Maaf

1097 Kata
“Boleh gue duduk?” Shelina memberanikan diri untuk berbicara dengan Sandara. “Duduklah!” Sandara kembali duduk di kursinya. Di ikuti Shelina , ia duduk di kursi yang ada di depan meja Sandara. “Bicaralah” Shelina masih menunduk. Tangannya meremas satu sama lain. “Dar. Loe marah sama gue?” Shelina mencoba mengangkat wajahnya menatap Sandara. “ Tidak. Gue nggak punya hak untuk itu.” Jawab Sandara ketus. Tangannya mulai meraih mouse, dan mengalihkan tatapannya ke pada komputer yang sedang menyala. Jari-jarinya mulai bergerak di atas keyboard komputer tersebut. Sandara sama sekali tidak menghiraukan kehadiran Shelina. “Dar. Jangan seperti ini." Mata Shelina mulai berkaca-kaca. Sandara begitu sangat berarti baginya. Sandara yang selalu melindungi Shelina dari mereka Kecil. Sejak kecil Shelina takut akan keramaian. Dia tidak akan pernah berani menghadapi orang lain. Saat masuk bangku sekolah dasar, Shelina bertemu dengan Sandara. Sandara perlahan mengajarkan Shelina untuk berani. Seiring dengan berjalannya waktu, Shelina mulai berani menghadapi keramaian. Tingkat kepercayaan diri Shelina mulai tumbuh. Walaupun masih harus ada Sandara di samping Shelina. Untuk pacaran pun Shelina pasti akan mengajak Sandara. Hari ini. Sandara terlihat begitu sangat marah terhadapnya. Shelina merasa sangat terpukul dengan keadaan ini. Untuk pertama kalinya Sandara membentak dirinya. Dan lihatlah, sekarang Sandara enggan menatap ke arahnya. “Mmmhhh Dar. Gue sadar, gue tidak seharusnya melangkah sejauh ini. Gue tau loe seperti ini karena loe khawatir sama gue. Tapi apakah salah gue mencoba. Apakah salah gue ingin mencari pengganti yang telah lama hilang dari hidup gue. Gue menemukan cinta pada diri Yudi Dar. Gue ingin bahagia. Gue nggak mau bergantung terus sama loe. Gue juga ingin loe bahagia, bukannya loe juga mencintai mas Rendi. Sudah waktunya loe menggapai bahagia loe juga.” Hiks hiks hiks Tangis Shelina pecah. Sandara menghentikan pekerjaannya. Sandara mulai menatap Shelina tanpa. “Baiklah. Tapi loe harus janji loe harus bahagia. Kalau dia berani menyakiti loe, loe harus segera memberitahu gue.” Sandara berdiri,dan memeluk Shelina. “Terimakasih Dar.” Shelina terisak di dalam pelukan Sandara. Rendi yang berada di balik pintu ruangan Sandara tersenyum. Ia bahagia akhirnya Sandara mengalah dengan egonya sendiri, demi kebahagiaan Shelina. Saat jam pulang kantor, Shelina menepati janjinya untuk pulang bersama Yudi. Disinilah Shelina sekarang, di lobby gedung perusahaan. Ia berdiri bersama Sandara, menunggu pasangan masing-masing. Yang sedang mengambilnya mobil di parkiran. Lima menit kemudian, mobil Rendi dan Yudi datang beriringan. “Shel. Loe pulang jangan terlalu kemalaman ya.” Sandara memeluk Shelina sebentar. Yudi, dan Rendi keluar dari mobil untuk menghampiri mereka berdua. “Kita nggak akan lama kok San. Saya Cuma mengajak Shelina mampir untuk bertemu dengan Bunda.” Yudi meyakinkan Sandara. “Ayo Shel.” Yudi menggenggam tangan Shelina, dan membimbing gadis itu kemobilnya. “Oh ya San. Loe lebih baik jalan-jalan dulu bersama Rendi. Nanti kita ketemuan dimana gitu. Jadi loe nggak bosan sendirian di kosan.” “Ide bagus bro.” Rendi mengacaukan jempol ke arah Yudi. “Gue jalan duluan ya Dar. Daaadaa”. Shelina melambaikan tangannya ke arah Sandara. Sandara hanya tersenyum untuk membalas lambaian tangan Shelina. “Jadi, kita mau jalan kemana sayang.” Rendi membuka pintu mobilnya. “Kita langsung ke kosan saja. Gue capek!” Jawab Sandara ketus. Ia masuk kedalam mobil, dan menutup pintu dengan kasar. Rendi berdiri mematung. Terkejut karena sikap Sandara. Melihat Rendi yang masih berdiri tanpa pergerakan, Sandara membuka kaca mobil milik Rendi. “Loe jadi mengantar gue pulang nggak sih! Kalau nggak, gue mau pesan taksi.” Suara Sandara memudarkan lamunan Rendi. “Maaf gue melamun.” Rendi sedikit berlari ke arah pintu mobilnya. Sesampai di dalam mobil Rendi segera menyalakan mobil, dan perlahan mobil itu keluar meninggalkan gedung perusahaan. Di dalam mobil tidak ada yang bersuara. Sandara sibuk dengan ponselnya, Sedangkan Rendi fokus kedepan memperhatikan jalan. Sesekali Rendi melirik ke arah Sandara. “San. Apakah menurut mu hari ini sangat buruk?” Rendi mencoba mengajak Sandara berbicara. Ia berharap Sandara mau terbuka padanya. “Tidak. Hari ini sama seperti hari kemarin.” Tatapan Sandara tetap terfokus pada ponsel yang ia pegang. Rendi menepikan mobilnya di tepi jalan. Tepat dibawah pohon yang lumayan besar. “Orangnya disini, bukan di dalam sini.” Rendi mengambil ponsel Sandara, dan melemparnya ke kursi belakang. “Mas kamu apa-apaan sih?” Sandara menggeser duduknya ke arah Rendi, dan berusaha menjangkau ponselnya yang di buang Rendi kebelakang. Rendi memeluk Sandara. Sandara berusaha mendorong tubuh Rendi. Mendapatkan perlawanan dari Sandara, Rendi semakin mempererat pelukannya. “Aku mencintai mu San. Dan kamu juga mencinta aku. Apakah salah jika aku meresmikan hubungan kita?” Rendi menyatukan kening mereka. “Aku tidak mencintai mu mas. Maafkan aku selama ini telah membohongi kalian semua.” Batin Sandara. Tanpa mampu ia tahan. Air mata mulai jatuh dari mata Sandara. Melihat Sandara menangis, Rendi menangkup pipi Sandara dengan kedua tangan nya. “Heii. Kenapa kamu menangis?” Sandara menggelengkan kepalanya pelan. “Tidak mas. Aku—“ Mmmmmppppp Rendi mencium bibir Sandara lembut. “ Maafkan aku. Aku tidak bisa menjaga Shelina.Maafkan aku mengkhianati kalian berdua." Sandara mengalungkan tangannya ke leher Rendi. Ciuman itu semakin dalam dan panas. Suara ponsel Sandara menghentikan ciuman panas mereka. “Maaf.” Rendi menghapus jejak bibirnya di bibir Shelina menggunakan ibu jarinya. Sandara hanya tersenyum. Lalu ia kembali berusaha menjangkau ponselnya yang ada di kursi belakang. Sedangkan Rendi kembali menjalankan mobilnya. Tujuannya sekarang adalah Restoran. Mungkin lebih baik Sandara makan terlebih dahulu, sebelum ia antar pulang. Setelah meraih ponselnya. Sandara menatap layar ponsel tersebut. Keningnya berkerut melihat nama seseorang yang menghubungi ponselnya. “Ibu.” Sandara bergumam pelan. “Siapa sayang?” “Ibu nya Shelina mas. Tumben beliau menghubungiku.” “Angkatlah, mungkin penting.” “ Apakah Ibu sudah melupakan dosaku?” Batin Sandara. Walaupun sedikit ragu, Sandara akhirnya mengangkat panggilan Ibu Shelina. “ Hallo. Assalamualaikum Ibu.” Sandara menggigit bibir bawahnya. Rendi heran melihat ekspresi wajah Sandara yang mendapatkan panggilan dari Ibu Shelina. " Bukan kah Shelina, dan Sandara bersahabat dengan baik. Pasti hubungan Sandara dengan Ibu Shelina, seperti ia dengan Bunda. Tapi kenapa Sandara seperti ketakutan saat mengangkat panggilan dari ibunya Shelina." Batin Rendi. “Mmhh. Walaikumsalam. Shelina dimana? Kenapa anak saya tidak mengangkat panggilan saya dari tadi. Sehingga saya terpaksa menghubungi kamu.” Sandara masih bisa merasakan masih ada benci yang pada Ibu Shelina untyk nya. Terbukti dari cara beliau berbicara. “Shelina masih di kantor Ibu. Dia ada rapat untuk kunjungan perusahaan. Dara sedang ada di---“ Tut Tut Tut “Huffttttt” Sandara membuang nafas berat. Panggilan yang sedang berlangsung di putuskan Fini, Ibu Sandara. “Kenapa Ibu Sandara memutuskan panggilannya. Apa beliau sedang marah sama kamu sayang?” Rendi mengelus rambut Shelina. Tatapan tetap kedepan memperhatikan jalan. “Ah. Tidak mas. Mungkin pulsa Ibu habis.” “Kenapa kamu berbohong kepada Ibunya Shelina?” “Aku terpaksa mas, Aku tidak ingin Ibu memarahi ku, karena mengizinkan Shelina pergi dengan Pria. Karena Ibu menitipkan Shelina kepada ku. Biarlah nanti Shelina yang akan memberi tahu beliau.” Sandara sedikit tersenyum ke arah Rendi. “Baiklah. Kalau begitu sebelum pulang kita makan dulu ya. Kamu mau kan?” “Terserah mas saja!” Sandara kembali tersenyum.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN