bisa keluar dari kamar ini jika tidak mau melakukannya,” Rara menelan ludah, jemari Maikel memberi kehangatan pada wajahnya. Maikel melirik ke arah jendela, “Di luar hujan lebat,” gumam Maikel. “Iya hujan.” “Hujan sangat mendukung kita melakukan ini,” bisik Maikel. Rara juga menatap ke arah jendela, benar kata Maikel hujan turun dengan lebatnya. Rara melepaskan jemari Maikel, ia melangkah menuju jendela dan agar dapat melihat hujan lebih dekat. Maikel mendekati Rara. Kini mereka sama-sama memandang ke arah jendela menatap hujan. Rara pernah mendengar sebuah kutipan ketika orang-orang kedinginan, mereka mendambakan kehangatan dan kedekatan. Cuaca dingin meningkatkan gairah seksual. Rara merasakan jemari Maikel menggenggam jemarinya, seolah ada listrik yang menjalar ke tubuh mereka. Tidak hanya menggenggam jemarinya, kini Maikel memeluk tubuhnya dari belakang. Ia meraskaan pria itu mencium bahunya secara perlahan. Musim hujan seperti ini seseorang memang membutuhkan kenyamanan dari orang lain. Bibir Maikel mencium semakin keatas dan menciumnya secara lembut. Sementara tangan kiri pria itu sudah berada di perut ratanya yang sudah siap melepas ikatan kimononya. Sialnya, ia sekarang tidak bisa berpikir jenir, hujan, dingin dan malam, merupakan perpaduan sempurna untuk menikmati surga duniawi. Maikel membawa tubuh Rara setelah berhasil melucuti kimono dan handuknya sudah tergeletak di lantai. Kini mereka bukan lagi dua orang yang sedang mengantuk dan kini menunjukan, bahwa mereka saling menginginkan satu sama lain. Mereka merasakan sayap-sayap menyeka. Kaki dan tubuh terkurung dengan tubuh basah dan keringat. Mereka saling memanggil jiwa, tidak ada kata lelah dan masih setia menciumi gundah dalam alurnya. Dan kini mereka pasrah menciptakan puncak kebahagiaan dan penyembahan diri untuk bersama. *** Keesokan harinya, Rara membuka matanya secara perlahan. Ia mencoba mengingat apa yang telah ia lakukan tadi malam bersama Maikel. Mereka melakukan sesi bercinta yang dahsyat dan lama. Rara mengedarkan pandangannya kesegala penjuru ruangan kamar, matahari sudah menampakan sinarnya. Rara mengangkat kepalanya secara perlahan, ia tahu bahwa ia masih berada di dalam kamar hotel mewah, Tv plasma masih menyala dengan channel yang sama. Di sebelah kiri terdapat sofa dan ruang kerja yang terbuat dari kayu jati. Rara melihat dress, bra dan celana dalam menggantung di lemari. Ia memandang bantal yang sudah ditanggal oleh penghuninya. Ia mencari tas LV yang masih berada di nakas, ia mencari ponselnya. Ia mendapati apa yang ia cari dan menatap jam digital menunjukan pukul 09.01 menit. “Terima kasih,” ucap seorang pria dibalik pintu. Rara mendengar suara pintu terbuka, ia menatap seorang pria mengenakan kemeja hitam dan celana jins. Dia membawa troli berisi buah segar, kue tradisional, dan dua nasi goreng dengan toping telor mata sapi. Pria itu menyungging senyum dan sambil mendorong troli makanan. “Morning,” ucap Maikel. “Morning to,” ucap Rara, ia membalas senyuman Maikel. “Saya tadi ke bawah, meminta staff untuk mengantar breakfast untuk kita.” “Maaf saya nggak bangunin kamu. Karena kamu tidur nyenyak sekali,” ucap Maikel lagi. Rara memandang ke arah bedcover tubuhnya tidak mengenakan satu helaipun di sana. Ia menatap Maikel dan Maikel memandangnya balik, seolah pria itu tahu apa yang ia inginkan. Maikel mengambil handuk kimononya yang tergeletak di lantai dan lalu menyerahkannya kepadanya. “Thank you,” ucap Rara. Rara melangkah dan ia lalu duduk di sofa. Jujur ia merasa lapar karena tadi malam ia hanya menyesap brandy. Ia memandang Maikel pria itu menyesap kopi hitam. Rara meneguk air mineral dan lalu memakan buah. “Saya harus segera pulang,” ucap Rara. “Saya antar.” “Enggak usah, saya pulang sendiri, jika pulang dengan kamu nanti banyak yang curiga. Biar saya yang pulang duluan,” Rara mengambil piring berisi nasi goreng dan ia makan dengan tenang, begitu juga dengan Maikel. “Jadi kita berpisah di sini?” ucap Maikel, ia memakan nasi gorengnya. Rara mengangguk, “Iya.” Maikel kembali menatap Rara, “Pinggang kamu sakit? Karena tadi malam saya lepas control.” “Enggak,” Rara memasukan nasi goreng ke dalam mulutnya. “Bagaimana perasaan kamu?” tanya Maikel. “Better. Kalau kamu?” Tanya Rara. “Lebih baik,” ucap Maikel menyungging senyum ia memakan nasi goreng hingga habis tidak tersisa. Rara meneguk air mineral ia menyudahi makannya. Ia melangkah mengambil pakaian yang menggantunng di lemari. Ia lalu masuk ke dalam kamar mandi, ia harus segera pulang, sebelum mall di samping hotel ini buka. Karena ia tahu bahwa weekend akan dipenuhi oleh para pengunjung. Rara kembali mencoba mengingat apa yang telah ia lakukan. Mungkin pria itu akan menganggapnya wanita Liar yang bisa tidur dengan siapa saja. Ia dan pria itu benar-benar bercinta dalam keadaan sadar. Ia masih ingat betul mereka melakukan itu tidak dalam keadaan waras, walau semalam mereka sama-sama minum alkohol. Sepanjang hidupnya ia pernah beberapa kali bercinta dengan mantan-mantannya terdahulu, terakhir ia bercinta bersama Bimo di apartemennya sendiri. Dan sekarang ia melakukannya dengan orang yang tidak dikenal. Melakukan hubungan intim dengan pacar sendiri merupakan hal biasa. Orang-orang terdekatnya tidak buta dan membiarkannya saja ia berpacaran. kehidupan romantisme seperti ini hak semua orang. Terlebih orang tuanya jauh di Surabaya tidak ada yang mengontrol dirinya di sini. Mengandalkan Resti sama saja seperti dirinya, wanita itu iya-iya saja, tanpa sedikitpun mencegahnya. Bahkan biasa menyarankan dirinya berpacaran dari pada mengurung di apartemen. Sejujurnya ia sudah diajarkan orang tua bahwa bercinta di luar nikah itu tabu dan dilarang baik hukum dan agama. Dan menjaga statusnya untuk tidak menjadi w**************n. Untung saja media tidak menyerangnya atas tentang kehidupan ranjangnya. Ia sudah membayangkan bagaimana mulut netiizen melihatknya seperti ini. Rara menarik nafas panjang, ia mengenakan pakaiannya. Ia lupakan sejenak tentang tadi malam. Ia akan mengakhiri hubungan ini dan tidak harus dipermasalahkan. Anggap saja one night stand, Rara mengoles lipstick dan mengenakan eyebrow. Ia menyisir rambut dengan tangan lalu keluar dari kamar mandi. Rara memandang pria itu masih duduk di sofa, lalu tersenyum ke arahnya. “Kita berpisah di sini,” ucap Rara, ia menatap ke arah layar ponsel. “Saya antar,” ucap Maikel memandang Rara. “Jangan, ini saya sudah pesan taxi online. Dan taxinya sudah berada di bawah,” ucap Rara ia harus meninggalkan kamar ini segera sebelum pria itu mengajaknya sesi bercinta dua kali. Maikel mendekati Rara, “Saya antar kamu ke bawah.” “Enggak usah, saya tidak ingin orang lain curiga bahwa saya ada di sini bersama seorang pria.” Maikel menghela nafas panjang, “Oke,” ucap Maikel ia tidak ingin memaksakan wanita yang menolaknya. Semenit kemudian Maikel memandang Rara keluar dari kamar dan lalu menghilang dari pandangannya. Ia merogoh ponsel di saku celana, ia melihat ponselnya menunjukan pukul 09.45. Ia masih ada waktu 2 jam berada di sini untuk check out. Namun sepertinya ia akan check out setengah jam lagi. Ia tersenyum penuh arti, apa yang telah ia lakukan kepada Rara tadi malam. Ia bahkan tidak akan melupakannya. Maikel meletakan ponselnya di telinga, ia menghubungi seketarisnya. Ia menunggu beberapa detik dan sambungan terangkat. “Halo, selamat pagi pak.” “Selamat pagi juga Odelia.” “Ada yang bisa saya bantu pak?” “Informasikan kepada seluruh kepala divisi, besok meeting jam 10.00. Semuanya harus hadir. Saya akan buka summercon di Surabaya dan Denpasar bulan ini.” “Baik pak.” “Terima kasih,” ucap Maikel, mematikan sambungan telfonnya lalu tersenyum penuh arti. ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN