Mungkinkah

1423 Kata
******** "Hah." Lagi - lagi Karina mendesah, perasaannya terasa tak enak, serasa seperti ada yang mengganjal begitu. "Kenapa Lo Neng? Bengek mulu dari tadi Gue denger," tanya Tomi yang sejak tadi mendengar desahan napas berat Karina berulang kali. Karina menatap sinis. "Diem Lo," sergahnya. Mereka sedang makan siang di kantin. Selain Karina dan Tomi ada Sesil dan Farhan. Sementara teman nongkrong makan siang mereka yang lain pada makan di meja masing - masing karena deadline mendekati akhir bulan. "PMS apa ya?" Sekarang gantian Farhan yang mendapat tatapan sinis Karina. Ia sedang tak bisa diajak becanda saat ini. Sesil sih hanya menahan senyum karena sadar kalau Karina uring - uringan mungkin penyebabnya karena kejadian tadi. Ya, Bara pergi makan siang berdua dengan Anggun. Yap berdua, tapi yang Karina heran kenapa ia merasa kesal? Kenapa coba? Memang Karina ini siapanya Bara? Kan cuma sekretaris, apa haknya untuk kesal? "Oh ya. Kalian sadar gak sih kalai mbak Anggun sama pak Bara makin dekat akhir - akhir ini?" Sesil buka suara, niatnya mau makin memanasi karina biar temannya ini sadar kalau sebenarnya ia ada rasa dengan sang bos. Bisa - bisanya Sesil yang orang luar lebih memgerti perasaan Karina daripada yang punya perasaannya sendiri. "Hmm. Iya tuh." Tomi bicara sambil mengunyah makanannya. "Kalian pernah merhatiin pandangannya Anggun gak ke bos? Kayak penuh cinta gitu loh. Kayak gimana gitu." Mereka saling lihat. "Kadang sih. Pernah juga Gue ngelihat mereka pergi berdua, terus Mbak Anggun gandeng tangan pak Bara." "Sumpah Lo?" histeris Sesil mendengar ucapan Farhan. "Bener. Udah lama sih, beberapa bulan lalu. Terus ingat gak wacana tahun barunya tahun ini?" Mereka saling tercengang dan saling lihat, heboh. "Nikah, tahun ini," ucap mereka kompak dengan hebohnya. "Terus juga, Gue pernah gak sengaja ngelihat pak Bara lagi searching di situs perhiasan gitu, kayaknya lagi nyari cincin soalnya yang Gue lihat ada gambar cincin gitu." Ketiganya makin heboh setelah mendengar si raja gosip kantor mulai berkoar. "Sumpah Lo? Jangan - jangan?" Lagi - lagi mereka saling pandang. "Fix banget ini tahun ini Kita kondangan." Berbeda dengan ketiga temannya yang sibuk bergosip Karina justru hanya memainkan makanan dengan sendok tanpa minat, mendadak jadi lebih tak nafsu makan. "Yah walau mereka emang cocok sih. Menurut Lo gimana Kar?" tanya Farhan. "Hah. Mana Gue tahu." "Ekhem. Bete amat Kar. Kagak cemburukan ya?" goda Tomi. Karina melotot tak suka. "Ngomong aneh - aneh lagi Gue geplak Lo," ancamnya yang hanya ditanggapi dengan tawa oleh teman - temannya. Sampai jam makan siang berakhir, Bara tak kunjung kembali. Tadi Karina chat hanya dibalas, sebentar lagi sampai kantor. Enak ya jadi bos, bisa sesuka hati masuk kantor, dumel Karina. Tadi ia dipanggil bu Irda. Jadilah mumpung tak ada sang bos ia pergi menghadap. "Siang Bu," sapanya sopan. "Siang. Masuk Kar. Duduk sini. Santai aja jangan lagak - lagakan kayak karyawan baru deh Kamu." Karina tertawa, sepertinya hanya dia sendiri yang sesantai ini bertemu dengan kepala HRD. Biasanya karyawan lain yang dipanggil langsung itu kalau tidak bermasalah ya mau di PHK, tapi kalau Karina beda cerita. "Kita to the point aja ya. Jadi gimana udah Kamu pikirkan?" tanya bu Irda. Memang sebelumnya Karina diminta untuk memutuskan akan melanjutkan kontrak atau tidak. Padahal masih enam bulan lagi tapi sudah ditanyakan, karena apa? Ya itu, mencari sekretaris yang pas untuk Bara itu susah sekali. Dulu pernah Karina pindah ke divisi lain, eh tak sampai dua minggu Bara memintanya kembali lagi, mana diiming - imingi mobil, siapa yang gak mau coba, yah walau resikonya Karina harus kontrak langsung tiga tahun dengan isi kontrak sanggup mengikuti jam kerja bosnya. Sekarang sudah lima tahun berlalu, Karina sudah selelah itu, ia mau istirahat menikmati masa mudanya yang mungkin saja sudah hampir terlewat. Hutang orang tuanya akan lunas bulan ini, usaha milik orang tuanya sudah mulai bangkit lagi jadi sudah tak ada alasan mendesak untuk dia terus romusa dengan Bara hanya karena alasan gaji dua digit. Karina menghembuskan napas, mencoba melegakan pernapasannya. Dan dengan yakin ia mengambil keputusan. "Saya mau resign Bu," jawabnya mantap walau terselip rasa sedih di dalamnya. Karena saat ia resign nanti semua tak akan sama lagi. Bu Irda menatap nanar, setengah tak ikhlas karena akan kehilangan salah satu karyawan potensial, walau dirinya sendiripun akan mengundurkan diri. "Kamu yakin?" Karina mengangguk mantap. "Yakin," jawabnya pasti. "Kamu tahu, pak Alex nyuruh Saya nyegah Kamu resign loh. Beliau gak rela karena tahun ini Saya resign, Tomi resign, Kamu mau resign." Memang bu Irda akan segera resign juga karena dia harus ikut suaminya tinggal di luar negeri. Tapi Tomi? Pintu ruang bu Irda terbuka, nampak Anggun yang baru saja masuk, karena memang bu Irda beberapa hari ini satu ruangan dengan Anggun karena sudah ditetapkan kalau Anggunlah yang akan menggantikan bu Irda setelah Tomi menolak posisi ini. Sepertinya ia baru saja kembali. "Tomi mau resign juga Bu?" "Iya. Mangkanya itu Saya sekarang pusing, Nyari karyawan baru yang potensial itu susah, susah gampang." Karina tak habis pikir, kenapa juga tu si Tomi ikut - ikutan resign juga? Pantas saja ia menolak kenaikan jabatan. "Jadi Kamu sudah benar - benar mantap mau resign?" Lamunan Karina terbuyar kemudian mengangguk lagi "Iya," jawabnya. Ia sudah memutuskan tak akan menoleh ke belakang lagi. "Jadi Saya sudah bisa pasang loker ya." Karina mengangguk lagi. Karena memang proses mencari sekretaris tidaklah sebentar karena aturan di perusahaan ini kalau sekretaris mau resign, minimal rekrutmen harus dilakukan tiga bulan sebelumnya. Dan kasus Karina ini agak istimewa karena mencari sekretaris yang cocok dengam Bara agak sulit. Apalagi bosnya itu gila kerja, siapa yang tahan? Karina saja sebenarnya tak tahan. Ia bertahan juga demi bisa melunasi hutang yang jumlahnya tak main - main itu. "Iya Bu. Saya udah pasti akan mengundurkan diri." Setelah pembahasan soal pengunduran diri, Karina hendak kembali ke ruangannya saat tak sengaja ia malah kaget melihat Bara berdiri di dekat sisi pintu yang memang sedikit terbuka karena Anggun masuk tadi. "Uwaah. Kaget ih Pak." Karina mengelus dadanya Bara hanya diam memperhatikan Karina bahkan ia tak membalas ucapan Karina. "Kenapa Pak?" Karina agak was was kalau Bara akan mendengar obrolannya tadi di dalam. Takunya Bara berulah dan membuatnya batal resign. Karina menggeleng kecil, memangnya ia seistimewa apa sampai Bara tak rela kehilangannya? "Bapak ada perlu sama bu Irda?" Bara menggeng. "Kembali bekerja," katanya, kemudian berbalik, berjalan mendahului Karina yang refleks langsunh mengekor di belakangnya. Sampai menjelang sore tiba Bara tak keluar dari ruangannya, ia juga tak memanggil Karina. Jadi sepanjang sore ini pekerjaan Karina agak santai. "Bos ada?" tanya Tomi. "Kayaknya sih ada. Soalnya dari tadi gak kelihatan keluar." "Sip." Tomi mengetuk pintu, tanpa jawaban ia langsung masuk saja namun tak lama ia keluar lagi. "Kar," serunya. Karina yang sedang memainkan ponselnya mendongak. "Kenapa?" "Bos ketiduran tuh. Bangunin dong, Gue butuh tanda tangannya nih." Karina celingukan, berusaha melihat dari kaca yang tertutup kerai apakah Bara memang tidur atau tidak. Pantasan anteng, ternyata ketiduran. Ia berdecak. Bagus sekali hari ini Bara seperti lalai bekerja tak seperti biasanya. Karina akan beranjak masuk ke ruang Bara tapi urung ada sesuatu yang ingin ia tanyakan. "Jawab dulu pertanyaan Gue, baru Gue bantu bangunin pak Bara." "Ah elah. Apaan cepetan? Gercep, Gue udah ditunggu ini." Karina mendekat, celingukan dikit memperhatikan sekeliling agar apa yang akan ia tanyakan tak akan terdengar oleh orang lain. "Lo mau resign juga?" "Bu Irda yang ngasih tahu?" Karina mengangguk. "Gila ya Lo. Ngapaij resign? Dapat kerjaan yang lebih bagus apa gimana?" "Kagak. Bukan begitu." "Bukan begitu gimana? Jangan bilang Lo mau jadi pengangguran. Anak bini Lo mau dikasih makan apa?" Tomi mendesah pelan. "Ya enggaklah. Gue disuruh mengelanjutin bisnis keluarga, jadi yah gitu." "Bisnis? Bisnis apa? Ada loker gak?" tanya Karina iseng. "Yeee..." Tomi mendorong pelan kepala Karina. "Gaji jadi sekretaris gedenya bukan main malah mau ngacung di tempat Gue. Ada gila - gilanya emang Lo ini." Karina hanya melengos dan masuk ke ruang Bara. Bara sedang tertidur di atas kursi kerjanya. Badannya bersender di senderan kursi. Kepalanya sedikit tertekuk. Sebenarnya mungkin kondisi Bara memang belum pulih sepenuhnya mengingat ada penyakit lain selain usus buntu yang diderita bosnya. "Pak.." serunya pelan. Sepelan mungkin karena setahunya Bara ini gampang kaget saat dibangunkan. Dan kalau bangun tergesa biasanya akan pusing jadi sebisanya Karina selembut mungkin membangunkan Bara. "Pak?" serunya lagi sembari menggoyangkan sedikit badan bosnya itu. "Bangun Pak." "Pak," serunya lagi kali ini agak sedikit kencang. Karena kadung kesal karena Bara tak bangun juga, Karina hendak memanggil Bara tepat di telinganya tapi saat Karina menurunkan wajahnya sejajar telinga Bara, pandangan mereka justru bertemu, wajah mereka berjarak sangat dekat bahkan napas Bara terasa di wajahnya. ******** #Jangan Lupa Vote dan Komen. Follow juga akun author yak. Love you babe
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN