HAPPY READING
***
Hujan masih belum berhenti, diikuti angin yang cukup kencang. Kilat dan petir muncul secara bersamaan, apalagi mereka berada di dalam mobil. Suaranya menggelegar sehingga beberapa mobil yang melintas di jalan mencari perlindungan seperti mereka demi keselamatan.
Petir kembali muncul, sialnya mereka berada dibawah pohon tua, benda-benda yang terbuat dari logam dan kayu, akan membuatnya berbahaya. Tidak hanya itu kilat yang dihasilkan juga menimbulkan ketakutan bagi beberapa orang yang melintasi jalan. Tempat perlindungan yang paling aman adalah rumah. Mereka mendengar suara suara hujan yang turun. Sekian menit menatap hujan masih turun dengan derasnya.
Maikel melirik Rara yang masih duduk kursi, wanita itu menoleh memandangnya. Mereka mendengar hujan dan kilatan petir.
“Masih hujan,” Rara membuka topik pembicaraan, karena ini sudah sepuluh menit berlalu.
Maikel merendahkan sandaran kursi,
“Iya. Enggak tau ini kapan berhentinya.”
“Oiya, kursi kamu sandarin aja, kita tunggu sampai hujan berhenti.”
Rara menyungging senyum, “Iya.” Rara menurunkan sandran kursi, ia mengambil posisi senyaman mungkin. Ia juga melepaskan high heelsnya. Mereka mendengar suara hujan yang masih turun dengan deras.
“Kegiatan yang kamu senangi saat hujan apa?” tanya Maikel, ia memandang Rara yang tampak relexs.
“Mungkin tidur kali ya, enak tarik selimut,” ucap Rara terkekeh.
“Oiya, saya suka makan mie instan sambil nonton. Dengerin lagu sambil nyanyi juga,” Rara tertawa.
“Iya kamu benar, makan mie instan paling enak, apalagi ditambah dengan irisan cabe rawit, itu rasanya juara.”
“Haduh kamu ngomongin mie instan jadi pengen mie instan nih,” Rara tertawa begitu juga dengan Maikel.
“Nanti kita makan mie instan,” ucap Maikel.
“Apa yang kamu senangi kegiatan saat hujan?” tanya Rara penasaran, ia menatap tawa Maikel, lihatlah betapa tampannya pria itu saat tertawa.
“Paling enak itu bercinta sih menurut saya. Maaf, saya normal,” Maikel lalu tertawa.
“Uh dasar cowok ya !” Rara tertawa.
“Saya jujur loh ini, nggak munafik juga, dari semua kegiatan makan, dengerin lagu atau apapun itu, saya paling senang bercinta.”
“I know, semua pria pasti mengatakan itu.”
“Exactly.”
“Jangan bahas urusan ranjang, apalagi cuaca dingin,” ucap Maikel tertawa.
“Bahaya banget pastinya.”
“Yang bahaya itu saya Rara, takutnya khilaf ngajak kamu ngeroom. Maklum saya sulit ngontrol kalau soal gituan.”
Rara lalu tertawa, ia menatap Maikel beberapa detik ia memandang Maikel. Pria itu benar-benar tampan menurutnya. Ia merasa bahwa ia saat ini sedang nge-date dengan seorang pria. Kemeja hitamnya menunjang gaya penampilannya. Apakah pria itu layak di jadikan pacar? Suami?
Stop ! Rara ia tidak akan pernah menikah, baginya menikah tidaklah penting. Dia juga bukan pria yang suka bergonta-ganti wanita yang tidak ingin berkomitmen, Rara mengomeli dirinya sendiri.
“Kamu suka nonton film nggak?” tanya Maikel, ia akan membicarakan hal-hal yang menyenangkan, karena ini merupakan awal perkenalan ia dan Rara. Ia bersumpah dulu ia tidak akan berpacaran dengan artis lagi. Ia ingin menjalin pertemanan saja. ia sudah cukup tahu bagaimana berpacaran dengan artis dan rasanya sama sekali tidak enak.
“Kamu tau nggak, saya suka nonton film apa?”
“Korea?”
“No, film itu terlalu banyak episode.”
“Why? Bukannya banyak wanita menggilai drama itu?”
“Jika saya memulai menontonnya, mungkin saya akan suka. Hanya saja saya tidak mengikuti drama nya. Saya tidak punya banyak waktu untuk menonton.”
“I see, saya pikir kamu suka.”
“Enggak semua wanita suka nonton drama korea. Tapi saya akui bahwa pemain actor dan aktrinya cantik dan tampan-tampan,” gumam Rara.
“Coba saya tebak, kamu suka film Indonesia?”
Rara tertawa, “Suka sih, tapi nggak suka-suka banget.”
Alis Maikel terangkat, ia memicingkan matanya, “Jangan bilang kamu suka film animasi seperti saya,” tebak Maikel.
“Serius kamu juga suka film animasi?”
“Yes, saya suka banget film animasi,” ucap Rara diselingi tawa.
“Kamu pasti suka film, Lion King, Kungfu Panda, Toy story, Despicable Me, Madagascar, Dragon, Brave, Ice Age.”
“Oh God, semua yang kamu sebutin sudah saya tonton semua.”
“Saya juga suka banget, walau umur saya sudah tidak bisa dikatakan muda lagi.”
“Iya sama, saya kadang nonton sambil ditemani sama mie instan dan snack berbumbu micin.”
Maikel lalu tertawa, “Twisko, Lyas, kacang garuda, teman terbaik untuk nonton,” ucap Maikel.
“Exactly,” Rara tertawa.
“Kamu udah nonton despicable me nggak yang terbaru?” ucap Maikel, ia memandang ke arah layar kaca.
“Despicable me ke 3?”
“Iya.”
“Yang menarik apa menurut kamu?”
Rara mulai berpikir, “Yang menarik itu ketika masalah Margo dan Agnes. Kamu tahu kan di film itu ketika Gru dan Lucy dipecat dari pekerjaanya. Agnes berusaha menjual mainannya untuk mendapatkan uang untuk membantu Gru dan Lucy. Mainan itu bukan mainan sembarangan, melainkan boneka unicorn kesayangannya.”
“Iya, saya ingat, bahwa Agnes mengetahui bahwa ada unicorn yang dibisa ditakap di hutan. Agnes antusias menangkapnya. Lucunya lagi yang di tangkap Agnes itu adalah kambing dengan satu tanduk. Agnes tetap senang walaupun akhirnya dia tahu bahwa itu adalah kambing satu tanduk yang di jelaskan oleh Gru,” Maikel lalu tertawa, begitu juga dengan Rara.
“Saya tangkap pesan moral di cerita itu, yaitu kelurga Gru terbentuk sangat indah.”
“Exctly,” ucap Maikel.
“Oh God, saya nggak nyangka kamu suka film animasi seperti saya.”
“Ternyata kita memiliki persamaan lagi, selain pola pikir tentang pernikahan.”
Setengah jam berlalu, hujan sudah berhenti. Meikel dan Rara bersyukur bahwa hujan sudah berhenti hanya sisa-sisa hujan membasahi dari atas pohon. Maikel mencoba menahan diri tidak tergoda oleh pakaian sexy Rara. Ia melirik jam melingkar ditangannya menjunjukan pukul 20.40 menit.
“Hujannya sudah berhenti,” ucap Maikel, ia mengubah sandaran kursi seperti semula.
“Iya sudah,” ucap Rara.
“Terus jalannya ke pantai ya.”
Rara mengangguk, “Iya.”
Maikel menstater mobilnya kembali dan meneruskan perjalanan. Mobil, motor yang tadinya berteduh kini melanjutkan perjalanannya. Ia tidak habis pikir apa yang dipikirkannya saat ini mengajak Rara ke Pantai saat cuaca dingin seperti ini. Apa yang mereka cari sebenarnya di Pantai? Mereka dua orang dewasa yang mendambakan pantai? No, itu sama sekali ngaco dan nggak masuk akal. Ia tekankan di sini bahwa mereka berdua adalah dua orang kesepian yang mendambakan sentuhan.
***
Beberapa saat kemudian mereka sudah tiba di ancol tepat pukul 21.20, untung saja masih bisa membeli tiket masuk. Setelah itu Maikel melanjutkan perjalanannya. Maikel menghentikan mobilnya diparkiran mobil. Suasana pantai tampaknya masih sepi, ia melihat outlet McDonald’s masih buka. Rara melepas sabuk pengamannya begitu juga dengan Maikel.
Kini mereka menikmati malam . Ini merupakan salah satu wisata Jakarta menikmati keindahan alam yang letaknya di utara Kota Jakarta. Angin laut menerpa wajah mereka, hawa dingin terasa karena baru saja hujan reda. Suasana pantai Ancol sepi, mungkin hanya beberapa saja yang ada di sana itupun sedang ingin berburu kuliner, mungkin mereka adalah penghuni hotel dekat-dekat dari sini.
Mereka memandang laut dan gedung-gedung berhias lampu dari jembatan kayu.
“Kamu sering ke sini sebelum?” tanya Rara.
“Pernah sih beberapa kali, kebanyakan kerjaan saya daerah sini,” ucap Maikel.
“Saya sebenarnya bukan penikmat pantai, pekerjaan saya sangat banyak, sekarang ingin ketenangan sejenak.”
Mereka melangkah menulusuri jembatan kayu, angina berhembus cukup kencang namun tetap membuai. Tidak ada udara panas apalagi terik matahari yang dirasakan pada siang hari. Sepanjang jalan jembatan kayu penuh dengan kelap-kelip lampu bangunan, menambah kecantikan suasana malam di kawasan ini.
Maikel menatap Rara, wanita itu hanya berpakaian terbuka.
“Kamu dingin nggak?” ucap Maikel.
Rara menoleh memandang Maikel, “Sedikit, tapi tadi saya sudah minum brandy, setidaknya tubuh saya lebih hangat.”
“Tapi kamu hebatnya nggak mabuk ya walau minum brandy.”
“Iya sih, saya bukan tipe wanita yang mudah mabuk. Tapi kalau kebanyakan mungkin saya mabuk juga sih,” ucap Rara.
Maikel tidak tahu akan memberi apa untuk menutupi tubuh Rara yang sedikit kedinginan, ia sendiri tidak menggunkan jaket atau jas. Ia hanya mengenakan kemeja saja.
“Biasanya ada wanita yang baru berapa kali teguk sudah pusing luar biasa dan mabuk.”
“Iya kamu benar, ada yang beberapa seperti itu.”
Di sepanjang jembatan kayu ada beberapa tempat wisata kuliner karena di sana terdapat restoran Le Bridge dan beberapa café. Maikel dan Rara menghentikan langkahnya tepat di tengah-tengah pantai, mereka menatap hamparan laut dan angin.
“Sepi juga ya,” ucap Rara menatap jembatan yang tidak berpenghuni kecuali mereka berdua.
“Ya lebih enak sepi gini sih, nggak perlu risih dilihat orang, apalagi kamu artis,” ucap Maikel
“Ah iya benar sekali.”
“Kalau rame, yang ada nanti mereka sibuk minta foto sama kamu. Dan kamu nyuekin saya, lalu deh timbul gossip yang enggak-enggak.”
“Makanya kamu jangan pacaran sama artis lagi.”
Maikel tertawa, “Sudah kapok saya, saya lebih senang jika pacaran sama kalangan biasa, tidak terlalu heboh.”
“Mantan kamu siapa?”
“Kamu mau tau?”
“Iya, saya penasaran.”
Maikel menarik nafas memandang Rara, ia melihat nanar mata itu, “Raisa,” ucap Maikel tenang.
Alis Rara terangkat mendengar nama Raisa, “Penyanyi itu?”
“Iya.”
“Tapi hanya beberapa bulan saja, ada satu lagi.”
Rara menelan ludah ia tidak menyangka bahwa Raisa pernah berpacaran dengan pria di hadapannya ini. Ia yakin pria itu bukan pria sembarangan. Karena ia tahu bahwa Raisa adalah artis paling perfect di Indonesia.
“Siapa?”
“Saya juga pernah sempat pacaran juga sama Pevita, agak lama sih sekitar delapan bulan.”
“Astaga yang cantik itu, yang belasteran pemain film.”
Maikel mengangguk, “Iya.”
“Wow, saya nggak nyangka bahwa pacar semua berkelas.”
“Iya lah, saya juga tampan kan,” Maikel tertawa.
“Ah, saya masih nggak percaya kamu pacaran sama mereka.”
“Saya masih mengarsip foto mereka di i********: saya. Nanti saya perlihatkan dan mungkin kamu bisa mencari artikel tentang di artis itu, pasti kamu akan melihat wajah saya di sana.”
Maikel menarik nafas memandang Rara, “Saya sudah beberapa kali pacaran dengan artis dan akhirnya memutuskan tidak ingin berpacaran lagi dengan wanita dari dunia entertaiment.”
“Why?”
“Saya menjaga nama baik keluarga.”
“Owh, I know. Ada beberapa artis juga merahasiakan keluarganya dari hadapan public.”
Angin masih berhembus dan menerpa wajah mereka, beberapa menit berdiri cuaca semakin dingin. Rara melipat tangannya di d**a menahan dingin, apalagi ia mengenakan pakaian terbuka.
“Dingin?” tanya Maikel.
Rara mengangguk, “Iya, lama-lama dingin juga,” Rara tersenyum.
“Saya pegang tangan kamu, biar hangat,” ucap Maikel, ia menyentuh permukaan lengan Rara.
Rara terdiam sekian detik ia tidak percaya bahwa pria itu menyentuhnya. Namun anehnya ia sama sekali tidak menolak dan membiarkan pria itu meremasnya. Jantungnya maraton dan seolah ada listrik menjalar ketubuhnya.
Maikel merasa, ia berada di kaca pembesar tepatnya di bawah tatapan Rara. Ia tidak menyembunyikan apapun ketakutan di sana, justru semakin berani memandang iris mata itu. Ia mengeratkan jemarinya dan ia usap punggung tangan itu.
Entah dorongan apa, Maikel menarik tangan Rara mendekat. Kini mereka tidak ada jarak lagi hembusan nafas menerpa wajah mereka. Tangan Maikel menarik pinggang ramping Rara merapat ke tubuhnya lalu tubuh mereka tidak ada jarak. Sementara tangan kirinya mengelus tengkuk itu, otomatis Rara mendongak.
Sebelum Rara tahu apa yang terjadi pada dirinya, Maikel sudah melumat bibir Rara. Maikel benar-benar mencium Rara dengan dalam dan lidahnya merajalela. Selama ciuman berlangsung Maikel tidak merasakan Rara berusaha melepaskan kecupannya. Awalnya kecupan itu pelan lama-kelamaan ritmenya semakin cepat. Ia mengambil langkah mundur dan tubuh Rara bergerak maju, mengikuti tekanan.
Rara akhirnya paham apa yang Maikel lakukan padanya, ia berjinjit membalas lumatan Maikel. Mereka saling mengecap seolah tidak ada hari esok. Tubuhnya sedikit lebih hangat dan perasaanya menjadi lebih tenang. Mereka saling menimati setiap detik kenikmatan itu. Mereka paham apa yang mereka inginkan saat ini. Tubuh mereka berhimpit dan bergesekan, tangan Maikel keduanya berada di leher Rara agar ia bisa melumat lebih dalam. Oh God, Maikel tidak menyangka bahwa kecupan Rara sangat perfect.
Tangan Maikel perlahan menelusuri tubuh Rara, membuatnya ingin melakukan hal-hal yang tidak seharusnya mereka lakukan. Maikel melepaskan kecupannya, agar mereka bisa menarik oksigen ke dalam paru-paru. Tubuh mereka merasakan kehangatan.
Maikel mengalihkan bibirnya ke leher Rara dan dikecupnya secara perlahan, tubuhnya terasa hangat dalam pelukan Maikel, ia menelusuri tubuh Maikel. Tubuh pria itu ternyata sangat bidang dan otot bisepnya penuh dengan otot dan keras.
Rara beraroma manis seperti vanilla yang membuatnya tidak ingin berhenti melakukannya. Maikel menahan diri untuk tidak melakukan lebih karena meraka berada di tepi pantai. Jemari Rara menyisir rambutnya dan ia menarik kepala lalu mencium bibir Rara kembali. Ritme kecupan mereka semakin dalam, “Oh, she kissable,” teriak Maikel dalam hati.
Maikel menghitung lima dalam jumlah mundur, ia berusaha sekeras mungkin menghentikan kecupan yang tidak akan pernah berakhir ini. Maikel menarik diri dari tubuh Rara, lalu mengakhiri kecupan mereka. Tidak ada yang mengelurkan satu katapun selama beberapa menit. Maikel dan Rara sibuk mengontrol pernafasan.
Maikel memandang Rara, ia mengelus bibir tipis itu dengan jemarinya. Maikel menelan ludah, ia benar-benar ingin Rara tahu apa yang mereka inginkan saat ini untuk mengisi kekosongan mereka,
“Kita move ke hotel.”
Rara tidak percaya bahwa Maikel memintanya move ke hotel atas akhir kecupan panjang mereka. Rara memejamkan mata beberapa detik lau menarik nafas. Ia menutup wajahnya dengan tangan, jantungnya maraton. Ia tidak percaya ia bisa berciuman dengan orang yang tidak ia ketahui namanya.
“Saya mau, kita move ke hotel,” ucap Maikel lagi.
“Oh Jesus,” desis Rara pelan.
“Saya tahu kita sama-sama ingin, lebih baik kita selesaikan di sana.”
“I know. This is harder than i thought …” ucap Rara.
“I want, you want,” bisik Maikel pelan.
“Stop …”
“Yes, I stop. But we want to do that,”
“Oh God,” umpat Rara, ketika jemari Maikel memegang jemarinya kembali. Mereka saling berpandangan sekian detik.
Kini Jemari Maikel menggenggam jemarinya erat dan mereka melangkah meninggalkan jembatan kayu. Saat ini mereka telah menemukan malam, membawa mimpi, mengisi kekosongan dengan segela perasaan. Kini mereka menjadi dua orang asing yang tidak bisa menghindari kenikmatan laknat para pendosa.
***