Mereka kembali melanjutkan perjalanan pulang setelah berdebat masalah nama kucing, sungguh berfaedah sekali.
"Apa ya nama yang bagus?"
Bara masih berpikir, dia tidak pernah memelihara hewan sebelumnya jadi menurutnya mencarikan nama yang bagus sangat penting. Kan ada yang bilang, 'nama adalah doa' jadi tidak boleh sembarangan.
"Pochi aja Pak," saran Karina. Biar cepat saja pikirnya.
"Pochi bukannya merek Teh?"
"Iya sih. Tapikan lucu. Pochi."
"Nama itu biasanya untuk anjing kan?"
Karina menggeleng tak setuju.
"Bapak gak pernah nonton minion ya?"
Bara diam sepertinya tidak pernah menonton film yang Karina maksud.
Karina menghela napas, apa sebenarnya yang dilakukan bosnya ini saat libur atau tidak bekerja, sampai minion si makhluk berwarna kuning menggemaskan itu saja ia tidak tahu.
"Jadi di film minion, tikusnya King Bob...." Karina mengangkat tangannya, memperagakan salah satu scane film favoritnya itu.
"Namanya Pochi," jelasnya.
Kening Bara mengerut.
"Tapi diakan kucing bukan tikus."
Ya tuhan. Karina mengeratkan gigi, mencoba tersenyum.
"Lucu Pak. Tapi terserah Bapak sih mau dikasih nama apa. Mau Pochi kek, mau Kochi kochi hutahe juga boleh."
"Asal cepat aja," desis Karina sepelan mungkin.
Dan akhirnya di sinilah mereka, sudah dekat dengan rumah Karina. Gadis itu sudah tak sabar ingin mandi.
"Kayaknya ada orang di depan rumah Kamu."
Karina yang sejak tadi menunduk memainkan ponselnya menoleh ke arah Bara kemudian bergantian ke arah depan. Matanya menyicip saat melihat ada seorang lelaki berdiri di depan pagar rumahnya, nampak celingukan dan sesekali melihat hp.
Mobil yang mereka tumpangi berhenti. Sosok lelaki yang Karina kenal nampak berdiri menunggu Karina turun.
"Mau ngapain tu orang?" desisnya.
Ia malas sekali untuk berbicara dengan orang itu. Jangankan bicara melihat wajahnya saja sudah membuatnya muak.
"Makasih Pak sudah ngantar Saya pulang. Hati - hati di jalan."
Karina membuka pintu mobil dan Bara juga membuka pintu mobilnya ikut turun.
"Bapak pulang aja."
"Bahaya," jawabnya singkat. Karina hanya menghela napas. Memang lebih aman kalau ada orang lain dibandingkan harus berduaan dengan orang itu.
Lelaki itu dengan cepat mendekati Karina.
"Karina," serunya.
Ayolah Karina sedang lelah saat ini. Dia mau istirahat, mandi, tidur dan bangun siang.
Karina acuh mencoba membuka pagar rumahnya.
"Karina. Kita butuh bicara," katanya.
"Tapi Gue gak butuh tu."
"Kar please. Gue terpuruk gak ada Lo."
Karina mendesah pelan dia ini bersumbu pendek, tidak terlalu pandai juga menahan emosi, dan lelaki di hadapannya ini nampaknya ingin sekali membuat dirinya emosi.
"Terpuruk? Oh ya? Kenapa, cewek selingkuhan Lo kemarin miskin gak ada duitnya yang bisa Lo porotin?"
Lelaki itu terdiam. Karina pernah berpacaran selama hampir dua tahun dengan lelaki ini. Namanya Dodi, mereka tak sengaja bertemu di bioskop saat sama - sama nonton sendiri dan akhirnya mereka dekat dan menjalin hubungan.
Dulu Karina akui kalau dirinya bodoh dan buta akan cinta. Dia pikir lelaki ini tulus bahkan saat semua orang mengatakan kebenaran tentang Dodi dia akan marah dan tak percaya, sebuta itu ia akan cinta.
Tapi setahun lalu Karina membuktikan sendiri omongan orang - orang tentang pacarnya. Dodi berselingkuh, bukan cuma itu ternyata selama ini ia hanya dimanfaatkan, lelaki itu hanya menginginkan uangnya.
Karina yang terlanjut bucin membelikan banyak barang dan sering memberikan uang padanya. Tapi apa? Ia malah diselingkuhi dan dianggap sebagai ATM berjalan.
Marah? Jangan ditanya, ia bahkan memberi bogeman ke kedua pipi mantan pacarnya itu bahkan hampir menendang bagian penting yang bisa jadi membuat lelaki itu sangat kesakitan.
"Gue nyesel Kar. Lo yang terbaik buat Gue?"
Karina tersenyum mengejek. Memang tak lama setelah putus Dodi terus menyepamnya dengan banyak chat dan telpon, bahkan Karina sampai memblokir nomornya. Tapi beberapa bulan terakhir lelaki ini tak muncul lagi, Karina pikir dia sudah menyerah tapi nyatanya sekarang dia malah nekat datang ke rumahnya.
"Hah... Pulang gih. Kalau tidur tuh bangun jangan mimpi mulu."
"Kar Gue serius. Gue udah dapat kerja sekarang. Memang gajinya gak sebanyak Lo. Tapi Gue yakin Gue bisa bahagiain Lo. Gue akan berusaha, Gue udah tobat."
Menggaruk kepalanya Karina hanya menatap sinis. Ia tak percaya lagi. pantang bagi Karina memberi kesempatan kedua kepada penghianat. Ingat dua pantangan yang selalu di wejangkan padanya sejak kecil.
( Jangan pernah memberikam kesempatan kedua kepada perselingkuhan dan KDRT ) Itu pesan Bapak saat dirinya mulai beranjak dewasa, karena kedua hal itu adalah penyakit yang sulit disembuhkan.
"Lo mending Move On deh kalau udah tobat. Jangan ganggu Gue lagi."
Karina ingin masuk namun tangannya di cekal. Melihat hal itu, Bara yang sejak tadi hanya diam memperhatikan mencengkram tangan Dodi.
Dodi menoleh tak suka.
"Anda jangan ikut campur, ini urusan Saya dan Karina."
"Kalau begitu itu urusan Saya juga."
Dodi terdiam, melirik Karina dan Bara bergantian.
"Kalian punya hubungan?"
"Iya. Jadi jangan ganggu Karina lagi," jawab Bara ambigu.
Entah kenapa jantung Karina jadi berdetak kencang, bukan merasa emosi seperti sebelumnya, perasaannya malah terasa nyaman. Ia tak mengerti dengan dirinya hari ini.
Dodi menatap nanar, menyentak tangannya dari genggaman Bara. Merasa tak bisa melawan ia memilih pergi begitu saja. Bahkan tanpa pamit, sepengecut itu.
"Makasih ya Pak."
Bara hanya bergumam.
"Kalau dia berulah lagi beritahu Saya. Sekarang masuk, kunci pintu. Kalau ada apa - apa hubungi Saya."
Karina hanya mengangguk merasa salah tingkah. Apalagi setelah mendengar ucapan Bara tadi.
Aneh memang, padahal selama ini, selain perasaan kesal pada bosnya dia merasa biasa saja, mungkin.
Tapi kenapa sekarang berdiri di depannya saja terasa canggung?
Karina melempar tasnya sembarang kemudian menjatuhkan tubuhnya ke atas tempat tidur.
"Lo kenapa sih Kar. Itu cuma pak Bara, cuma," desisnya.
Karina menggeleng. Mungkin ini cuma efek lelah dan terlalu lama dan sering di dekat Bara, pikirnya.
Ia membuka ponsel ada satu pesan dari Bapaknya baru saja masuk.
[Assalamualaikum. Karina jadi pulang Haul ibu?]
Karina langsung mendudukkan dirinya. Kenapa dia bisa lupa dengan peringatan kematian Ibunya.
[Waalaikumsalam. Insyaallah Pak. Nanti Karina izin, minta cuti dulu]
Tak lama pesan terkirim, telpon Karina berdering.
"Assalamualaikum Pak."
"Waalaikumsalam."
"Bapak kok belum tidur?"
"Ini masih nemanin bunda nonton tivi. Kamu baru pulang?"
Karina sebenarnya tak ingin menjawab jujur, tapi berbohong juga tak baik.
"Iya Pak. Bapak apa kabar?" tanyanya. Merasa tak enak selama ini jarang pulang mengunjungi orang tuanya.
" Alhamdulillah sehat. Kamu sendiri gimana sehat?"
" Alhamdulillah sehat juga Pak."
Hening sesaat.
"Nak..." panggil bapak, hendak memulai obrolan yang agak serius.
"Sekarang usaha Bapak sudah stabil. Hutang bank juga akan segera lunas, jadi lebih baik Kamu berhenti bekerja dan istirahat di sini, Kita ngumpul lagi. Sudah cukup Kamu banyak berkorban untuk keluarga ini."
Orang tua Karina tahu betul betapa kerasnya gadis itu bekerja, pergi pagi pulang malam. Bahkan untuk pulang lebaran saja dia cuma bisa dua atau tiga hari. Sudah cukup usahanya selama ini, usaha Bapaknya sudah mulai meningkat apalagi sebentar lagi hutang mereka akan lunas dan juga kontrak kerjanya akan segera berakhir.
Jujur ia lelah. Masa mudanya habis untuk bekerja mencari uang. Mungkin memang sudah saatnya ia hidup untuk dirinya sendiri.