Mungkinkah (2)

1339 Kata
Badan Karina terasa kaku. Mata mereka saling mengunci sampai suara map yang terjatuh membuyarkan segalanya. Nampak Tomi sedang menganga di depan pintu. Seolah tersadar akan apa yang terjadi, Karina menarik diri. Begitu juga dengan Bara yang memperbaiki posisi duduknya. Tomi dengan cepat mengumpulkan kertas dari map yang ia jatuhkan. Ia tak menyangka baru saja melihat adegan bak drama korea yang diperankan Karina dan bosnya. Dan tentunya pula ia sudah tak sabar ingin bergosip ria. "Saya nggak ganggukan?" tanyanya sambil mengulum senyum. Ia baru saja menyaksikan hal yang akan menjadi gosip heboh abad ini di kantor mereka. Karina yang salah tingkah dengan buru - buru berjalan keluar, meninggalkan Bara dan Tomi. Ia menyentuh dadanya, wajahnya terasa panas,, jantungnya berdebar kencang. Karina duduk di kursinya, menarik napas dan menghembuskannya pelan agar detaknya kembali normal. Tomi keluar dari ruang Bara. Refleks ia langsung mengulum senyum lagi, menyipitkan matanya, seolah dari matanya saja sudah mencerminkan kata cie menggoda. Karina yang melihat Tomi langsung berdiri mencegat pria itu. "Awas ya kalau Lo jadiin bahan gosip," ancam Karina, karena ia paham sekali si raja gosip di kantornya ini akan segera berulah. Kenapa juga bisa pas begitu timingnya ada kejadian begitu dan terlihat si biang gosip. "Kenapa sih Kar?" Tomi tak bisa berhenti senyum - senyum sendiri. "Lo mau nyebar gosipkan? Udah tahu Gue dari tampang Lo itu." "Ini fakta bukan gosip. Kan benar kejadian, haha," tawanya semakin tak sabar ngerumpi mumpung belum jam pulang, ngeghibah langsung lebih afdol katanya daripada lewat chat. "Lo tu bisa tobat aja gak sih. Jangan bikin Gue malu deh." Tomi mencondongkan badannya sedikit ke arah Karina. "Lo sama bos ada apa - apa ya kan? Ngaku deh?" bisiknya. Karina menganga tak mengira Tomi akan mengucapkan hal itu. "Apaan sih Lo. Mau nyebar fitnah apa lagi hey." "Alah gak usah bohong. Uwu banget tadi ya tatap tatapan, berasa dunia milik berdua," goda Tomi. Karina yang gerah mendengar ejekan Tomi dengan geram membekap mulut lelaki itu. "Lo nyebar cerita yang aneh - aneh soal Gue sama bos, Gue rontokin gigi Lo," ancamnya. Ia hanya tak ingin menjadi bahan gosip tak jelas begitu. "Tadi itu gak sengaja. Lo juga yang minta tolong bangunin. Tahu terima kasih dong." "Iya, iya terima kasih Karina karena sudah membantu membangunkan bos. Dan terima kasih juga sudah memberikan tontonan yang...... eeemmm." Lagi - lagi Karina membekap mulut Tomi kali ini lebih bar bar. Tomi merintih atas kebarbaran Karina, bersamaan dengan itu Bara keluar dari ruangannya, menatap kedua orang itu aneh. "Kalian lagi ngapain?" tanyanya bingung dengan keadaan yang nampak ambigu tersebut. Mereka yang tadinya sedang bergelut menoleh ke arah suara dan langsung memperbaiki posisi mereka. "Gak ada apa - apa kok Pak. Kalau begitu Saya permisi." Tomi dengan cepat langsung kabur begitu saja dari Karina, sementara Karina masih memasang wajah sangar mengikuti arah Tomi pergi. "Ayo pulang," ajak Bara. Karina kembali menoleh ke arah Bara. "Pulang?" tanyanya tak percaya, kalau - kalau telinganya salah dengar, masih kurang satu jam lagi sebelum waktu pulang dan seorang Baradean yang tak kenal waktu bekerja ini mengajaknya pulang? Sungguh luar biasa, apakah akan terjadi fenomena alam? "Iya. Kepala Saya pusing." "Mau ke dokter aja Pak?" Bara menggeleng. "Saya tunggu di mobil." Bara berlalu meninggalkan Karina yang merasa heran dengan hal - hal aneh bin absurd yang terjadi dalam waktu kurang dari beberapa menit lalu. Menggelengkan kepala, bodo amat dan langsung bergegas membereskan mejanya karena ia tak mau membuat Bara lama menunggunya. Sesampainya di mobil, Karina langsung duduk di belakang kemudi karena Bara sendiri nampak terpejam di bangku sebelah. Sesaat Karina merasa ingin membawa Bara ke rumah sakit saja, kalau ternyata tumbang lagi kan repot. Mana bosnya itu belum benar - benar sembuh total. Karina menjalankan mobil sampai ke parkiran basement apartemen Bara, dengan ragu ia membangunkan kan sang Bos . "Pak. Udah sampai," katanya selembut mungkin. Bisa jadi kepala Bara pusing karena tadi bangun tergesa. Bara membuka matanya, kali ini sebisa mungkin Karina membangunkan bosnya itu dari jauh, jangan sampai hal macam tadi terjadi lagi. Apalagi sampai terlihat oleh orang lain. "Saya lapar. Masakin Saya sesuatu," pinta Bara. Karina tadinya mau kesal tapi urung begitu melihat wajah bosnya yang terlihat nelangsa itu. "Hosea gak ada Pak?" Bara menggeleng. "Dia lagi ke rumah temannya. Lagian kalau dia yang masak juga paling nasi goreng," jawabnya mengingat Hosea tak begitu mahir memasak. Menghembuskan napas pelan, ia mengikuti Bara masuk ke unitnya. Sementara Bara entah ke mana, mungkin ke kamar. Karina mulai memasak ala kadarnya dengan bahan yang ada di kulkas. Setelah masakan jadi, ia menatanya di meja makan. namun sudah sekian lama Bara tak juga kelihatan batang hidungnya. Tok tok tok... Karina mengetuk kamar Bara. Tak ada jawaban. Tok tok tok... Diketuknya lagi beberapa kali. Dan lagi - lagi tak ada jawaban. Karina mulai khawatir kalau - kalau terjadi sesuatu pada Bara. Apalagi kalau sampai pingsan seperti kemarin. "Pak?" seru Karina sambil mengetuk pintu agak barbar. Tak lama Bara membuka pintu, "Kasihan pintunya Kamu kasarin," katanya dengan wajah lempeng membuat Karina nyaris melongo. Kok dia jadi kesal begini ya? Niat dia kan baik, kalau Bara tumbang sendirian tanpa ada yang tahu gimana? Karina tak mau diinterogasi polisi hanya karena ia ada di tempat kejadian. "Kirain Bapak pingsan lagi kayak kemarin." Bara hanya memandangi Karina. Dari rambutnya masih menetes air. Nampaknya baru selesai mandi. "Udah selesai masaknya." "Hmm," jawab Karina. Bara hendak berjalan ke meja makan. "Bapak nggak mau ngeringin rambut dulu?" tanya Karina risih melihat rambut basah Bara. "Nanti juga kering sendiri," jawab Bara santai. Sudah entah berapa kali ia mendesahkan napas berat hari ini. Bara ini bisa saja membuatnya jengkel. "Nanti sakit loh Pak. Masih netes begitu airnya." Bara memegang rambutnya, namun ia nampak tak begitu peduli. "Hair dryer Bapak mana?" "Di dalam." Bara mengkode ke dalam kamar. "Mau Saya bantu keringkan?" tawar Karina. Daripada bosnya ini sakit lagi, bisa tambah repot dia. Bara tak menjawab jadi Karina menarik tangan Bara, membawanya ke dalam kamar. Mereka masuk ke dalam kamar. Sementara Bara duduk di atas karpet Karina dengan telaten mengeringkan rambut bosnya itu. "Rambut Bapak tebal ya. Lebih tebal dari rambut Saya. Kalau dipanjangin pasti bagus ini," komentarnya saat menyentuh rambut Bara. "Kalau saya panjangin nanti rambut Saya malah saingan lagi sama rambut Kamu." "Haha iya sih Pak. Kayaknya para kaum hawa di kantor insekyur deh sama rambut Bapak." tawanya. Masih dengan telaten mengeringkan rambut bosnya itu. "Kamu santai banget ya. Kamu sadar gak sekarang ada di mana?" "Di apartemen Bapak. Emangnya kenapa?" "Tepatnya di mana?" tanya Bara lagi lebih spesifik. "Di kamar Bapak," jawabnya kemudian terdiam. Merasa ada yang agak janggal karena ia jarang sekali masuk ke mari. Mau ngapain juga dia masuk ke kamar Bara. "Kalau begitu Kamu tahu kan kalau ini kamar seorang pria dan Kamu dengan santainya menarik tangan Saya masuk kemari." Karina menggigit bibir dalamnya. Ia juga heran kenapa dirinya tadi seberani itu, mana mereka cuma berdua lagi sekarang. "Ta..tapikan ini kamar Bapak, bos Saya," ucapnya gugup, ia jadi ingin segera keluar. Bara mencengkram tangan Karina, memutar badan menghadap sekretarisnya itu. "Apa di mata Kamu, Saya bukan seorang pria?" Karina terdiam tak tahu harus menjawab apa, jantungnya lagi-lagi berdetak begitu kencang sampai ia sendiri pun sulit untuk menahan nya. Karina hanya tak mengerti kenapa akhir-akhir ini bosnya ini sering membuat dirinya menjadi salah tingkah. "Pak, Saya..." Belum selesai Karina bersuara, Hosea muncul di pintu yang memang terbuka lebar. "Mas, ikan di atas meja di gondol Po.. Chi," ucapnya agak aneh melihat posisi mereka berdua yang duduk berdekatan saling menatap, belum lagi Bara sedang memegang tangan Karina. "Sorry, Aku ganggu ya?" tanya Hosea sedikit merasa bersalah namun senyum jelas terlihat di wajahnya. Karina yang tersadar langsung berdiri, melepaskan tangan dari cengkraman barat. "Ikan Gue," teriaknya, kemudian berlari keluar kamar menuju dapur dengan wajah memerah. "Karina. Kok bisa sih di satu hari yang sama Lo mengalami hal memalukan begini?" rutuknya setengah berterimakasih dengan kehadiran Hosea. ******** #Jangan Lupa Vote dan Komen ya biar makim semangat nerusinnya. Beri ulasan juga, Follow author ?? p.s : kalau ada typo harap maklum yak. Capek aku tuh menghadapi kerasnya mencari nafkah. eh malah curhat haha.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN