5.

2427 Kata
"Triskele," lirih Alina. Derry yang sebelumnya mengawasi pintu, seketika menoleh ketika mendengar suara Alina. "Kau bisa bicara?" tanyanya dengan berbisik. Alina kemudian memelototi Derry bahkan menarik kerah kemeja anak lelaki itu. Dengan penuh amarah, ia bertanya, "Apa saputangan ini milikmu?" Derry menghela napas. Ia tahu arti tatapan Alina yang penuh kebencian, karena ia juga seperti itu. Mata yang haus akan pembalasan dendam. "Bukan. Ada pria gila yang membunuh keluargaku, dia pemiliknya." Derry lantas menyeringai, kemudian memegang pergelangan Alina yang masih mencengkeram kerah kemejanya. "Siapa-mu yang meninggal?" Mata Alina berkedip-kedip, sedikit berair. Cengkeramannya mengendur. "Mom," lirihn Tok tok tok. "Derry... Alina... Ini Ibu, Sayang. Bukalah." Suara Riana menyadarkan keduanya. Mereka kemudian saling menjauh. Derry lebih dulu berdiri dan membuka pintu. Riana berlari masuk dan memeluk Alina erat. "Syukurlah kau baik-baik saja." "Ada apa tadi, Bu?" tanya Derry Riana melepaskan pelukannya pada Alina, lantas menatap Derry. "Ada beberapa mafia yang mencoba menjarah. Untungnya Dillon berhasil menembak mereka," katanya, sembari membawa Alina duduk di sofa depan ranjang. "Mafia? Apa itu?" tanya Alina. Riana terbelalak. “Kau bisa bicara?” Alina berdecak sebal, malas menjawab. Derry yang menyaksikan itu hanya tersenyum simpul. “Bu, bisakah tinggalkan kami berdua dulu? Dillon pasti menunggu Ibu di luar.” Riana mengangguk. “Tolong jaga Alina sebentar, ya, Derry.” Derry mengangguk, kemudian duduk di sebelah Alina. Setelah menghela napas sejenak, ia berujar, “Mafia itu seperti perkumpulan rahasia yang bergerak di bidang kriminal. Bahasa sederhananya, mereka melakukan apa saja yang bisa membuat polisi marah. Seperti mencuri, mengedarkan n*****a, membunuh, mereka juga suka menculik dan menjual anak-anak. Yah apa pun demi uang." Ia lantas mengambil sapu tangan triskele yang masih dipegang Alina, membuat gadis kecil itu menoleh kepadanya. “Pemilik sapu tangan ini adalah seorang mafia. Mafia terbesar yang pernah ada, dan hanya sedikit kalangan yang tahu. Kau tahu, tidak ada yang berani berurusan dengan mereka. Polisi pun seolah tutup mata." “Dari mana kau tahu?” Derry tersenyum kecil, kemudian membaringkan badan di kasur. “Ibu pernah menceritakannya kepadaku. Maksudku ibu yang tadi, bukan ibu kandungku. Ibu mengenal seseorang yang mengaku sebagai anggota Mafia Triskele.” Alina mengambil posisi telungkup dengan bertpang dagu pada lipatan tangannya. “Apa kita memiliki pemikiran yang sama?” “Kau mau mencari mereka?” Alina mengangguk.   *** [Seminggu kemudian]   Derry dan Alina sudah mengumpulkan banyak informasi tentang mafia pemilik gambar triskele, tapi tidak banyak informasi yang bisa didapat. Beberapa bahkan terkesan dilebih-lebihkan. Alina semakin frustasi apalagi mengingat setelah hari ini, ia akan kembali terkurung. Gadis kecil itu tidak bisa mendapat rekan secerdas Derry, yang memiliki nasib dan tujuan yang sama sepertinya. "Arghh. Sial. Aku menyerah." Derry melemparkan beberapa lembar kertas tentang mafia ke lantai. "You're grumpy and impatient. Suatu hari aku bisa mati karena amarah tak terkendalimu itu." Alina kembali membereskan kertas-kertas yang berserakan ke meja. "Yah, jika hari itu tiba, dengan senang hati aku akan meminta adikmu untuk membunuhku," balas Derry tidak mau kalah. "Hahaha... Sina sangat penakut dan cengeng. Berdiri dengan kakinya saja ia tidak mampu, bagaimana dia bisa membunuhmu?"   *** [Kediaman Arya]   "Auh..  Maafkan aku, Sina." Seorang anak lelaki dengan iris hitam pekat, memegang kakinya tepatnya di tulang kering, berhadapan dengan Alcina yang menatap dingin. Alcina tidak bicara, hanya membalik badan dan pergi meninggalkannya yang meringis kesakitan. "Maafkan Sina ya, Okta." Arya menghela napas. "Tidak apa, Om Arya. Okta mengerti mengapa Sina jadi begitu." Mereka menatap Alcina yang berjalan lemah di rerumputan hijau halaman depan rumah. Pikiran Okta kembali ke seminggu yang lalu, ketika ia datang ke kediaman Arya, ketika Alina sedang berada di kediaman Riana. Hari itu adalah saat pertama dan terakhir kalinya Okta melihat Alcina yang ceria. Ia berharap tidak pernah bertemu Alcina jika akan berakhir seperti ini.   *** [Seminggu sebelumnya]   "Papa... Cina tidak melihat kakak di mana pun. Kakak ke mana, Pa?" Alcina bertanya dan menoleh ke Arya yang sedang membaca koran di kamarnya. Pelayan yang memakai seragam berbeda dari pelayan lain, sedang merapikan rambut Alcina, tapi harus bersabar karena gadis kecil itu tidak bisa duduk tenang. "Kakak sedang jalan-jalan sama Dillon. Diamlah, kasian Mbak Riri karena harus menyisir ulang rambut Sina." Arya masih fokus pada bacaannya. "Kenapa hali ini pakai pakaian baguc, Pa? Ada yang mau datang ke lumah ya, Pa? Kakek atau Paman, Pa?" tanya Alcina sambil membalik badan menghadap Arya. "Kawan Papa. Nanti Sina harus sopan seperti yang Mbak Riri ajarkan selama ini ya, Sayang?" "Iya, Pa," ujar Alcina dan mulai duduk tenang. Beberapa jam kemudian... "Dia pendek." Itu ucapan pertama Alcina saat Arya mengenalkan Okta yang berusia 10 tahun, dengan tinggi badan tidak lebih dari bahu Alcina. "Hahahaha... putrimu lucu sekali, Ar. Andai aku punya anak perempuan," ujar seorang wanita bersanggul. Ia kemudian berlutut di hadapan Alcina. "Okta terlambat tumbuh, Sayang. Kalau usianya bertambah, nanti dia akan lebih tinggi darimu." Seorang pria yang berdiri di sebelah Okta juga berjongkok di depan Alcina dan mengelus pipi tembemnya, "Siapa namamu, anak manis?" tanyanya ramah. "Alcina Calicta Om. Cina anak baik, bukan anak manic. Kalau manic itu ec klim atau gula." Alcina memajukan bibirnya. Semua yang mendengar dan melihat ekspresi Alcina, ikut tertawa, tidak terkecuali Okta. "Ya tuhan, dia sangat menggemaskan. Aku ingin membawanya pulang," puji wanita itu. "Sina, ajak Okta melihat taman, ya? Papa mau bicara sama om Surya dan tante Linda dulu." "Iya, Pa." Alcina kemudian mencium tangan Linda "Cenang beltemu Tante," ujarnya, lalu mencium tangan Surya "Cenang beltemu Om," tambahnya lalu beralih ke Okta. Ia mengulurkan tangan. Okta tersenyum dan hendak membalas uluran tangan itu, tapi Alcina malah menarik kembali tangannya. "Cenang beltemu denganmu, Pendek," ujarnya, diakhiri dengan menjulurkan lidah dan berlari keluar rumah. Okta tersenyum. Ia tidak kesal atau marah sedikit pun. Entahlah, menurutnya Alcina sangat manis dan menggemaskan. Ia kemudian menatap tiga orang dewasa di sebelahnya, yang tertawa geli melihat kelakuan Alcina. "Aku rasa mereka cocok. Aku ingin Sina jadi menantuku suatu hari nanti," ujar Linda di tengah tawanya. "Bagaimana menurutmu, Okta? Kau menyukai Sina?" tanya Surya pula pada Okta. "Ayah bicara apa, sih?" Okta mencoba menutupi wajahnya dengan tangan kiri. "Hahaha.... dia malu-malu. Jangan menggoda putramu, Surya. Pergilah bermain, Okta." Arya menyentuh pelan tengkuk Okta, isyarat agar dia menyusul Alcina.   ***   "Kenapa lama cekali? Kemalilah, Pendek!" Alcina sedang duduk di rumput hijau dengan tangan yang sibuk menyambungkan rumput dan bunga. "Apa yang kau lakukan, Celat?" tanya Okta, lalu bergabung dengan Alcina. "Cina mau buat mahkota untuk Kakak. Mau membantu Cina?" Alcina menatap Okta penuh harap, sementara Okta bingung siapa 'kakak' yang dimaksud Alcina. "Baiklah. Aku akan membuat mahkotanya." beberapa menit kemudian.... "Selesai...." "Celecai...." Ucap mereka serempak, lalu tertawa. "Ah, ada satu mawar di sini. Sina, mendekatlah!" Alcina yang tidak mengerti, hanya menurut saja. Ia mendekat ke Okta saat anak lelaki itu tengah sibuk mengambil mawar. Tepat ketika Okta berbalik, matanya bertemu pandang dengan  iris biru Alcina, dalam jarak yang sangat dekat. Hidung mereka nyaris bersentuhan. "Ck. Kau ini. Selalu berhasil membuatku terkejut," ujar Okta. Alcina terlihat bingung. "Tidak apa-apa. Duduklah, jangan jongkok, seperti mau buang air saja." Alcina menurut dan duduk dengan kedua kaki tertekuk ke belakang, tepat di depan Okta. Mirip anak anjing yang mengibaskan ekornya dengan manja. "Hahaha... kau manis sekali, Sina." Okta mengusap kepala Alcina, lalu meletakkan mawar di kupingnya, "dan sangat cantik." Okta berbisik, nyaris tidak terdengar. "Waaahh, benal Cina cantik?" tanya Alcina, tangannya menyentuh kedua tangan Okta. Okta hanya mengangguk sambil tersenyum. "Biacanya mama celalu memuji kakak yang cantik. Balu ini ada yang bilang Cina cantik. Kalau papa dan Dillon celalu bilang Cina manic atau lucu." "Tapi kau memang cantik, terutama ... matamu." "Cina cuka Pendek. Pendek, mau jadi pacal Cina kalau cudah becal?" Okta tertawa mendengar celotehan Alcina. "Memangnya kau mengerti arti 'pacar', Sina?" "Tahulah. Yang celalu belcama Cina, kan? Yang hanya memuji Cina, yang makan ec klim cama Cina, pokoknya apa pun dilakukan belcama Cina., dan Cina sudah milih Okta jadi pacal Cina." Okta tersenyum lagi, tapi kali ini lebih mirip tawa yang tertahan. "Baiklah, tapi berjanjilah tidak ada rahasia di antara kita, dan...." "Dan apa?" "Panggil lagi namaku. Panggil sampai 10 kali maka aku akan jadi pacarmu." "Pendek menyebalkan! Cina mau ke lumah caja." Alcina bangkit membawa mahkotanya dan meninggalkan Okta. "Hei Celat, tunggu." Okta berlari menyusul. Ia heran kenapa Alcina hanya berdiri di ambang pintu. "Ada apa, Sina?" "Aku turut sedih atas kematian Nia. Sebaiknya kau menikah lagi. Kau tidak ingin Sina kekurangan kasih sayang seorang ibu, kan?" Okta mendengar suara Surya. Dengan sigap ia menutup telinga Alcina walau harus susah payah berjinjit saat melakukannya. Alcina menjatuhkan mahkotanya. Kemudian perhatian ketiga orang dewasa itu beralih kepadanya. "Cina nggak mau mama balu. Cina mau mama Nia!" Alcina berbalik dan pergi. *** Beberapa jam setelah kepergian Alcina dan Okta.... "Ini sudah malam. Aku harus menelepon polisi." Arya berjalan gelisah di dekat pagar rumahnya. "Aku juga mengkhawatirkan Okta, Sayang. Dia ingin mencari Sina tapi malah ikutan hilang." Linda memeluk Surya dan mulai menangis. "Belum 24 jam." ***   "Sebaiknya kita pulang, Sina. Ini sudah terlalu jauh dari rumah." Okta masih mengikuti Alcina yang terus bungkam sambil berjalan tanpa arah. Memang salahnya, karena ia sendiri yang menarik Alcina pergi tadi siang. Ia tidak tega melihat raut sedih dan bingung gadis kecil itu. "Hei Celat. Aku akan kembali. Kau pergi sajalah sendiri." Okta mencoba menggertak Alcina, tapi gagal. Alcina masih terus berjalan. "Aku benar-benar akan pergi. Jalanan di sana akan semakin gelap. Kata Ayah, di sana banyak hantunya." Okta kembali menggertak, tapi hasil tetap sama. Ia tidak bisa diam lagi. Ia berlari kecil menyusul Alcina lalu menarik tangannya. Alcina menghempas tangan Okta dan mendorongnya. Gadis kecl itu melanjutkan jalannya ke hutan gelap. Tanpa arah, tanpa tujuan, tanpa suara, tanpa tangisan. Sampai langkahnya terhenti karena seorang pria badan besar menghalangi jalannya. Alcina memerhatikan tangan pria badan besar itu, ada tato triskele terpampang manis di pergelangan kanannya kala pria itu mencoba menyentuh Alcina. Okta segera menepis tangan pria itu dan menggenggam erat tangan Alcina di belakang punggungnya. Si pria melayangkan tinju ke Okta hingga membuat anak lelaki itu tersungkur. Tidak sampai di situ, ia juga menendang berulang kali hingga tubuh kecil Okta tidak bergerak dan Alcina mulai terisak. "Belhenti... Huwaa ... Papa.... Hiks...." Si pria besar berhenti, menatap Alcina yang menangis, kemudian mengangkat Okta ke bahunya. Alcina mengikuti si pria ke dalam hutan, masih sambil menangis memanggil 'papa' berulang kali. Setelah beberapa saat berjalan, mereka tiba di sebuah rumah yang tidak terlalu besar. Mereka masuk dan mendapati tiga anak lelaki yang menutupi muka di atas tangan yang terlipat, duduk berjejer dengan kaki menekuk, sambil bersandar ke dinding belakang. "Kenapa kau mengikutiku? Pulanglah! Aku hanya butuh anak lelaki," ujar pria itu dan Alcina semakin terisak. "Aku mau Okta!" Walau dengan air mata yang mengalir di pipi, Alcina masih mampu menatap si pria. "Kau sangat mengganggu. Baiklah jika itu maumu. Bergabung bersama yang lain.” Si pria meletakkan Okta di lantai dingin. "Obati Okta-mu ini. Ambil obat di lemari sana." Tunjuknya ke lemari kecil di pojok ruangan. Tiga anak yang semula menekuk wajah, spontan menatap Alcina dengan pandangan heran. Sementara pria itu mengunci pintu, lalu masuk ke kamar lain yang sedikit jauh ke belakang, meninggalkan anak-anak di ruang tamu. "Kau kenapa tidak pergi saja?" anak beriris cokelat dengan wajah lebam mengeluarkan suara, kemudian mendekat ke Alcina yang membuka lemari. "Aku tidak mau meninggalkan Okta." "Biar aku bantu." Anak yang diperkirakan berusia sebelas tahun itu mengambil obat di rak atas saat melihat Alcina kesulitan meraihnya, "Siapa namamu?" tanyanya kemudian. Alcina melirik ke belakang, dan mendapati anak berwajah murung dengan luka gores di pelipis mengambil baskom dan air dari kamar mandi dekat kamar pria itu. "Aku tidak boleh membelitahu namaku sama olang acing," jawab Alcina polos. "Hahaha... kau celat dan sangat polos. Baiklah coba kulihat wajahmu. Hemm..." anak sebelas tahun itu mengamati wajah Alcina, lalu melirik mawar di kupingnya, "Rose. Aku akan memanggilmu Rose. Aku..." si anak mendekat ke telinga Alcina kemudian membisikkan namanya, "Kira." Ia memberikan obat merah untuk Alcina dan kembali duduk di tempatnya semula. Alcina tersenyum ke Kira, kemudian beralih ke Okta yang meringis kesakitan, sudah dalam posisi duduk bersandar ke dinding dekat Kira. "Kalau dua lainnya ciapa?" tanya Alcina sambil berbisik pula, saat berada di depan Okta dan Kira. Kira membantu merapikan baju Okta. "Si bisu di sana bernama Gryffith dan yang membawa air ini bernama Acwel." Acwel datang dengan air dalam baskom dan handuk kecil yang tersampir di bahu kanannya. Ia mengambil tempat di kanan Alcina. "Kalian belcaudala?" tanya Alcina sambil menuang obat merah dalam botol kecil ke kapas, tapi Kira menghentikannya. "Basuh dahulu lukanya dengan air agar bersih, setelah itu baru pakai obat merah." Kira menjelaskan dan meminta Acwel membasuh luka di tangan Okta. "Kami bukan bersaudara, tapi kami sudah bersama selama seminggu. Aku orang pertama yang dia culik, kemudian Acwel dan terakhir Gryffith. Seluruh keluarga kami meninggal dalam kebakaran. Aku rasa keluarga kami punya masalah dengan mereka." Kira bersedekap sambil memandang Acwel yang membersihkan wajah dan tangan Okta. Ia beralih ke Alcina yang telah duduk manis di sebelah Okta. "Aku tidak mengelti yang Kila bilang. Apa itu altinya Kila, Acwel dan Gliffyth tidak punya Mama juga cepelti aku?" Alcina sepenuhnya menatap Kira dengan tatapan sendu. "Ya begitulah. Kau, kan punya Okta bersamamu, tapi kami.... Kami tidak punya siapa pun. Entah bagaimana nasib kami selanjutnya. Besok pun kami mungkin dijualnya ke luar negeri." Kira melihat lantai di bawahnya. Alcina tiba-tiba saja bergerak ke dekat Kira kemudian memeluknya. "Mama celalu mengajali kami untuk memeluk dan menepuk punggung kalau ada yang lagi cedih," ujar Alcina sambil menepuk punggung Kira. "Kila jangan cedih, Kila bica ikut aku dan Okta. Aku cuka belbagi kamal cama Kila, aku juga akan belbagi ec klim dan kita bica buat mahkota bunga cama-cama." Gryffith yang sedari tadi berwajah datar, akhirnya tersenyum manis melihat Alcina yang menenangkan Kira. Sayangnya tidak ada yang menyadari itu. Kira menarik diri dari pelukan Alcina. "Ah, kau lucu sekali. Berapa umurmu?" tanya Kira sambil mengusap kepala Alcina, seperti mengelus seekor kucing. "Aku lima tahun, kalian?" "Hahaha... kau masih sangat kecil, tapi sudah bersikap bijak. Aku 12 tahun, Acwel 8 tahun dan Gryffith 6 tahun. Kami sempat kenalan kemarin," ujar Kira lalu mendekat lagi ke Alcina, "Kecuali Gryffith, dia mengenalkan diri dengan bahasa isyarat, yang sebenarnya tidak terlalu kumengerti," bisik Kira. Alcina sedikit terkikik karena napas Kira menggelitik telinganya. "Kenapa dia tidak mau bicala? Apa dia melindukan mamanya juga?" Alcina kembali ke tempatnya dan mulai mengoleskan kapas ke luka di sudut bibir Okta. "Perih," ujar Okta, dan Alcina mengobatinya dengan lebih lembut, tetap saja belepotan sampai ke pipi dan mulut bagian dalam Okta. "Tidak tahu. Kurasa dia memang bisu. Hanya dia yang tidak bicara maupun menangis sejak awal." Kira menjelaskan dengan mengangkat bahu. "Apa kalian punya rencana?" Okta mulai membuka suara saat lukanya selesai diobati oleh Alcina.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN