Sontak Lana ternganga lebar. Matanya membulat, terkejut.
“Ya Tuhan! Jangan katakan kalau pria itu adalah ... suamiku?”
Wajah Melina berubah pias. Apa Lana diam-diam sudah mengetahui perselingkuhannya dengan Bimo? Lalu apa yang harus dilakukannya sekarang? Sesaat Melina tergoda untuk mengakuinya, siapa tahu setelahnya Lana akan menceraikan Bimo, jadi dia bisa bersatu dengan lelaki pujaannya.
“Ka-kamu tahu darimana?” cicit Melina, kelu.
“Tahu saja,” sahut Lana serius.
Apa harapannya tercapai? Akan kah Lana menceraikan Bimo? Atau jangan-jangan .... Mendadak Melina teringat akan permintaan Bimo yang memintanya bersabar. Akan tiba waktunya mereka bersatu. Bila Lana menceraikan Bimo karena pengakuan Melina, apakah pria itu akan memaafkannya?
Melina menghela napas berat. “Aku memang mencintai suami orang. Tapi di dunia ini, suami orang bukan hanya Bimo. Ada jutaan di kota ini. Jadi ....”
Lana tergelak keras, dia terus tertawa hingga airmatanya keluar.
“Astaga, lucu sekali! Aku hanya menggodamu, Mel. Mengapa kau seserius itu, sih? Aku amat mempercayaimu. Walau di dunia lelaki tinggal Bimo, aku tetap yakin kau tak akan merebutnya dariku.”
Melina tersenyum lega. Rupanya dia hanya terlalu khawatir. Dia bersyukur si bodoh Lana mempercayainya sekaligus mencemoohnya dalam hati.
Bodoh sekali kamu! Walau lelaki di dunia ada milyar-an, aku tetap akan merebut Bimo darimu. Salahkan dirimu yang tak bisa menjaga suami tampanmu.
“Ya ampun, aku terlalu banyak tertawa sampai tak bisa menahan kandung kemihku yang akan meledak. Melina, kau tunggulah disini ... aku permisi ke restroom sebentar.” Lana berpamitan pada Melina karena mendadak dia ingin mengosongkan kandung kemihnya.
Sepeninggal Lana, Melina menunggu di bangku yang berada di depan air mancur di tengah mal. Dia memanfaatkan waktunya dengan menelepon Bimo. Pada dering ketiga pria itu menerima panggilan teleponnya.
“Tebak aku dimana dan bersama siapa?” ucap Melina begitu Bimo menyambut teleponnya.
Tawa renyah Bimo segera terdengar. “Tunggu aku akan menerawangmu. Ehm, aku tahu dimana kalian. Di mal Anggrek. Kau bersama Lana.”
“Tepat sekali! Bagaimana kau bisa tahu? Gak seru!” rungut Melina manja. “Ah, aku tahu. Lana yang memberitahumu, kan. Seperti biasa istri idamanmu akan selalu melaporkan dan meminta izin untuk segala kegiatannya di luar rumah.”
Khas wanita kolot yang membosankan! Cemooh Melina dalam hati. Menurut Melina, Lama adalah wanita cantik yang hambar ... siapapun suaminya akan bosan padanya. Jadi jangan menyalahkan Bimo yang menyelingkuhinya.
“Hu-um. Tak ada yang luput dari perhatianku. Terutama yang berkaitan dengan ... MU! Kau sangat menarik diperhatikan.”
“Tak usah merayu, Sayang. Gombal receh,” ledek Melina.
“Biar gombal, kau tetap suka, kan?”
“Narsis!”
“Biar, yang penting ganteng.”
“Idih, amit-amit. Tapi ... iya! Ganteng sekali, lelakiku gitu loh,” tukas Melina sambil tertawa centil.
“Jangan tertawa seperti itu Melina, aku tak suka,” tegur Bimo dari ujung telepon sana.
“Mengapa? Suka-suka aku dong!” bantah Melina manja.
“Aku tak suka kamu tertawa centil begitu didepan umum. Siapa yang tahu ada pria yang melihatnya dan tertarik padamu? Hatiku akan patah terpotek-potek,” gerutu Bimo.
Melina tertawa keras. Bimo selalu bisa menyenangkan hatinya. Jadi dia merasa penderitaan batinnya karena lelaki itu tak bisa mendampinginya sepadan dengan kebahagiaan yang didapatkannya saat ini.
Mendadak tawa Melina berhenti ketika seseorang tersandung dan terjerembap jatuh ke pangkuannya.
“Maaf,” celetuk orang itu lantas bangkit secepat mungkin.
“Tak apa,” sahut Melina ramah.
Orang yang mengenakan topi hitam yang menutupi separuh wajahnya dan mengenakan masker hitam itu mengangguk, lalu pergi secepat mungkin.
“Sayang? Ada apa?” tanya Bimo di ujung telepon sana.
Melina tersadar telah mengabaikan Bimo untuk sesaat tadi. “Tak apa, Sayang. Ada yang menabrakku tapi dia sudah minta maaf dan ....”
Melina merasakan lembap di perutnya, tangannya spontan mengusap disana. Mata Melina membelalak begitu menyadari kelembapan itu berasal dari darah yang mengalir dari sobekan di perutnya. Dia menjerit ketakutan.
“Aaargh!”
Brak! Melina jatuh ke lantai mal dan menimbulkan kegemparan orang-orang di sekitarnya. Mereka mengelilingi wanita itu dan menjerit ngeri saat melihat kondisi Melina. Sementara itu ponsel Melina yang jatuh ke lantai tersepak kesana-kemari oleh kaki-kaki pengunjul mal.
“Melina! Melina! Apa yang terjadi?!” teriak Bimo terdengar panik dari ponsel Melina.
Seseorang memungut ponsel yang layarnya telah retak dan berwarna hitam pekat namun suaranya masih berfungsi baik.
“Melina! Sayangku, astaga! Apa yang terjadi padamu? Jawab aku, Melina!” teriak Bimo histeris.
Dia tak tahu, yang memungut ponsel Melina adalah istrinya ... Lana. Di lain pihak, Lana mengira yang menelepon Melina adalah kekasih rahasia sahabatnya. Dia merasa heran.
“Ha-halo ... ini Lana, sahabat Melina. Dia jalan bersama saya, tapi entah mengapa ponselnya terjatuh hingga kesini.” Lana memberanikan diri menyambut telepon itu karena merasa kasian pada kekasih Melina.
Tut ... tut ... tut ... tut ....
Panggilan telepon langsung putus begitu Lana bersuara. Wanita itu mengerutkan dahinya, heran. Ada apa dengan pria itu? Apa dia tak punya sopan santun hingga memutuskan telepon begitu saja? Tapi mengapa suara orang itu begitu familiar di telinganya?
Belum sempat Lana berpikir lebih jauh, teriakan seseorang memecah konsentrasinya.
“OMG! Ada wanita tertusuk pisau!”
Perhatian Lana beralih kesana. Pandangannya berubah nyalang saat menyadari siapa orang yang dimaksud wanita yang berteriak tadi.
“Melina!” teriak Lana panik.
***
Lana segera membawa Melina ke rumah sakit. Dia begitu panik hingga tak sempat memberitahu siapapun. Saat menunggu Melina ditangani dokter, Lana baru terpikir untuk menelepon Bimo. Dia ingin mengabarkan berita buruk ini pada suaminya.
Lana memencet tombol dial untuk menghubungi ponsel Bimo. Nada dering Bimo yang khas segera terdengar. Sebelah alisnya naik ketika menyadari suara dering itu begitu dekat seakan ponsel Bimo berada di dekatnya. Mata Lana membesar melihat kemunculan Bimo yang sekonyong-konyong berada di dekatnya.
“Bagaimana keadaannya?” tanya Bimo sangat khawatir.
Lana spontan menjawabnya. “Dia di dalam. Dokter sedang menanganinya.”
“Bodoh! Mengapa kau meninggalkannya sendiri? Bagaimana jika terjadi sesuatu padanya?!” hardik Bimo ketus.
Baru pertama kali Bimo membentaknya. Lana agak syok. Matanya menatap nanar pada suaminya yang bergegas masuk ke ruang perawatan tanpa mempedulikan dirinya.
Otak Lana buntu. Dia tak bisa mencerna keanehan-keanehan yang berlangsung di depan matanya. Hatinya yang rusuh membuatnya linglung. Bimo marah padanya! Salahnya, dia lalai menjaga Melina. Mungkin Bimo terlalu mengkhawatirkan keselamatan sahabatnya hingga cenderung mengabaikannya.
Mata Lana berkaca-kaca. Dia akan meminta maaf pada Bimo, juga pada Melina begitu sahabatnya sadar.
Bersambung