Dia lupa memeriksa keadaan.
Seorang anak laki-laki, pemilik mata sewarna abu-abu masuk. Anak itu melemparkan senyum untuk Alina. "Kau di sini, Sina? Aku pikir kau masih menangis di kamar papamu. Aku tadi ke kamar mandi dan tersesat di rumah besar ini. Lalu aku tanya letak kamarmu sama mbak-mbak yang sedang menyapu. Hei ... kau terlihat berbeda. Anak laki-laki itu mendekat dan tangannya menyentuh pipi Alina.
Alina tersentak, seketika menepis tangan si anak lelaki. Wajahnya pias ketika si anak lelaki terkejut. Ia mencoba bicara, tapi tak ada suara yang keluar.
Anak lelaki itu cemberut, terlihat kesal. "Aku akan mengadukanmu ke om Arya." Anak lelaki itu sudah berdiri dari posisi duduk di tepi kasur dan beranjak ke pintu.
Dengan sigap, Alina meraih tangan anak lelaki itu. Ia menggeleng, dengan tangan lain ia memegang tenggorokannya, mencoba mengeluarkan suara, namun gagal. Detik berikutnya ia menangis. Ia takut kalau Arya akan mengurungnya lebih ketat dari ini jika si anak lelaki mengadukannya. Tangan gemetar Alina mencengkeram tangan si anak lelaki, lalu ia berlutut sambil terus menggeleng, air mata tak henti mengalir.
Anak lelaki itu terbelalak. Ia sudah cukup mengenal Alcina dengan baik, dan memang anak perempuan itu terkenal cengeng dan jorok, tapi cara anak perempuan ini menangis tidak terkesan cengeng sama sekali, malah membuat sesuatu dalam dirinya merasa tersentuh. Ia lantas duduk dan tersenyum kecil. "Aku tidak akan mengadukanmu pada Om Arya." Ia kemudian menghapus air mata di pipi gadis kecil itu. "Jangan menangis lagi."
Alina mengangguk, lalu menghapus air mata di pipinya.
"Siapa namamu? Kau tidak mungkin si cengeng Sina," kata anak lelaki itu setelah keduanya duduk di kasur dalam kamar Alina.
Alina mengeluarkan note dan menuliskan namanya. Alina Calista.
"Oh, kau kakaknya Sina atau adiknya? Wajah kalian benar-benar mirip."
Alina kembali menulis di kertas. Kakaknya.
"Hemm, begitu." Si anak lelaki menggaruk tengkuknya, tiba-tiba merasa malu saat Alina tersenyum manis dan menatapnya.
'Siapa namamu?' tulis Alina di kertas.
"Albert. Albert Sperry. Kau bisa memanggilku Al."
Namamu bagus, seperti si jenius Albert Einstein.
"Terima kasih." Albert menggaruk tengkuknya, mengalihkan pandangan ke arah lain. "Kau punya banyak koleksi buku. Semuanya sudah pernah kau baca?"
Ya. Aku suka membaca. Al suka juga?
"Tidak terlalu. Mataku perih kalau lama-lama baca. Lihat ini, aku bahkan sudah pakai kacamata sejak masuk sekolah."
Alina tersenyum, kembali menulis di kertas. Al keren pakai kacamata.
Albert berdeham kecil setelah membaca pujian Alina untuknya. "Ngomong-ngomong kenapa kau tidak ke sekola"
Alina bingung harus menjawab apa. Tidak mungkin mengatakan 'ia harus dirahasiakan dari dunia' kan? Jadi ia menulis, ‘Aku home schooling. Aku tidak terlalu suka kebisingan.’
Albert kembali bertanya. "Apa kau mau jadi temanku, Alin?"
Alina tersenyum, kemudian mengangguk mantap.
Albert terlampau senang sampai ia memegang tangan Alina. "Kalau begitu, kita akan sering bertemu diam-diam, kan?"
Alina kembali mengangguk.
"Aku akan selalu datang ke sini di jam seperti sekarang. Aku akan mengajak Alcina main petak umpet, jadi kita bisa bersama selagi dia mencariku. Setuju?"
Alina kembali mengangguk.
Albert kemudian mengeluarkan kelingkingnya. "Berjanjilah."
Alina tersenyum lebar, nyaris tertawa tanpa suara, lalu ia menautkan kelingkingnya.
"Bagus, sekarang aku punya teman rahasia." Albert terkikik. "Oh, ya, Alin. Kau suka apa? Besok akan kubelikan sebagai hadiah pertemanan."
Alina menuliskan 'es krim' di kertas.
"Baiklah. Tunggu aku besok, ya. Sekarang aku pergi dulu." Albert kemudian berlari keluar kamar.
Alina tersenyum, ia pun bergerak ke balkon dan menunggu Albert keluar rumah. Setelah cukup lama, ia melihat Albert mengamati kanan dan kirinya, seperti mencari sesuatu, kemudian anak lelaki itu menatap ke atas, memerhatikan Alina yang bersandar pada pagar pembatas balkon.
Albert tersenyum lebar menunjukkan deretan gigi putihnya, kemudian melambaikan tangan pada Alina lalu bicara tanpa suara. 'Tung-gu-a-ku' begitu pesan yang didapat Alina dari gerakan mulut Albert.
Alina membalasnya dengan gerakan mulut pula 'a-ku (sambil menunjuk dirinya) me-nung-gu' lalu tersenyum lagi, hingga Albert hilang dari pandangan. Gadis kecil itu mendapat teman pertamanya, ia tersenyum sepanjang menuju kamar, tanpa sadar bisa mengeluarkan suara, "Albert."
***
[Malamnya]
"Bawa Alina menemui Riana. Hanya seminggu, tidak lebih. Kau mengerti, Dillon?" Arya bicara dari posisi duduknya di sofa, dengan kaki kiri di atas kaki kanan dan tangan memegang segelas sirup berwarna merah. Alina tidak tahu itu sirup jenis apa.
Dillon berdiri di samping Arya, kepalanya menunduk. Beberapa detik kemudian, Dillon mendongak dan netranya bertemu dengan iris biru Alina. Gadis kecil itu tidak perlu sembunyi karena Dillon memang sering melihatnya mengendap keluar dan mencuri dengar.
Alina senang, Dillon yang masih usia 18-an itu bertindak layaknya seorang abang yang melindunginya. Sehingga tidak masalah bagi Alina, kalau Dillon menyadari kebiasaannya itu.
***
Keesokannya, di sebuah rumah yang tidak terlalu jauh dari kediaman Arya, seorang wanita seusia Nia, berlari menghampiri Alina dan memeluk gadis kecil itu erat.
Setelah melepas pelukan, Riana mengecup kening, dan kedua pipi Alina bergantian. Ia mengusap wajah pucat di depannya penuh sayang. "Ini siapa, Dillon?" tanya Riana dengan genangan air yang hampir tumpah dari pelupuk mata.
"Alina, Nyonya."
"Ah, Alin-ku. Ayo, Sayang." Riana menarik tangan kanan Alina tapi gadis kecil itu menepisnya dan malah berjalan duluan ke depan.
"Maafkan dia, Nyonya. Suasana hatinya selalu buruk semenjak Nyonya Nia meminggal."
"Tidak apa-apa, Dillon. Aku mengerti. Melihatnya tumbuh sehat saja sudah cukup bagiku.
Alina bisa mendengar penjelasan Dillon yang menurutnya tidak berguna. Ia membalik badan dan menatap tajam pria itu, kemudian kembali melangkah ke halaman rumah mewah bercat putih keperakan.
"Hahaha... dia sangat mirip Arya saat marah. Aku menyukai anak ini." Riana menyeka sudut matanya yang berlinang.
Dillon hanya tersenyum kikuk menatap Riana di depannya.
***
Alina tidak lagi melihat Riana dan Dillon di belakangnya. Ia berhasil kabur dari mereka, tapi malah tersesat di halaman belakang rumah yang cukup luas. Ada beberapa kelompok taman di sana, tapi semuanya hanya ditanami bunga Lily.
“Hei. Menyingkir kau, perempuan bodoh!"
Alina membalik badan untuk melihat asal suara. Ia mendapati seorang anak lelaki yang memakai pakaian kebesaran seperti tukang kebun. Wajah sangat anak itu terlihat lelah, di tangan kanannya ada celurit, dan di kepala ada topi lusuh mirip topi milik pak tani.
Alina tertawa tanpa suara ketika melihat penampilan anak lelaki yang lebih tinggi darinya itu.
"Aku bilang menyingkir!" Anak lelaki itu melempar celuritnya asal dan mendorong Alina hingga terjatuh. Ia memungut beberapa bunga Lily yang ternyata dipijak oleh Alina.
Alina kesal. Baru kali ini ada yang berani mendorongnya. Karena tidak terima, ia menendang p****t anak lelaki itu saat si anak lelaki masih dalam posisi jongkok memungut bunga.
Anak lelaki melotot marah, dan balas mendorong Alina setelah melepaskan topi pak tani. Gadis kecil itu murka, lantas membalas mendorong lagi. Wajah anak lelaki itu sudah memerah akibat panas dan amarah. Ia menjambak rambut ikal Alina sebagai pelampiasan.
Alina tidak tinggal diam. Ia menggigit bahu anak lelaki itu hingga membuatnya menjerit dan menangis. Darah segar merembes keluar dari bahunya. Alina tersenyum puas dan merapikan rambutnya yang berantakan. Ia tidak memedulikan anak lelaki yang sudah terduduk meraung-raung sambil memegang bahu yang luka.
"Haaaaa.... Aaaaa.... Ibuuuu.... Ada perempuan gila yang menggigitku. Ibuuuuu," teriaknya sambil menangis sejadinya.
Riana datang beberapa detik kemudian, dan dengan panik mendatangi Alina lalu memeriksa tubuh putrinya. "Syukurlah kau tidak apa-apa," ujar Riana.
Alina terpaku pada perlakuan lembut Riana yang mengingatkannya akan sosok Nia.
"Mom...." Ucapan Alina terhenti karena teriakan melengking anak lelaki tadi.
"Ibuuuu. Aku yang luka.... Huaaa ... ha ... a ... a ... hiks."
Riana memeriksa anak lelaki itu. "Ya tuhan. Kau tidak apa-apa, Derry? Maafkan Ibu, Sayang. Coba Ibu lihat."
Alina diam menyaksikan kepeduliaan Riana pada Derry, yang tergopoh-gopoh membawanya ke dalam.
***
[Malamnya, di ruang makan]
Alina duduk berhadapan dengan Derry di meja makan. Anak lelaki itu sudah berpakaian rapi dan bersih, juga wangi. Meski begitu, Laina tetap tidak menyukainya.
Sejak tadi Riana pergi entah ke mana bersama Dillon dan seorang lelaki. Walau kesal harus ditinggal berdua dengan Derry, Alina tetap terlihat menikmati makanannya.
"Pergilah dari rumahku! Kau perempuan aneh." Derry memulai pertengkaran setelah lelah adu pandang dengan Alina. Ia masih menikmati steiknya walau harus bersusah payah memotong daging. Salahkan Alina yang membuat luka di bahunya.
Alina mengunyah santai steiknya karena Dillon telah memotongkannya tadi. Setelah satu gigitan, ia meraih note dan menuliskan sesuatu di kertas, kemudian merobeknya dan memberikan kepada Derry di seberang meja.
Derry mengernyit bingung. Apakah anak ini bisu? Kemudian ia mengambil kertas dan membaca tulisan di sana. Rasa simpatiknya karena Alina bisu menguap begitu saja setelah apa yang ditulis gadis kecil itu.
Apa kau takut aku akan membuatmu menangis lagi?
Derry berdiri dan mengambil gelas di kanannya, kemudian dengan badan sedikit condong ke depan, ia menuangkan air ke piring Alina yang masih berisi beberapa potong daging. "Coba saja bertahan di sini kalau kau bisa," ujarnya sambil tersenyum senang.
Alina menggenggam garpunya erat dan hampir menusukkannya ke mata Derry jika saja tidak mendengar kegaduhan di depan. Sedetik kemudian, ia mendengar suara tembakan. Derry dan Alina saling pandang.
Alina mulai takut tapi tidak tahu harus berbuat apa. Derry yang juga ketakutan, segera menarik tangan Alina dan masuk ke kamar dekat ruang makan, lalu mengunci pintu. Ia kemudian membawa Alina bersembunyi di dekat nakas, di balik tempat tidur.
"Tenanglah. Aku akan melindungimu Lily," ujar Derry mantap saat menatap mata biru Alina yang penuh ketakutan.
Alina yang bingung dengan nama 'Lily' memilih diam saja, karena rasa takutnya lebih mendominasi.
Derry mencoba memberi ketenangan pada Alina dari tersenyum dan kehangatan tangannya. Berhasil. Alina merasa lebih tenang saat ibu jari Derry mengusap-usap punggung tangannya. Hanya sebentar, karena detik berikutnya, Alina melihat saputangan di dekat kaki Derry yang kemungkinan terjatuh dari nakas.
Saputangan dengan gambar triskele di sudut bawahnya.
"Triskele," lirih Alina.