ENAM

2130 Kata
Api membara seperti amarahku, nafasku terhembus di dinginnya malam. Tempat tinggalku runtuh lebur mengubur jasad orang-orang yang kusayangi dalam bara api yang membara. Jon menyodok bahuku dengan ujung pegangan kapaknya "Jalan kawan, kita tidak membuang waktu" nafasnya memburu antara amarah dan kelelahan mengepit tubuh setengah raksasanya.  Aku mendengar suara siulan timbul tenggelam. Aku masih tidak mengerti kenapa aku harus mengikuti maunya si tua Mutai ini. Ku lirik Jon agar dia memberiku penjelasan sedikit saja. Tapi keputusan rupanya sudah dibuat dibelakangku. Aku tahu, mereka punya rencana. Ya pasti, ketika ku lihat perempuan itu berdiri di tengah hutan.  Aku terdiam.  "Tunggu" aku mengangkat kedua tanganku berusaha memahami apa yang mereka lakukan "Apa ini ? Kalian merencanakan sesuatu dibelakangku ? p*********n ini kalian sudah tahu ?"  Jon menarik bajuku hingga kakiku sedikit menjijit tubuhnya tidak sebanding dengan badan cungkringku "Tidak ada yang merencanakan apapun. Bodoh. Kita semua satu pemikiran" Wajah Jon tidak bersahabat urat-urat lehernya berjalan seperti akar, giginya gemelutuk "Jangan bilang kau tidak memikirkannya ? Kau terpilih Matiti !" kalimat demi kalimat itu di jejal masuk ke kepalaku. Aku tersesat dalam pikiranku sendiri.  "Babamu memintaku" Mutai menyarungkan pedangnya, melihat Deba dengan penuh arti lalu tatapannya berakhir padaku "Gudati memintaku melakukan ini" dia membusungkan dadanya "Kita akan ke Negri Syaka, sesuai permintaannya"  Hampir saja aku menerjang Deba karena setelah semua yang terjadi setelah semua yang terbakar tidak jauh dari kami dia masih bisa tersenyum. Dia diselamatkan oleh dua orang kesatria Olexys yang bergerak ke dekat kami "berpenjar. Bertemu di bokrok"  Mutai mengedikkan tangannya padaku. Aku sebenarnya tidak sudi, tapi aku akhirnya mengikutinya. Ku siapkan kedua tanganku memegang senjata. Aku harus membela diri.  ku lihat Jon. Dia mengangguk setuju. Hanya Jon yang bisa kupercaya, dan dia rupanya mempercayai Mutai. Dia bilang tadi kita mengarah ke Negri Syaka. Yang benar saja. Apa persisnya yang dikatakan Baba pada laki-laki ini ? setiap berapa langkah aku kembali menoleh belakang di mana, dimana rumahku berada. Sejauh apa aku akan pergi ? Apa aku tidak akan pernah kembali pada mereka ? Api menjulang tinggi menyisakan kehampaan aneh di hatiku, aku sendiri. Aku sendiri dan mereka bilang aku akan jadi raja, orang-orang ini percaya pada Deba. Mereka mendorongku, pada keinginan mereka.  Kami bergerak menembus semak-semak, terus ke selatan. Kami menghindari perbatasan Klan Kepala bersar maka kami memutuskan menyusuri sungai bergerak di bawah tebing bukit. Gerakan kami tidak terlihat musuh. Mutai berjalan seperti monyet dia "Hei Mutai memang kau tahu jalan ?"  "Biar aku yang di depan"  "Bed^^abah ! aku sedang melindungimu"  "Heh" aku tergelak "Memang apa yang dikatakan Babaku padamu ?"  "Balas budimu ! bila sesuatu yang buruk terjadi bawa dia ke Syaka" dia mengulang seperti apa persisnya yang dikatakan baba padanya "Jangan panggil aku Mutai aku muak mendengar nama itu" tapi aku mendengar suara kesedihan disana. Dia menoleh melihatku dari balik bahunya. Itu mungkin mengingatkan dirinya yang seorang penghianat.  "Kau salah satu paman terbaikku, dulu"  Aku mendengar tawa meremehkan miliknya  "Kenapa kau tega melakukan itu pada Baba ?"  "Laki-laki kalau tidak pernah hidup untuk dirinya sendiri Matiti, mereka selalu hidup untuk orang lain. Berada di tanahmu sebagai mata-mata adalah tugas mulia yang kulakukan untuk Rajaku" Dia menahan tangannya pada satu akar yang mencuat dari balik bebatuan tebing "Kau hidup untuk siapa Matiti ? keluargamu sudah tidak ada lagi ? Lihat.." Dia menunjukkan sungai lepas di hadapan kami, sungai yang mengarah jauh ke hilir ke dekat Dataran Pantai Altar dekat dengan kerajaan kami "Kau bisa bunuh diri kalau kau mau"  "Maksud apa ?" penghianat tidak tahu terimakasih "Kau berhutang nyawa pada babaku Mutai"  Dia memutar bola matanya, jenuh mendengarku "Jangan panggil aku dengan nama itu, aku sudah bilang padamu tadi" dia diam sejenak "Namaku sezarab"  "Karena nama Mutai  diberikan babaku buatmu ? iya ?"  "Itu nama yang mengingatkanku akan kebodohanku menghianatinya, kau tahu. Kwaititi bukan tanahku, tanahku Syaka tapi Klan Kawaititi adalah saudaraku. Babamu ! dia sudah seperti saudaraku" aku tahu dia sungguh-sungguh, manusia jahat seperti dia sulit untuk mengeluarkan kata-kata manis dari bibirnya kalau bukan dalam bentuk kenyataan yang pada akhirnya sangat pahit untuk kita telan, mengingat yang kami sayang itu telah terbakar jauh disana. Pada api yang membumbung dihadapan kami.  Aku akhirnya tidak kuat lagi, aku berhenti berjalan. Memilih duduk di bawah tebing itu, menatap nanar pada gelombang kesedihan yang mengurai menuju angkasa. kumpulan asap hitam pada api yang menyala di tengah-tengah hutan Eks masih bisa kami lihat dari sana "Laki-laki hidup bukan untuk dirinya sendiri ya ?" suaraku terdengar sangat suram "Kalau begitu aku harus berpikir sebantar. untuk apa aku hidup ?" entah kenapa aku teringat perempuan putih itu "Untuk mimpi-mimpi Deba ?" aku bertanya pada diriku dan tertawa sedih  Sezarab menghela nafas dalam, janggutnya yang tebal terayun terkena angin malam. Namun tubuh berbalut pakaiayan compang-campingnya tidak merasa kedinginan sama sekali, dia terbiasa dengan semua jenis penyiksaaan karena terlalu lama jadi tawanan.  "Babamu datang bersama membawa Deba dan menjebloskannya, dia selalu tahu semuanya tapi dia memilih diam. Aku sudah lama mengatakan padanya Met punya rencana"  "Met ?" aku tidak percaya, dia guru kami tidak mungkin dia menghianati Baba  "Iya Met, dia mungkin tahu sesuatu makanya dia meminta waktu berbicara padaku" matanya menyala di antara kegelapan malam berkelap karena nyala api yang dilihatnya "Babamu mengetahui banyak Hal Matiti, bodohnya dia selalu telat bertindak. Dia sudah lama tahu Met menghianatinya. Akhirnya dia mengakui kalau aku benar" dia tergelak "Bodoh sekali.." aku hampir-hampir tidak melihat senyumnya karen jangutnya yang berantakkan "Raja di asingkan oleh Olexys, dia membaca surat yang seharusnya diperuntukkan pada Met, Olexys sedang mencari sekutu di semua Klan. Klan yang tidak mau berlutut akan dihabisi "  Kami sama sama memandang api yang mulai membesar, asap yang membumbung menggapai langit. Aku masih tidak bisa membayangkan bahwa yang tengah di lalap api itu adalah rumahku.  Aku kaget mendapati tangan kotor Sezarab meremas bahuku "Laki-laki harus terus mencari alasan itu, alasan itu akan terus berubah Matiti. Kau punya lebih dari itu. Alasanmu sekarang lebih dari semua itu, mereka yang tersisa disana" dia menunjuk api yang melalap itu "Mereka membutuhkan perlawanan balik, Altar sedang tidak baik-baik saja kawan, mereka menunggumu. Sekarang di seluruh penjuru Altar cerita tentang mu mulai dibicarakan, diceritakkan, dibisikkan di balik punggung Olexys. Mereka sedang menunggumu dan seumur hidup mereka, mereka akan tetap percaya Altar akan mencapai puncak terdamainya ketika berada dalam kekuasaanmu"  Aku tertawa dingin, aku cemas yang mereka semua harapkan akan sia-sia.  "Kalau kau menolak dan putus asa. Artinya kau membiarkan penduduk Altar berada dalam kesengsaraan. Aku yakin sebentar lagi manusia serakah itu akan menduduki tahtanya. Jafar yang agung itu sekarang tengah melihat dinding beku penjara, menghitung waktu yang tersisa dan kata-kata terkahir apa yang akan dia sampaikan pada kedua putrinya"  Aku cuma bisa menghela nafas, aku masih merasa terlalu lemah untuk menanamkan keyakinan apapun. Aku memang marah dan ingin membunuh Olexys detik ini juga tapi apa yang kupunya ?  Tiba-tiba meluncur sebuah kunai  dari arah selatan. Aku mundur kebelakang menempel pada dinding jurang "Sial mereka melihat kita"  "Kau bisa berenang ?" tanya Sezarab  "Kau gila ?" kalau saja dia tidak punya gigi yang putih aku mungkin tidak tahu dimana letak bibirnya di antara jenggot tebal itu.  "Mereka memang selalu bilang aku gila"  Dia loncat ke sungai, seolah dia memang ingin bermain. Aku beku, aku melihat nyala obor di selatan  "ITU DIA"  Sepertinya kita memang tidak punya pilihan. Aku menghirup nafas dalam dan lompat ke sungai. Sezarab sialan ! Air sungai dingin sekali, aku tenggelam di dalamnya. Selain dingin, sungai ini sangat tetang dan sunyi. Seandainya paru-paruku tidak terasa terbakar aku akan memilih diam disana dengan semua keheningannya.  Aku memejamkan mata yang terlihat dibenakku adalah wajah kerasa Baba, dia memegang bahuku selalu meyakinkanku bahwa aku bisa. Wajah Baba, pergi digantikan wajah Ibu, ibu menggelengkan kepalanya dengan wajah tegas, memperingatiku bahwa aku tidak sopan, yah aku selalu tidak sopan lalu Hariti yang terbahak memegang perutnya menertawaiku.  Mereka semua tidak disini lagi Bayangan Lio berkelabat dibenakku. Ketika dia menutup pintu "Pergilah, ini keinginan Hariti" lalu dia meletakkan tangannya dida^^da "Panjang umur raja Altar"  Padahal Hariti selalu mengejekku, tapi dia tahu apa yang akan terjadi, dia melindungiku. Apa dia juga berharap aku akan jadi raja ? Begitupula dengan Lio dan semua orang yang kehilangan nyawanya malam ini. Apa mereka percaya aku akan menjadi seorang Raja ?  Satu batang kayu melayang mengenai punggungku aku tersentak, paru-paruku tidak lagi terasa terbakar malah sakit dan nyeri. Aku bernang ke permukaan. Tidak jauh dariku ada Sezarab berusaha menghirup udara diingin. Dia melihatku, dan dengan gerakan kepala, dia mengarahkanku untuk ke pinggir sungai di. Aku mengikutinya.  Sudah seberapa jauh aku hanyut ? Sial aku berada di sebrang sungai artinya kami harus melewati Klan Amor dulu untuk ke Bokrok "Kita harus cepat Matiti" dia masih terengah-engah nafasnya belum sempurna.  Mendadak dia menghentikan langkahnya, mengurungkan niatnya memasuki hutan.  Akupun menghentikkan langkahku. Aku mengikutinya, seperti sebelumnya. Bukan karena aku sudah mempercayainya, aku tidak semudah itu, tapi karena Baba ! Baba mempercayai orang ini. Aku memilih percaya pada apa yang Baba dan Hariti inginkan.  Aku bersembunyi di balik pohon dan aku melihat bagaimana Sezarab melucuti dua orang klan berbisik, dengan gerakan tangan mereka mencoba menjelaskan pada Sezarab, aku tidak mengerti bahasa tangan mereka, mereka tidak bicara, atau mungkin bisa mengeluarkan bunyi-bunyian dari mulut mereka yang jelas bukan bahasa Altar. Sezarab kulihat hanya menggeleng dan memerintah, kedua pria bertubuh padat itu melepaskan pakaiyannya. Sezarab memerintahkan mereka untuk pergi setelah berhasil mendapati pakaiyan mereka. Sezarab melucuti senjata dan dengan mudah mengusir mereka. Mereka pergi dengan ketakutan dan tanpa menggunakan satu helai benangpun di tubuh mereka.  "Kita harus berterima kasih pada mereka, atau mungkin Klan mereka" dia melempariku baju yang telah dicurinya dari dua orang Klan berbisik "Berpakaiyan seperti mereka dan pura-pura tidak bisa bicara lebih baik"  Menurut Sezarab menyamar menjadi Klan Berbisik akan mempermudah perjalanan kami. Belum apa-apa aku sudah mau menyerah, Bokrok yang rasanya tidak terlalu jauh mnejadi bermil-mil rasanya. Jon, apa dia dan Deba bisa melewati pasukan Olexys ? Aku sangat berharap mereka selamat. Tak ku izinkan Deba mati begitu saja setelah dia menyebarkan pengelihatannya ke seluruh Altar. Ini salahnya ! semua ini karena lidahnya yang bercabang. Dadaku mengambang, ku tarik nafas sesak kembali memikirkan keluargaku. Kalau saja dia tidak pernah datang, semuanya tidak akan begini. Iya kan ?  Lalu satu suara berbisik di dalam diriku, "dan mungkin kau sudah mati" Kami bergantai pakaiayan di tengah hutan. Sezarab melilitkan ikat kepala layaknya cara berpakaiayan Klan berbisik, Sezarab memintaku mengikutinya dan menutup wajahku. Aku melakukannya tanpa perlawanan. Kami juga mencuri dua kuda dan menemukan seribu Late dari kantong mereka.  Berkudalah kami memutar mengelilingi Klan Amor, setiap sudut klan itu di lindungi oleh para kesatria pemegang trisula. Sangat berbeda dengan Klanku, ketua Klan ini sudah bertekuk lutut pada Olexys, karena itu suasana Klan Amor masih terlihat sama seperti sore tadi, mereka terlihat tenang dan damai.  Aku menarik kain yang terikat di leherku untuk menutupi bagian bawah wajahku "Kehidupan disini terlihat lebih tenang" aku berpendapat. Sezarab memberiku aba-aba untuk berkuda lebih dulu.  Ternyata berpakaian seperti Klan berbisik bisa mengelabui Kesatria Olexys yang berjaga di pintu masuk Amor. Kami melewati pintu masuk dengan berpura-pura tenang.  Perempuan-perempuan berpakaian rendah menggoyangkan pinggulnya mencoba menarik perhatianku. Aku sudah pernah bilang wajah mereka sama saja, aku tidak tertarik. Tapi mataku tertahan pada peristiwa di belakang mereka, dadaku berdegup kenjang. Darahku memompa cepat, tubuhku terasa panas. Aku menghentikan kudaku.  Beberapa jasad wanita berada di tiang gantungan, dan anak-anak mereka menangis di bawah jasad mereka. Sangat ironis, sedangkan di pinggiran sini, perempuan-perempuan sedang menari memainkan pinggulnya menarik perhatianku ? Aku tidak paham ! dimana nurani mereka,,  Apa kira-kira yang terjadi pada perempuan-perempuan yang berkahir di tiang gantungan itu ? Kupikir sejahat-jahatnya Zehra dia masih seorang perempuan yang berhati lembut. Aku salah ! dia pemimpin Klan yang kejam. Walaupun semua itu atas titah Olexys tapi itu tidak dibenarkan, merenggut hidup klanmu sendiri dengan cara yang sadis tanpa mempertimbangkan anak-anak mereka, itu perbuatan i^^blis. Sezarab memukul kepalaku memain-mainkan tanganya seolah dia bicara dengan bahasa Klan berbisik. Aku harus terus berjalan, itulah yang dia coba sampaikan. Jangan sampai kami mencuri perhatian siapapun.  Aku memacu kudaku, Sezarab menungguku dia membiarkanku berjalan di depan, sambil mengawasiku dari belakang.  Akhirnya kami sampai di Bokrok, perbatasan Klan Kepala besar dengan Klan berbisik. Sebelum kami berbelok ke gunung batu melewati para penempa Mixi. Aku tidak bisa membayangkan bagaimana nasib mereka di dalam gunung batu ? Apa kira-kira yang telah Olexys lakukan pada mereka ? Mixi tergolong Klan yang mudah dikalahkan karena ukuran tubuh mereka yang mungil, tapi mereka golongan Klan paling cerdas yang ada di Altar. Mereka berperang tidak dengan pedangnya mereka berperang dengan lidahnya. Begitu yang pernah Baba beritahu padaku.  Kami menyalakan api unggun, untuk menandakan keberadaan kami pada Jon dan Deba. Bokrok ladang gembala yang lumayan luas, dipenuhi berbukitan kecil-kecil, dengan rumput hijau setinggi lutut. Sangat jarang orang berpergian melewat Bokrok karena akan menghabiskan waktu, melewati bukit kecil-kecil dan melelahkan untuk kuda. Itulah yang membuat tempat ini aman buat kami beristirahat barang sebentar. 
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN