"Darimana kamu tahu itu aku ?" bisa saja laki laki itu bukan aku, aku juga tidak bisa disebut laki-laki aku cungkring dan kecil untuk dikatakan laki-laki "Mungkin saja ada orang yang menggunakan namaku atau bernama sama sepertiku?" aku mengakat alisku , kemungkinan itu pasti ada.
"Semua rakyat mengelu-elukan nama-mu Yang Mulia Matiti"
Aku tertawa, tahu kalau permepuan ini berbohong "Babaku sudah pasti memanggalmu, perempuan"
Jon bersidekap
"Siapa di Altra yang bernama Matiti selain engkau ?" Deba terdiam lagi, cahaya obor menari-nari di mata birunya "Tidak mudah keluar dari pulau Lohye, kami dikurung disana. Aku sudah pergi sejauh ini dari keluargaku, aku mengorbankan banyak hal Matiti" dia menangis
Jon keliatan iba dengan gadis ini, ada simpati di dalam rautnya. Dia berbohong ! ayolah Jon...
"Aku akan hidup lama, tidak ada yang akan mengekskusiku"
Aku berkacak pinggang "Apapun yang kau karang nona, cerita-cerita bodohmu itu tidak akan diingat lagi. Sebentar lagi Babaku akan mengirim pasukan untuk mengeksekusimu. Kau akan berkahir di tiang gantungan, di tengah hutan ek. Tidak akan ada yang mengingatmu. Seharusnya sebelum mendatangi Klan kami kau mengucapkan kata-kata terkahir untuk keluarga Lohyemu"
Deba menggeleng mematahkan kalimatku, raut wajah polosnya justru membuatku ingin mencekiknya "Aku akan menemanimu, selama kau hidup aku hidup kalau kau mati aku juga akan mati. Aku matamu Matiti" dia menekan kalimat terkhirnya
Ucapan Deba menimbulkan udara yang terasa pekat disekitar kami, rasanya udara itu menjangkau kami seperti bayang-bayang hitam yang menenggelamkan.
"Hidupku masih panjang, paling tidak sampai kau menududuki singgasanamu"
Pers%6tan singgasana yang dimaksudkan buatku. Aku tidak menginginkan semua itu "Sudahlah" kataku putus asa. Aku tidak bohong otakku yang kecil ini mulai ber-andai kalau aku jadi Raja. Altar akan damai kalau aku sudah menduduki singgasan Altar ? Damai ? ku kira damai itu sebutan untuk orang-orang yang sudah mati.
Aku menghela nafas, tidak ingin mempercayai perempuan ini sedikitpun. Dia beringsut ke dekatku spontan aku menghindarinya tidak mau dekat dengannya "Matiti, hidup mereka semua ada pada pilihanmu. Kita harus pergi malam ini meninggalkan tempat ini"
Aku terbahak mendengar kegilaan-nya "Kau tidak tahu seperti apa nyonya klan kami ! dia akan mengerahkan seluruh kesatria kwaititi hanya untuk mencari kunyuk sepertiku" aku melihatnya dengan memusatkan mataku "Jangan-jangan yang kau inginkan dariku lebih ? Tolong jangan bermimpi aku tidak mau berpenyakitan"
Dia menelan ludah
Aku jadi bingung, wah tidak mungkin. Walaupun bentukannya seperti mutiara tapi dia sakit dan..., aku tidak peduli dengan omong kosongnya
"Kamu tidak bisa pergi dariku"
Aku tertawa mengejek "Aku akan membunuhmu sialan" aku meludah ke tanah
"Suara apa itu ?" Husen mendengar sesuatu dari luar sana.
"Diam disini Matiti" Jon memperingatiku. Dia pergi keluar goa menyusul Husen. Tiga penjaga goa biru menyusul Husen dan Jon keluar dari goa menyisakan para tahanan. Aku melihat ke sekelilingku dengan gelisah.
"Lepaskan aku Matiti" Perempuan penyakitan ini masih punya nyali bicara denganku
Aku melihatnya dengan tatapan tidak percaya, beraninya dia..
"Pergi denganku, kita akan kembali lagi kalau Altar sudah lebih tenang"
Memang Negri ini ada masalah apa ? Satu - satunya masalah buat negri ini adalah pulau Lohye yang seharusnya di tenggelamkan sebelum mereka manusia-manusia Lohye itu menyebarkan wabah mereka lagi "Tutup mulut berpenyakitmu itu, Jal(calang"
"Hai Matiti" suara rendah membelah keheningan di goa itu, suara Mutai membelah keheningan tempat ini. Dia seharusnya tidak berhak lagi bicara padaku, aku sudah terlalu jijik dengannya "Kau terlalu kasar nak ! dia cuma anak-anak. Dia membawa pesan buatmu kau dengarkan saja dia"
"Maksudmu kau percaya aku akan jadi Raja ?" Baba selalu mengatakan bahwa sahabatnya yang terkurung ini pintar. Aku tidak percaya, kalau dia memang pintar dia tidak mungkin mempercayai gadis pembual ini.
Mutai mengangguk "Setidaknya aku lebih percaya dia, dia terlihat lebih pintar daripada kau" Mutai tertawa rendah meremehkanku
"Matiti dengar kan aku, mereka akan menghabisi semua Klan. Aku tahu Matiti aku bisa melihat-nya"
Aku masih tidak percaya, dia hanya perempuan yang ingin menjatuhkanku. Apa hebatnya dengan kulit putih seperti itu.
"Kita harus pergi meninggalkan tempat ini, kalau kau sampai tertangkap oleh prajurit Olexys semua tidak akan berjalan sesuai rencana"
"RENCANA SIAPA ?" aku kehilangan kesabaranku "RENCANA SIAPA BRENGS^7EK ? RENCANAMU ?!!"
Dia terkesiap, tidak siap dengan tingginya suaraku, mata birunya kembali berkaca-kaca.
"Sadar tidak kah kau Jal#%ang, kau" aku menunjuk mukanya ketika air matanya jatuh di antara garis wajah yang ketakutan itu "Kau ! yang penyebab rumor Raja itu mengemuka.. Kau !"
"Matiti" Jon berlari tersengal-sengal "Ayo, kita lewat belakang mereka mengepung kita"
Aku menarik kerah baju kulit Jon yang sudah mengeras karena tidak pernah di ganti "Siapa ?"
"Prajurit Olexys menyerbu Benteng, Babamu sudah terbunuh"
Aku tidak semudah itu percaya "Mustahil" kataku mendorong Jon menjauh. Aku berjalan meninggalkan Goa Biru. Apanya yang biru ? aku tidak melihat sisi apapun yang membuat goa ini bisa-bisanya dinamakan Goa Biru.
Aku tertahan di pintu goa ketika aku melihat begitu banyak nyala api dari daratan dekat kastil utama. Dari sela-sela pohon ek yang tinggi menjulang aku melihat kobaran api membumbung. Asap dan teriakan menjadi pilu yang membungkus langit malam. Beberapa penghuni Khot berlarian menjauhi keributan, mereka semua mengarah ke Goa Biru "Habis" kata mereka begitu melihatku "Kau harus menyelamatkan diri tuan muda Matiti"
"b*****h Olexys !" suaraku tertahan, aku menguatkan ujung-ujung kunaiku. Ku ikat dua kunaiku dengan tali tambang yang terikat di pinggangku.
"Jon menahanku" Dia bediri menyilangkan lengannya di da*daku "Deba mungkin benar"
Aku menggeleng, aku mendorongnya dan berludah. Aku lompat berguling dari goa itu. Nyeri terasa di lenganku karena jatuh menghantam tumbukan tanah. Mungkin kalau semua ini tidak terjadi aku akan mengeluh kesakitan, tapi malam itu da**daku dipenuhi kebencian. Rasa sakit hati membuncak melihat rumahku di bakar habis, beberapa orang-orang kwaititi terkapar sudah tak bernyawa lagi. Gadis-gadis di Khot menjerit-jerit ketakutan.
Olexys, bede^^ah Jahan**am
Apakah sebanding banyaknya darah yang tumpah hanya untuk sebuah singgasana ?
"MATITI KAU TAK DENGAR AKU BAJI%ANGAN CUNGUK" Jon berteriak aku dengar suara berdebam di belakangku. Dia mengikutiku.
Aku berlari seperti kijang, menerobos deretan pohon semak dan semuanya. Aku mengambil jalan paling dekat menuju ke kastil utama. Semua memang hancur, aku lihat manusia-manusai membawa Trisula berdiri berhadapan denganku. Aku menerjang salah satu di antara mereka.
Aku berhasil menggorok leher satu di antara mereka. Jantungku terpacu begitu cepat, semua terlihat melambat dan bisa kuhadapai hanya dengan kunai kecilku. Sebuah pedang menyayat lenganku. Aku menoleh
Perempuan itu di sana juga "Tidak lama kau baru saja dari tempatku kan ?" Senyumnya manis, busuk dan penuh maksud jahat "Calon Raja ?" dia tertawa-terpingkal-pingkal. Menggeretku dengan satu asungan pedanganya.
Kuperingati diriku agar berhati-hati dengan gerakan Zehra, dia bisa menyemburkan racunnya dari mana saja. Tapi aku salah.
"Lepaskan perempuan Hina"
Zehra rupanya tidak seperhitungan itu, dia tidak memperhitungkan orangku akan memebelai pipinya dengan ujung kapak yang berat. Zehra tertawa terbahak. Tidak bisa berbalik untuk melihat Jon
"Lepaskan !" bisik Jon dengan suara yang dalam, khas suara para kesatria.
Jon dengan gerakan cepat, menarik tangan Zehra dan melipat tangan itu di balakang tubuh Zehra bergantian menyudutkan Zehra ke dekat Istal Kuda. Dia dorong Zegra sampai wajahnya berhimpitan dengan susunan tembok kayu "Orang tuamu sudah mati bodoh !"
Aku tidak menunggu sampai Jon membunuhnya, aku berlari menaiki undakan kayu ke kastilku menghindari setiap pertaruangan. Melayani duel beberapa orang tapi aku masih saja beruntung di tolong kesatria-kestaria kwaititi yang masih bertahan.
"HARITI" teriakku melihat kakak laki-lakiku yang besar, terkapar di lanati kayu bersimbah darah, di berterungkap aku menarik pakaiayan khas kesatria kami, pakaiayan zirah yang terbuat dari rantai, aku menarik rantai itu dan menyeruaklah darah dari perut saudaraku "Hariti, aku menepuk pipinya. Tubuhnya sudah pucat dia sudah tidak bernyawa.
Aku lantas tak bisa merasakan diriku sendiri, syock menyerangku. Aku mundur dan membentur tiang kayu yang sangat besar. Aku melihat sekelilingku. Aku berjalan limbung menuju tubuh Baba dan Ibuku yang sudah terkulai.
Seorang menahan kerah bajuku. Aku menoleh. Melepas tangannya dengan kasar dari tubuku.
Mutai ?
Siapa yang melapaskannya ?
Sebuah trisula melayang hampir mengenaiku, sekali lagi aku sadar aku dilindungi. Aku ditarik Mutai, menghindari trisula itu. Darius melayangkan Trisula hampir mengenaiku "Kau tidak akan pernah jadi Raja Matiti" bisiknya.
Penghianat !
Aku melihat pedang yang terjatuh di sisi Hariti adalah pedang asahannya. Aku tahu pedang itu. Breng%^sek ini telah membunuh kakakku ! Sebelum aku maju segesit itupula Mutai mendahuluiku, dia berjalan seperti harimau menyerbu Darius. Mereka bermain-main pedang dengan pedang sangat sengit.
Aku kembali melihat ke arah jasat-jasat keluargaku yang terkapar berumuran darah di ruangan yang sama. Mereka semua pasti belum siap dengan serangan ini.
Dari kejauhan aku melihat satu kesatria dengan baju zirah lengkap menunggang kudanya. Melihat semua pasukannya membantai habis klan kami. Lio berderak dari lantai dua terjatuh dengan kasar tepat di hadapanku "LARI BRENG*SEK"
Kesatria yang kulihat dengan kuda itu adalah Olexys. Aku akhirnya melihat bagaimana bentukan laki-laki itu. Di luar sana, dia sudah sangat bernafsu menggrokku. Tapi puluhan kesatria klan kami masih berdiri menghalanginya.
Lio menarik bajuku "Mereka menginginkanmu !" bisiknya padaku lalu berlari memabntu Mutai menghadapi Darius sampai laki-laki itu tersudut, jelas ! Darius kalah talak dengan gesitnya Mutai dan kekuatan Lio. Mutai berhasil mengenai lengannya, Lio menendangnya menjauh. Tidak langsung membunuhnya. Dia memberikan jeda pada pertarungan itu "BAWA MATITI LARI !" Dia bicara pada Mutai.
Aku masih terdiam, Sampai Hentakan tarikan Jon menyadarkanku. Aku melihat Lio berbicara pada Mutai dan Mutai ikut berlari. Mereka bertiga melindungiku "Ikut aku cepat !" perintah Lio tersengal-sengal, dia baru saja sadar dari racun Zehra dan harus berjibaku dengan pertarungan sengit ini.
Lio membawa kami ke mengarah pada lantai tanah. Masuk ke dalam sebuah pintu aneh, yang baru pertama kali kulihat, tadinya kupikir itu cuma dinding kayu biasa. Lio berjalan paling belakang "KALIAN MASUK, AKU DISINI. KALIAN HANYA PUNYA WAKTU LIMA MENIT MELEWATI TROWONGAN b******k ITU"
Jon terlihat ragu pada ucapan Lio
"Ini permintaan Hariti" Lio terdengar berusaha lebih tenang, walau matanya terus awas. Dia mengangguk meyakinkan sahabatnya Jon. Sebelum Lio menutup pintu ruangan bawah tanah itu dia menaruh tangannya di da*&da "Panjang umur raja Altar" dia melihatku dengan sungguh-sungguh. Liopun menutup rapat pintu kayu di depan kami. Aku mendengar suara pengganjal kayunya di turunkan.
"Tuan-tuan, kita harus ingat waktu kita lima menit !" Mutai kembali mengingatkan kami
Aku dan Jon masih mencoba mencerna apa yang terjadi.
Jon sepertinya lebih cepat mengartikan semua ini. Dia dengan kasar menundukkan kepalaku agar membungkuk. Aku sampai mendorong tangannya dan dari perpendaran cahaya di sana aku lihat dia mengahapus wajahnya "Jangan Harap kita menemukan mereka lagi Matiti"
"Jangan dramatis kawan, kita harus cepat" sekali lagi aku tidak suka harus mengandalkan Mutai yang seharusnya menjadi musuh kami mengingat dia adalah seorang penghianat.
Aku masih belum mengerti keadaan ini, semuanya terlalu tiba-tiba. Otakku mampet aku betulan telah menjadi bodoh dan lambat. Aku hanya bisa berjalan berpegangan pada sisi-sisi tanah galian. Selama dua puluh tahun aku hidup tidak pernah aku ketahui tempat ini.
Aku menginjak bangkai tikus yang terasa mengernyit di bootku. Baunya tempat ini lebih dari pengit dari pada bau Khot. Barulah aku sadar ketika dari mana asal bau anyir dan amis ini darimana. Tempat ini adalah aliran pembuangan ikan nelayan. Sial. Kenapa bisa mengarah ke bawah kastil utama.
"Hariti sudah mati, baba dan ibu juga"
"Semua nak, semua orang di klanmu sudah pasti dihabisi" jawaban yang menyakitkan dari Mutai, kenyataan yang sesungguhnya harus kuterima.
Terongan itu terasa panjang. Kurasa itu sudah bermenit-menit berlalu. Suara derap langkah di atas kami, meruntuhkan beberapa tanah, jatuh ke wajahku yang berkeringan. Aku haru terus berjalan. Mutai mempercepat langkahnya. Lalu dia terduduk. Memintaku kami untuk terdiam. Kenapa dia harus memipin kami berdua ?
Kenapa aku harus percaya padanya ? Hanya karena dia menghabisi Darius ?
Mutai melihat dari celah pintu kayu yang menutupi terowongan buangan itu. Aku rasa sebentar lagi aku akan pingsan. Tidak tahan berlama-lama di dalam sana. Mutai menguatkan genggaman pedangnya "Siap kawan dalam hitungan tiga semua sudah harus lompat dan siap !"
Tidak ada yang menjawab. Tapi dia tetap membuak pintu kayu dengan suara debaman yang keras langsung melompat keluar seperti tikus got. Aku dan Jonpun keluar dari sana. Aku melihat sekeliling. Sepertinya kami berhasil lolos.