Sampai pagi Bimo tak kembali ke rumah. Saat terbangun, Lana menemukan pesan dari suaminya.
Sayang, maaf aku harus lembur. Aku langsung ke kantor dari tempat klienku. Love you ... Bimo-mu.
.
Lana tersenyum masam. Bimo-mu? Kenyataannya sudah lama dia tak bisa memiliki tubuh suaminya! Padahal mereka saling mencintai dan selalu mesra, lalu apa masalahnya? Bimo impoten, namun semalam dia bisa merasakan ... milik suaminya bangkit. Mungkin terapinya telah berhasil, dia harus bersabar lebih sedikit. Suatu saat mereka pasti akan menyatu. Lana harus sabar menantinya.
Mendadak ponselnya berdering, Lana nyaris menjatuhkannya karena terkejut. Untung dia sempat menangkapnya.
“Halo, Melina?” Lana menyambut teleponnya.
“Hai, Cantik. Apa semalam kalian berhasil melakukannya? Jangan-jangan ranjang kalian roboh saking hebohnya malam panas kalian,” goda Melina langsung.
Lana tergelak keras. Dia sangat nyaman berbicara dengan sobatnya yang ceria ini. Mereka cocok satu sama lain, dan suka bercanda akan segala hal.
“Tentu saja. Kami melakukannya. Untung ranjang tak roboh. Aku masih menyukai berbaring diatasnya.”
“Wow ... aku bisa membayangkan malam panas kalian.”
“Jangan bayangkan! Kasian, lajang sepertimu yang tak memiliki pasangan. Kau tak bisa melampiaskan gairahmu yang terpicu,” ledek Lana.
“Aku bisa self service, Say.”
“Mengapa kau tak segera mencari pasangan daripada self service terus? Aku akan mencomblangkanmu dengan temanku. Namanya Ramon, dia baik sekali ... walau tak setampan suamiku,” kekeh Lana.
“Mengapa bukan suamimu yang kau berikan padaku? Aku mau yang tampan,” goda Melina.
“No way! Bimo hanya milikku,” sahut Lana posesif.
“Bukannya milik kita bersama?” Melina terus menggoda.
Lana tertawa terbahak, dia sama sekali tak menyangka apa yang dikatakan Melina sungguh-sungguh terjadi. Sobatnya adalah musuh dalam selimut, sayang sekali Lana yang polos tak menyadarinya.
“Serius Melina, aku ingin menjodohkanmu dengan Ramon. Aku pernah menceritakan tentang dirimu padanya. Sepertinya dia tertarik ingin mengenalmu. Bagaimana Melina?” tanya Lana memastikan.
“Hmmm ... bagaimana ya. Sebenarnya aku belum tertarik menjalin hubungan serius dengan pria,” jawab Melina bimbang.
Kecuali suamimu! Lanjut Melina dalam hati.
Mana mungkin Lana mengetahui isi hati Melina, dia berusaha membujuk sahabatnya.
“Jangan menolaknya dulu, mengapa kau tak mencobanya dulu? Demi aku, Sayang,” rayu Lana manis.
“Hmmm ....”
“Hanya berkenalan. Kalau kau merasa tak cocok, kalian cukup berteman. Bagaimana?” bujuk Lana lebih lanjut.
“Hmmm, baiklah aku akan mempertimbangkannya.”
“Astaga, Melina. Hanya mempertimbangkan? Aku sudah capek-capek merayumu loh,” keluh Lana manja.
Melina tergelak, akhirnya dia mengalah. “Iya deh, Nyonya Bimo Pangabean. Kau menang!”
Lana memekik riang. Dia sangat puas telah berhasil membujuk sahabatnya. Dua wanita itu lanjut berbincang santai dan bergosip tiada habisnya.
***
“F*ck you!” maki Melina begitu menutup teleponnya.
“Ada apa? Mengapa wanitaku sangat marah?”
Bimo menghampiri dan memeluk Melina dari belakang. Melina mengusap rambut Bimo dan tersenyum kalem. Namun sejurus kemudian dia menjambak rambut Bimo sehingga lelaki itu memekik.
“Sayang, ada apa ... mengapa kau marah padaku?” Bimo melepaskan pelukannya dan mundur beberapa langkah. Dia menyurai rambutnya yang berantakan karena jambakan Melina.
“Lana bilang kalian melakukannya semalam!” sembur Melina gusar.
“Astaga! Sudah kubilang tidak, mengapa kau tak percaya? Kalau aku sudah keluar bersamanya, pasti semalam aku tak akan begitu b*******h bersamamu, kan?” kelit Bimo.
Benar juga. Semalam mereka melewatkan malam yang sangat panas. Tak mungkin sebelumnya Bimo melakukannya dengan Lana. Melina tersenyum lega menyadari hal itu.
“Berarti istrimu berbohong. Sial, dia membuat hatiku panas.”
“Abaikan saja dia,” saran Bimo enteng.
“Termasuk pada niatnya yang mencomblangiku dengan temannya?” tanya Melina yang ingin memancing kecemburuan Bimo.
“Apa?” Bimo mendecak kesal. “Kepo sekali, Lana. Siapa? Siapa yang akan dijodohkan denganmu?”
“Mengapa tak kau tanyakan pada perempuan yang kau cintai itu?” nyinyir Melina dengan bibir manyun.
Bimo menyengir. “Kamu adalah satu-satunya perempuan di hatiku.”
“Gombal!”
“Aku tak bohong. Kalau tak begitu mengapa aku kebakaran jenggot begitu tahu Lana akan mencomblangimu dengan temannya?” rungut Bimo kesal.
“Jadi, kamu akan menyemprot istri tak tahu dirimu, kan?” Melina berusaha memanasi kekasih gelapnya.
“Tentu!” kata Bimo menyangupi.
***
Bimo pulang dengan wajah muram. Lana mengira urusan pekerjaan yang mempengaruhi perasaan suaminya.
“Apakah urusanmu dengan Mr Nelson tak berjalan semestinya?” tanya Lana perhatian.
“Mr Nelson, siapa?!” sembur Bimo sedikit keras.
“Mr Nelson, klienmu yang semalam meneleponmu. Kau bersamanya seharian, kan?”
Bimo segera menyadari kesalahannya. Dia menggaruk kepalanya yang tak gatal.
“Maaf, Sayang. Hatinya sungguh kacau. Ya, kau benar. Ada masalah, dan aku harus segera menyelesaikannya sebelum timbul persoalan yang lebih parah.”
“Apa yang bisa kubantu?” Lana menawarkan diri karena mengkhawatirkan suaminya.
“Tak perlu, Sayang. Aku cukup terhibur dengan keberadaanmu di sampingku,” cetus Bimo lembut, dia mengecup bibir Lana mesra.
“Tapi aku ....”
Cuuup.
Bimo kembali mengecup bibir Lana, sedikit lebih lama. “Percayalah, Suamimu ini orang hebat. Aku akan menyelesaikannya.”
“Aku percaya padamu,” sahut Lana sambil tersenyum lembut pada suaminya.
Bimo mengangguk, lantas melangkah menuju kamarnya. Dia berniat mandi dan tidur. Dalam arti sebenarnya. Langkah Bimo terhenti ketika dia teringat akan sesuatu.
“Apa kau berniat menjodohkan Melina dengan temanmu?” tanya Bimo seakan sambil lalu.
“Yup. Kau kenal Ramon, kan?”
“Tentu. Tapi lebih baik kau tak mencomblanginya dengan Melina,” ujar Bimo serius.
“Mengapa? Aku hanya ingin sobatku bahagia seperti kita. Ramon sangat baik, aku yakin dia bisa membahagiakan Me ....”
“Melina ... dia memiliki seseorang yang dicintainya dan mencintainya,” potong Bimo cepat.
Lana ternganga mendengarnya. Dia tak pernah mendengar hal itu dari mulut Melina. Mengapa Bimo tahu duluan daripadanya? Dia akan memprotesnya pada Melina jika itu benar.
“Bagaimana kau bisa tahu? Mengapa Melina tak memberitahuku sebelumnya?”
Bimo tersadar, dia kelepasan bicara. Sekarang, bagaimana dia harus menjelaskannya pada Lana supaya istrinya tak curiga dan mencurigainya?
Sebenarnya, dia adalah musuh dalam selimut. Bimo harus cerdik memainkan perannya supaya kedoknya tak terungkap!
Bersambung