3.

1858 Kata
*** [Tiga puluh menit sebelumnya. Kamar Mawar nomor 10]   "Nah, itu ayah kalian, kan?" tanya si dokter sambil menunjuk seorang pria yang terlelap. "Pergilah!" seru si dokter, lalu meninggalkan kakak beradik itu bersama ayah mereka yang belum sadarkan diri. Alina kembali mengeluarkan kertas dan menulis sesuatu di sana. Alcina mengangguk dan membiarkan sang kakak keluar. "Papa, Kakak akan mengelualkan kita. Cina tahu Papa pacti juga tidak cuka di cini, kan. Dillon juga akan membantu Kakak, dia kan cangat cepat kalau bawa mobil. Cina juga pengen jadi pembalap cepelti Dillon hihihi." Alcina berbisik tepat di telinga Arya. Alina sempat tersenyum melihat kelakuan adiknya. Ia membuka sedikit pintu ruang rawat Arya lalu mengawasi pergerakan di luar. Ada dua polisi yang berjaga. Kalau ia keluar sekarang, mereka akan menanyainya. Ia butuh pengalihan. "Sina, kemarilah," kata Alina. Alcina mendekat, kemudian Alina membisikkan sesuatu. Detik berikutnya sang adik mengangguk, lantas membuka pintu kamar rawat. Alina sembunyi di balik pintu yang sedikit terbuka itu, mendengar perbincangan sang adik dengan si polisi. "Kenapa, Nak?" tanya si polisi. "Loh, pak polici cuma cendili? Temannya mana?" tanya Alcina. "Oh, pak polisi yang satu lagi sedang membantu pasien lain. Ada kecelakaan, dan pasiennya banyak. Kalau mau sesuatu, bilang sama Bapak saja." "Oh, aku mau makan. Lapal sekali." Pak polisi sedikit ragu meninggalkan kamar rawat tanpa penjagaan. "Huwaa... Aku cangat lapal tapi pak polici tidak mau belikan makanan..." Alcina menangis sejadinya, meraung-raung. Pak polisi tak punya pilihan lain. "Baiklah, ayo." Ia kemudian menggandeng tangan Alcina dan berjalan di koridor. Alina memakai kesempatan itu untuk lari dari pengawasan. Ia mulai memeriksa setiap kamar dari ujung koridor, lalu membuka pintu, untuk melihat pemilik ruangan. Mulai dari ruang Mawar nomor 09 lalu ke sebelahnya lagi, dan lagi. Ruang Mawar nomor 08. . . Ruang Mawar nomor 07. . . Ruang Mawar nomor 05.   . Ruang Mawar nomor 1. Tidak ada mamanya di setiap kamar yang saling berhadapan itu. Ia bingung. Jika Papanya dirawat di sana, kenapa mamanya dipisah? Bukankah sama-sama terluka? Alina kemudian bersembunyi –di dekat seorang bapak-bapak badan besar yang tertidur dengan posisi duduk, di bangku tunggu depan kamar Mawar nomor 1–saat mendengar dua dokter mendekat. Ia sedikit mencuri dengar perbincangan keduanya. "Banyak siswa kelas XI yang tewas terbakar..." "Bawa mereka langsung ke kamar mayat...." Saat itulah Alina mengerti bahwa ia harus ke ruang mayat. Karena tidak tahu letaknya, ia memutuskan mengikuti dokter yang tadi diberi perintah. Sementara itu, polisi yang membawa Alcina berpapasan dengan seorang dokter dan memintanya membawa Alcina makan, sedangkan dirinya sendiri kembali ke depan kamar rawat. Alcina mengamati sekitarnya, ia didudukkan di kursi kafetaria rumah sakit, dan diajak berbincang banyak hal tentang makanan dan permen. Beberapa saat kemudian si dokter mendapat panggilan yang memintanya segera ke ruangan karena banyak pasien berdatangan dari daerah Paiton. Banyak siswa terbakar dalam mobil. "Om dokter mau kembali sebentar, kamu di sini saja ya sampai Om kembali?" Alcina mengangguk patuh dan tersenyum lebar. Ia pun ditinggalkan di sana sendirian. Setelah beberapa menit, ia memutuskan kembali ke kamar rawat ayahnya. Gadis kecil itu sudah menghapal rutenya dengan mudah. ***   Alina tiba di dekat kamar yang terpampang tulisan 'ruang jenazah' di atasnya setelah mengikuti dua dokter. Ia masih memerhatikan dokter dari jarak yang cukup jauh. Ketika ada beberapa suster yang membawa mayat di atas brankar dorong, Alina kecil mengikuti mereka dan sebisanya tidak terlihat. Bersyukurlah pada tubuh mungilnya dan kesibukan para suster itu, karena Alina berhasil masuk kamar mayat sekarang. Alina bersembunyi di balik pintu. Setelah dokter pergi dan menutup pintu dari luar, ia mulai bernapas normal. Gadis kecil itu merasa lega karena telah mempelajari semua trik bersembunyi dari mamanya. Walau tidak mengerti mengapa harus mempelajari itu, tapi sekarang ia senang karena pelajarannya selama ini bisa berguna. Yah... Nia mengajarkan segalanya pada Alina. Alina berjalan ke deretan mayat di atas brankar. Membuka kain penutupnya, berjinjit, lalu memeriksa apakah itu mamanya atau bukan. Kemudian bergerak ke kaki mayat. Ada keterangan berupa nama, di kertas kecil yang terikat di jempol kaki. Ia mencari yang tidak ada namanya. Beberapa mayat tanpa nama yang ia periksa ternyata bukan mamanya. Ia memang tidak mengenali mamanya jika wajahnya gosong seperti beberapa mayat barusan, tapi ia tahu mamanya tidak gosong seperti itu. Setelah beberapa mayat gosong tanpa nama, akhirnya Alina berhasil menemukan mamanya. Ia menghitung deretan dan barisan ke berapa posisi mamanya, lalu mencatatnya di kertas, yang tadi ia bawa dari kamar Arya. Kemudian ia sembunyi saat beberapa orang yang menangis histeris datang. Seorang dokter mengatakan, "Coba periksa apakah salah satu jenazah di sini adalah keluarga ibu." Alina memanfaatkan kesibukan itu untuk mengendap keluar dengan mudahnya. Ia sengaja mengikuti seorang pria yang barusan keluar kamar mayat, sehingga beberapa orang yang melihatnya akan mengira Alina adalah sanak saudara dari salah satu korban yang ikut dibawa ke sini. Alina segera berlari ke pintu depan rumah sakit, memilih berdiri dekat pojokan yang tidak terkena penerangan, dan menunggu. Ia mengambil dua kertas berisi nomor kamar papa dan mamanya dari balik gaun, kemudian menggenggamnya. Beberapa menit berlalu.... Alina berhambur ke pelukan seorang pria–yang celingak-celinguk memerhatikan keramaian–lalu menangis. "Nona Alin." Pria itu mengelus-elus kepala Alina. "Dillon sudah di sini. Terima kasih karena selalu mengingat nomor saya itu. Di mana mereka?" tanya Dillon sambil menghapus air mata di pipi Alina. Alina tidak sanggup bersuara, ia hanya menyerahkan dua lembar kertas untuk Dillon, kemudian pria badan kekar itu memberikan kedua kertasnya kepada tiga orang di belakangnya. "Pakai seragam dokter lalu ambil mayat yang letaknya sesuai kertas ini. Kau juga pakai seragam dokter dan stetoskop, lalu bawa tuan keluar dengan kursi roda. Sementara kau, ambil rekaman CCTV yang menampilkan wajah kedua nona. Jangan kembali sebelum membersihkan semuanya. Sekalipun mati, ingatlah pada semua kebaikan Tuan." Titah Dillon dibalas anggukan kepala oleh ketiga anak buahnya. "Aku akan membawa dua Nona."   *** [Dua Minggu kemudian. Jakarta, pagi hari.]   "Cina mau ke lumah yang lama. Cina nggak cuka di cini. Pokoknya Cina mau Mama dan lumah lama atau Cina belhenti makan. Cepat bilang cepelti itu sama Papa!" Alcina melempar piringnya lagi, yang entah ke berapa dalam sehari ini. Alina hanya mengawasi dari balik lubang kecil tempatnya berdiri sembari tersenyum kecil. Alcina duduk di ranjang dengan kaki yang mengentak. Dua pelayan membersihkan lantai kotor bekas amukan Alcina, dan segera membawanya keluar. Gadis kecil itu kemudian bergerak turun dari ranjang dan mengunci pintu. Setelah merasa aman, ia mendekati lemari buku dan mengetuk bagian rak. "Kakak cudah bica kelual. Meleka cudah pelgi," katanya. Alina keluar dari balik rak buku yang ia dorong. Rak buku itu adalah pintu menuju dunia Alina. Ia sendiri tidak mengerti mengapa sekarang harus hidup di ruangan yang tertutup, walau sangat dekat dengan kamar adiknya. Memang, tersedia fasilitas lengkap di kamar itu. Mulai dari tempat tidur, sofa, kamar mandi dan televisi. Dillon juga selalu membawakan makanan tepat waktu, tapi ini tidak seperti rumah mereka yang di Surabaya. Kalau di sana, Alina bebas berkeliaran di dalam rumah, hanya tidak boleh keluar saja. "Kakak jangan khawatil, Cina akan teluc cepelti itu campai mama datang dan bawa kita ke lumah lama. Papa juga celalu cibuk cejak di cini. Cina tidak cuka Papa yang cibuk." Alcina terus bicara sambil memainkan game PSP-nya, sementara Alina menyalakan TV dan duduk manis di depan sofa. Acara TV menayangkan tragedi Paiton beberapa hari lalu dan Alina muak melihat berita itu. Hari yang menyebalkan. Mood Alina selalu buruk setiap kali mengingat kecelakaan itu. Apalagi kejadian setelah Dillon berhasil membawa mereka kembali ke rumah. Arya sadar saat malam, dan besoknya mereka mengadakan pemakaman untuk Nia. Keluarga besar datang dan Alina kembali disembunyikan. Arya meminta Dillon untuk melaporkan kejadian tersebut sebagai pencurian dan meminta kasusnya segera ditutup. Alina tahu, itu dilakukan Arya agar keberadaan putri kembarnya tetap rahasia. Jika kasusnya dilanjutkan, maka pernyataan beberapa orang yang melihat putri kembar akan muncul di berita, keluarga besar akan tahu, dan Arya tidak ingin ayahnya mengetahui itu. Alina menyadari semuanya saat mendengar sendiri perbincangan Dillon dan Arya di ruang tamu malam itu. Ia kesal, tapi leebih kesal lagi ketika tragedi Paiton berhasil menutupi kecelakaan kecil mereka. Alina tahu Nia akan mati sia-sia. Sudah jelas itu kasus pembunuhan terencana, tapi tidak akan ada yang mendengar gadis kecil sepertinya. Alina hanya mampu memendam semuanya selagi mengumpulkan banyak bukti. Ketika saatnya tiba, ia sendiri yang akan membuat perhitungan dengan pembunuh mamanya. Persetan dengan polisi dan hukum yang berlaku! Hukum itu bisa dibeli! Pencarian Alina dimulai malam itu. Ia memanfaatkan Dillon untuk mengantarnya ke lokasi kejadian dengan ancaman akan meloncat dari lantai dua rumah mereka. Dillon sangat mengenal Alina, karenanya ia tahu gadis kecil itu tidak seperti anak seusianya. Selain sikap keras kepalanya, ada sesuatu pula dalam diri Alina yang membuat perintahnya sulit dibantah. Jadi, dengan sedikit merahasiakan dari Arya, Dillon membawa Alina ke lokasi kecelakaan. Mereka tidak menemukan apa pun karena polisi telah mengevakuasi semuanya, tapi Alina tidak menyerah. Ia terus mencari sepanjang malam dan mengabaikan Dillon yang selalu berteriak 'ayo pulang'. Usaha Alina tidak sia-sia, karena Dillon menyerah. Ia mengeluarkan ponselnya dan menunjukkan gambar triskele pada Alina. "Polisi menemukan saputangan, dengan gambar kecil ini di sudutnya." Dillon menunjukkan gambar tiga bulatan meliuk seperti angin di ponselnya. "Mereka menemukannya di dalam truk tanpa sopir, malam itu. Mereka sempat menyelidiki, tapi seakan terlupakan karena ada tragedi Paiton yang lebih menyita perhatian. Kau juga pasti tahu apa yang papamu lakukan untuk membuat kepolisian tak melanjutkan kasus, kan? Aku hanya akan memberikan petunjuk ini. Jadi, hentikan semua di sini ... dan ayo pulang." Alina mengangguk dan mengunci kata "triskele" dalam ingatannya sebagai tujuan hidupnya. Seperti yang diajarkan Nia, harus fokus pada satu tujuan. Sialnya, belum sempat Alina menggali informasi tentang triskele, Arya tiba-tiba saja mengajak pindah rumah dengan alasan klise 'terlalu banyak kenangan di rumah ini, dan itu membuatku sesak'. Ia mengatakan itu pada Dillon dan Alina mencuri dengar lagi. Mereka berakhir di sini. Di suatu rumah mewah bagai istana, dengan dua lantai dalam satu atap. Alina sudah memeriksa setiap sudut rumah secara sembunyi-sembunyi saat malam tak ada penjaga atau pelayan. Meskipun terkurung, ia tahu siapa yang ada di rumah dan di mana mereka berada pada waktu tertentu. "Kak? Kenapa diam caja? Cina tanya, Kakak mau makan apa?" Alina mengenyahkan pikiran dan baru menyadari Alcina telah duduk manis di sebelahnya. Ia mengeluarkan note dari kantong kemeja dan mengambil pulpen di atas meja. Menuliskan kalimat pada kertas itu. Tidak ada. Kakak cuma ingin menonton. Sina lanjutkan saja bermainnya. Alcina megangguk. Ia menghempaskan tubuh ke kasur, dengan posisi telungkup, dan kembali memainkan PSP. Alina tidak pernah mengeluarkan suaranya lagi sejak kejadian hari itu, sebaliknya, ia selalu membawa catatan dan pulpen sebagai bentuk komunikasi. Pernah suatu kali didatangkan seorang psikolog. Diagnosanya adalah Alina trauma hebat, dan jangan memaksanya bicara atau akan berakibat lebih buruk lagi. Sayangnya psikolog itu tidak tahu kalau 'akibat yang lebih buruk lagi' itu disebabkan karena Alina selalu terkurung seperti sekarang. Tentu saja psikolog itu tidak tahu, karena pada kunjungannya yang berikutnya, Arya malah mengajak wanita itu menemui Alcina. Arya bahkan memintanya tak usah datang lagi karena anaknya sudah sembuh.   *** [Seminggu kemudian. Pagi hari, sekitar pukul 10.00 WIB]   Alina yang bosan, memutuskan keluar dari kamarnya dengan mendorong rak buku. Ia mengambil PSP milik Alcina yang tergeletak di ranjang dan mencoba permainan yang sering dimainkan adiknya. Sampai ia mendengar suara pintu terbuka. Gawat. Dia lupa memeriksa keadaan.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN