07. Kedok dalam Topeng

1022 Kata
Bimo masih bergelung malas di tempat tidur ketika Melina melompat padanya dan menindihnya ketat. Spontan pria itu menangkap tubuh Melina, lantas memeluknya erat. “Apa aku bermimpi? Seorang bidadari melompat dalam pelukanku,” gumam Bimo tanpa membuka matanya. Melina terkikik dengan wajah sumringah. “Aku bukan bidadari, aku iblis kecil.” Kelopak mata Bimo terangkat dan menatap mesra pada wanita yang bertengger diatas tubuhnya. “Kau terlalu cantik sebagai iblis, Sayang.” Bibir Melina mencebik manja. “Tak usah merayuku. Aku tahu apa yang kau katakan pada Lana tentangku. Secret lover, hah?” Bimo mendecih gemas. “Ck! Mulut wanita memang tak bisa dipercaya. Mengapa dia mengatakannya padamu?” “Dia minta maaf padaku, karena tak sengaja melukai hatiku dengan menjodohkanku dengan pria lain sementara aku masih terikat dengan kekasih rahasiaku yang tak direstui orangtuaku. Astaga, Bimo! Istrimu sungguh polos. Aku sangat heran, bagaimana dia bisa menulis n****+ dengan plot cerita kriminal padahal dia tak bisa mengenali bajiingan yang tidur dengannya,” sindir Melina sinis. “Jangan lupakan Lana yang lugu juga tak mengenali sahabat brengseknya yang telah menelikung dari belakang karena suka meniduri suaminya,” kekeh Bimo. “Kita memang bajiingan,” cetus Bimo dan Melina, bersamaan. Mereka saling memandang dan tertawa geli kemudian. Melina mengecup bibir Bimo dengan gemas. Saat ini perasaannya begitu membuncah. “Kita sangat cocok satu sama lain, hiduplah bersamaku, Sayang. Tinggalkan istrimu,” pinta Melina. Bimo menghela napas panjang. Melina telah meminta ini padanya untuk ketiga kalinya dan dia tidak bisa memenuhi permintaan wanitanya. Belum untuk saat ini! “Aku belum bisa melakukannya, kau tahu alasannya.” “Ya, ya, ya ... aku tahu. Kau belum puas menyedot darah si t***l itu,” sarkas Melina. Tentu Bimo bukan vampir, Melina tahu itu. Yang dimaksudnya adalah ... Bimo belum puas menggerogoti kekayaan Lana. Pria itu tak mau gegabah, dia melakukannya perlahan dan secara bertahap. Bimo amat membutuhkan dana untuk usaha yang akan dirintisnya, Lana adalah kartu ATM-nya. Itu sebabnya dia menikahinya. Puk. Puk. Bimo menepuk kepala Melina pelan sembari tersenyum memohon pengertiannya. “Sabarlah, Sayang. Ada saatnya aku akan menjadi milikmu, seutuhnya.” *** Firasat Lana mengatakan hal buruk telah terjadi saat ayahnya menghubungi. Tuan Markus terlalu sibuk untuk menghubungi putri tunggalnya kalau hanya untuk berbasa-basi. Jadi, bisa dipastikan ada hal penting, kemungkinan besar sesuatu yang buruk. Untuk sesuatu yang baik, Tuan Markus sering lalai menelepon putrinya dan memberikan pujian tulus padanya. “Papa, pagi. Tumben menelepon. Papa baik saja, kan?” sapa Lana berusaha setenang mungkin. “Papa rasa yang tak baik-baik saja adalah dirimu. Apa kau sudah kehilangan akal sehatmu?! Untuk apa kau menarik dana sebanyak itu?” omel Tuan Markus lugas. Dia terbiasa to the point, berbasa-basi hanya membuang waktu bagi Tuan Markus. Lana menghela napas panjang. “Bimo membutuhkannya. Dia berencana merintis usaha barunya. Tak mungkin selamanya dia menjadi jaksa, kan?” “Uang sebanyak itu untuk memulai bisnis baru bagi pemula? Gila! Biarkan dia berusaha dengan dananya sendiri! Kemampuan bisnisnya belum teruji, bagaimana kamu seberani itu berinvestasi padanya?” cela Tuan Markus. “Aku percaya padanya, Bimo bukan orang bodoh. Lagipula mengapa dia harus memulai dari bisnis kecil kalau aku memiliki dana besar untuk memodalinya?” bantah Lana. Dia setengah menyindir ayahnya. Dana itu berasal dari kocek pribadinya, tak seharusnya ayahnya terlalu mencampuri urusannya. “Terserah padamu! Papa telah memperingatkanmu. Jangan berlari pada Papa kalau kau mengalami kesulitan.” Tak akan. Lana menjawabnya dalam hati. Dia yakin Bimo akan sukses, seperti kariernya yang cemerlang di dunia hukum. Lana senang bisa mendukung suaminya. Asal Bimo bahagia, apapun akan dilakukannnya. *** Tuan Markus mengepalkan tangannya erat. Dia membaca laporan dari detektif pribadi yang dimintanya untuk memata-matai menantunya. Pria itu sangat mencurigakan! Mengapa Lana, putrinya yang jenius, tak menyadarinya? Cinta memang buta! “Pria itu sangat licik. Dia memakai kedok dalam topengnya. Perlindungannya ketat. Kita harus mengupasnya lapis demi lapis supaya mengenali wajahnya yang sesungguhnya,” komentar Mr X, detektif pribadi yang bekerja pada Tuan Markus. “Bedebaah itu mengusik ketenanganku, X.” “Lantas, apa yang akan Tuan lakukan padanya?” tanya Mr X langsung. “Untuk sementara awasi dia. Begitu menemukan kelemahannya, kita akan memakainya untuk menekannya. Saya ingin dia menghilang dari kehidupan putri saya!” Mr X mengangguk singkat. Dia sangat piawai dalam tugasnya, tak sia-sia Tuan Markus menggajinya amat tinggi untuk melakukan pekerjaan apapun yang diminta olehnya. Baik yang bersih maupun untuk urusan kotor! “Lalu, bagaimana dengan perempuan itu?” tanya Mr X sekali lagi. Tuan Markus tersenyum dingin. “Berikan dia pelajaran.” “Baik, Tuan.” Mr X mengangguk, dan berbalik hendak pergi. Namun kalimat Tuan Markus selanjutnya membuatnya berhenti. “Mainkan yang cantik. Saya tak ingin ada yang mengkaitkan masalah ini dengan kita, terutama Lana.” Mr X tersenyum keji. Dia berdarah psikopat. Menyiksa adalah hobinya dan dia terbiasa melakukannya dengan sempurna hingga tak ada yang mengendus jejaknya. “Jangan khawatir, Tuan.” *** “Akhir-akhir ini aku merasa ada yang mengawasiku,” keluh Melina pada Lana. Kedua wanita cantik ini sedang berjalan di keramaian mal. Woman day adalah acara yang rutin mereka lakukan sebulan sekali. Entah ngemal atau ke salon, semuanya terasa asyik bagi Lana. Dia menyukai waktu yang dihabiskannya bersama sahabatnya. “Apakah secret lover-mu yang menguntitmu diam-diam?” goda Lana. “Astaga, tak mungkin dia! Dia sangat sibuk, mana mungkin menguntitku kemana-mana,” bantah Melina. “Bisa saja, kan? Cinta membuat akal sehat orang melayang. Sesibuk apapun dirinya, demi wanita yang dicintai hal bodoh bisa dilakukan,” komentar Lana sok bijak. Melina mengangguk. “Mungkin saja. Tapi itu berlaku untukku. Aku si bodoh yang bucin padanya. Padahal dia ....” Melina terdiam dengan wajah rikuh. Lana berhenti melangkah dan menoleh pada sahabatnya yang tampak memelas. Dia merasa iba pada kisah cinta Melina yang sepertinya tak mulus seperti dirinya. “Ada apa dengan dia?” tanya Lana sendu. “Dia ....” Melina menggigit bibir bawahnya, menatap bimbang pada Lana. “Tak apa kalau kau belum siap mengatakannya. Aku akan menunggu ....” “Dia sudah beristri!” potong Melina cepat sebelum kehilangan keberaniannya. Sontak Lana ternganga lebar. Matanya membulat, terkejut. “Ya Tuhan! Jangan katakan kalau pria itu adalah ... suamiku?” Bersambung
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN