Keanehan Itu (2)

1800 Kata
#Warning di awal ya. Cerita ini Alurnya lambat jadi harap bersabar ? ******** "Sumpah Lo?" teriak Sesil, histeris setelah mendengar cerita Karina. Ya akhirnya Karina mau menceritakan kegundahannya akan hal aneh yang bosnya lakukan akhir - akhir ini. "Biasa aja kali, kedengaran tetangga entar, Heboh bener." "Eh sorry, sorry." Sesil duduk menghadap Karina. Sekarang mereka sedang dalam sesi curhat di atas tempat tidur. "Akhirnya ya tuhan, setelah bertahun - tahun kapal ini mulai akan berlayar juga." "Apaan dah, bahasa Lo." Karina mengambil bantal dan memangkunya, duduk sambil bersila. Sesil nampak antusias. Dari dulu ia memang sudah menduga kalau hal seperti ini mungkin saja terjadi, yah walau agak amat sangat lambat terjadinya. "Ya habis gimana lagi. Pertama yang paling jelas, pak Bara baiiiik banget itu cuma sama Lo. Ingat, mau Lo katain gimanapun tu orang gak ada marah - marahnya. Kedua, cuma Lo tu yang dibeliin ini itu. Sampai nih, belanjaan segini banyak dibayarin. Ketiga, dia mulai perhatian banget. Sampai kucingnya aja dikasih nama panggilan Lo. Bukannya itu pertanda ya kalau dia sengaja ngasih nama itu ke kucing biar selalu ingat Lo? So sweet gak tuh. Dan terakhir, bos makin sering mancing menjurus ke arah itu. Apa tuh bahasanya, ah cek ombak gitu, mana tahu Lo iyain kan ya," jelas Sesil panjang lebar. Karina tak mengerti, ia harusnya merespon seperti apa. "Tapi itukan dari sudut pandang Lo. Kalau dari Gue mah gini ya. Pertama, dia baik dan sesabar itu karena takut Gue resign, mungkin. Ingat Gue pernah nangis kejer di ruang HRD karena gak sanggup ngikutin cara kerjanya dia terus pas dicariin pengganti gak ada yang cocok? Nah Gue yakin itu alasannya." Karina menyesap coklat panas yang tadi dibuat Sesil sebelum melanjutkan ucapannya. Minum coklat panas di cuaca malam yang agak dingin ini membuatnya merasa lebih relaks. "Poin kedua, Gue akui pak Bara emang royal banget, tapi Lo tahu sendirilah karyawan bagian marketing siapa coba yang gak pernah dikasih hadiah? Sales aja ada yang diberangkatin umroh, dibeliin rumah dikasih motor, mobil. Bukan Gue doang," ucap Karina, tak merasa kalau itu adalah hal yang istimewa karena ia tahu Bara melakukan itu sebagai apresiasi atas kerja keras dari bawahannya, hanya sebatas itu. "Iya sih tapikan cuma Lo yang lebih sering dikasih." "Sering sih tapi abis itu si romusa. Mau Lo gantiin Gue?" Sesil dengan cepat menggeleng. Dia memang butuh uang tapi tak sebegitunya sampai harus mengorbankan seluruh waktunya untuk bekerja, kaya kagak, jomblo akut iya. "Terus yang Ketiga. Dia kasih nama kucingnya dengan nama Gue pasti sengaja, sengaja mau bikin Gue emosi. Masa nama Gue disamain sama kucing. Sweet dari mananya maemunah? Jadi bahan dia ngerjain Gue yang ada." "Ya sweetlah tzayang. Biar dia walau sudah pulang ke rumahpun tetap keingat nama Lo." "Emang kalau gak nyebut nama Gue sehari dia bakal lupa sama Gue? Malah bagus kalau lupa." Sesil mendesah pelan. Susah kalau punya teman yang kadang batu begini, susah diberi pencerahan. Lebih - lebih Karina sering jadi korban ghosting. Sejujurnya Karina sudah berpacaran beberapa kali selama menjadi sekretaris Bara, tapi ya itu kandas dan lebih buruknya bertemu dengan mantannya yang terakhir, tukang selingkuh dan rampok yang menguras tabungannya. Karina benci mengingat betapa bodohnya ia dulu. "Alzaimer beneran tu Bapak tahu rasa Lo." "Yee apa pentingnya ya buat Gue?" "Dasar nih bocah ya. Nanti kalau tu Bapak hilang ingatan dia bisa lupa juga dengan perasaanya sama Lo." "Jangan ngarang deh Lo, perasaan apaan? Perasaan pengen ngeromusa? Udah balik sana ke habitat Lo." Sesil berdecak karena Karina mengusirnya untuk pulang. "Eh. Kagak lihat Lo tas segede gaban Gue bawa? Mau nginap Aku tuh, berilah teman Lo ini tumpangan beberapa hari ini." "Lah tumben, biasanya Gue minta temenin Lo gak bisa." "Biasa. Ada sepupu Gue di rumah malas banget." "Yang baru nikah itu?" "Ho oh." Sesil mengangguk malas. "Yang baru nikah tapi udah hamil lima bulan. Ya tuhan amit - amit. Mana emaknya bangga banget lagi mamerin menantunya yang kuliah di Singapur." Karina hanya menggeleng pasrah melihat Sesil mulai ngedumel. Bukannya apa dirinya dan Sesil tak jauh berbeda, diusia yang hampir kepala tiga ini ada saja yang nyinyir soal pernikahan. Padahalkan mau menikah atau tidak toh mereka juga tak mau bantu membiayai. "Terus Lo kabur ke sini?" "Iye. Jadi Karina yang syantik, diriku, sahabatmu yang imut ini mau numpang menginap beberapa hari sampai tu keluarga demit pergi dari rumah Gue." "Serah Lo dah serah. Yang penting besok Gue nebeng ke kantor." "Siap." Sesil duduk tegap sambil mengangkat tangannya ke dahi, memperagakan sikap sempurna. "Mari Kita kembali ke pembahasan tadi ya. Emang Lo beneran gak ada perasaan apa gitu sama pak Bara?" Karina diam, berpikir sesaat. Sesil memperhatikan Karina, menunggu jawaban gadis itu yang ia yakin sedang gulana. Ia menaikkan bahunya. "Gak tahu." "Lo ini ya, perasaan sendiri aja gak tahu. Gimana mau peka sama perasaan orang lain. Pantes pak Bara cek ombak dulu." "Cek ombak, Lo kata BMKG?" Sesil berdecak. Tingkat kepekaan temannya ini ternyata memang seminim itu. "Hah. Semoga pak Bara bisa bersabar ya sama sikap Lo ini." Sesil menyentuh dadanya sembari menggeleng, seolah sedang memberi semangat pada Bara. "Apaan sih Lo? Belum tentu juga pak Bara suka sama Gue?" "Buka mata Lo Karina kapur barus. Buka lebar - lebar tu mata hati, mata kaki juga kalau perlu. Perhatikan baik - baik, pak Bara itu pasti suka sama Lo." "Kalau ternyata dia gak suka? Dan itu cuma halu Lo doang gimana? Gimana kalau ternyata nanti Gue baper eh ternyata perasaan dia gak seperti yang Lo bilang? Lo mau tanggung jawab?" jelas Karina. Bukannya apa, ia jadi sulit percaya dengan cinta setelah pacaran dengan mantannya yang terakhir itu, dimana saat ia pikir Dodi sangat mencintainya eh ternyata selama ini cuma memanfaatkan dan mempermainkannya saja. Dan bagaimana kalau setelah itu hubungannya dengan sang bos jadi canggung? "Ya usaha Karina. Kalau ternyata tu Bapak ganteng kagak punya perasaan spesial sama Lo ya tinggal Lo baperin." Karina yang sudah greget menggeplak kepala Sesil. Ia sudah tak tahan mendengar ucapan temannya ini. "Kalau mau bahas masalah ini lagi, mending Lo balik gih. Lo kata gampang baperin tu orang? Lo pikir ada berapa banyak jenis perempuan di sekeliling tu orang?" Sesil menghembuskan napas lelah. Kan temannya ini memang segitu batu dengan kepercayaan diri akan cinta yang minim "Hah. Kalau udah bebal tu ya bebal. Keburu ditikung mbak Anggun tahu rasa Lo." "Kenapa lagi bawa - bawa mbak Anggun." Sesil menempuk keningnya lelah, sebegini tol*lnya kah temannya ini. "Lo tahukan kalau pak Bara sama mbak Anggun itu udah sejak lama digadang - gadang sebagai couple goal setelah bos besar dan isterinya? Nah, gak nutup kemungkinan kalau mereka bakal beneran saling jatuh cinta. Apalagi mereka udah kenal lama, teman kuliah pula." Karina berpikir sesaat. Walau agak ragu juga yang ia rasakan ini sebenarnya perasaan apa kepada sang bos. "Ya baguskan kalau mereka beneran jadian, Gue turut berbahagia?" Sesil rasanya mau berteriak melihat respon Karina. Ayolah, Sesil saja tahu kalau Karina kemungkinan besar sudah ada rasa pada bosnya eh yang punya badan dan perasaan sendiri ini malah seperti orang kebingungan. "Yakin nih gak akan nyesel?" "Yakinlah. Kenapa coba Gue nyesel?" Sesil yakin sekali kalau Karina benar - benar belum sadar akan perasaanya sendiri. "Gini. Tadi pagi mbak Anggun bikinin teh herbal buat pak Bara. Terus di ruangan bos, dia lamaaaa banget gak keluar - keluar. Nggak tahu dah pada ngapain tu di dalam berduaan. Terus gak lama mereka pergi keluar berdua, Kira - kira mereka ke mana ya?" Karina terdiam. Mencoba mengingat sesuatu. Soal membuat teh sih wajar saja, kan Karina sedang tak ada, siapa lagi yang bisa dikacung?, pikirnya. Kalau soal pergi berdua? Tadi mereka bertemu di mall, tapi Bara bersama Rasya dan tak ada Anggun. Tak mungkinkan Sesil sengaja berbohong untuk memanas - manasinya? Tapi tunggu, Karina teringat saat masuk ke mobil Bara tadi saat Bara mengantarnya pulang, memang ada bau parfume wanita samar tercium. Apa mungkin tadi sebelum ke mall mereka memang pergi bersama? Tapi ke mana Anggun setelah itu? Karina memegang dadanya. Ada perasaan aneh dan tak enak yang terasa. Tapi ia sendiri tak tahu apa sebenarnya yang ia rasakan ini. ******** Karina terbangun dengan sekitar mata yang agak menggelap. Dia tak mengerti kenapa ia tak bisa tidur. Dirinya sendiri saja tak tahu kenapa ia terus kepikiran Bara pergi ke mana dengan Anggun. Padahalkan itu bukan urusannya. Tapi kenapa dia kepikiran? "Mau saingan sama panda Lo? Hitam amat tu bawah mata." Karina hanya mendesah pelan berjalan malas. Rasanya ia malas sekali mau berangkat bekerja, kapan ia tak perlu bekerja tapi punya banyak uang? "Kuy berangkat. Entar telat. Takut macet." Sesil sudah memanaskan motornya, mereka bersiap berangkat saat mobil yang sangat mereka kenali berhenti di depan pagar. "Wiiih.. Enak ni ada yang jemput, mau dong," goda Sesil melihat mobil Bara yang sepagi ini sudah menjemput Karina. "Apaan sih Lo." Bara mengklakson mobilnya tanda menyuruh Karina cepat menghampirinya. "Lo ikut mobil bos aja bareng Gue yuk," ajak Karina. Sesil hanya tersenyum mencurigakan. "Nggak deh. Gak mau ganggu Gue." "Ganggu apaan. Yoklah." "Makasih tawarannya. Tapi Lo mah enak balik nanti diantar juga, lah Gue? Sono dah Lo, tu bos ngelakson lagi. Buru." Karina berjalan misuh - misuh, entah kenapa rasanya ia malas bertemu Bara tapi yah bagaimana? Kan perkerjaannya mengharuskan mereka sering bertemu, selalu malahan. "Pagi Pak," sapa Karina. Bara memandang aneh ke arah Karina. "Pagi. Kamu kurang tidur ya?" Karina mengangguk tak semangat. "Nonton atau baca n****+?" tanya Bara, yang ia tahu kalau tidak karena nonton yah baca n****+ yang membuat seorang Karina begadang selain karena pekerjaan, tapikan kemarin Karina cuti jadi tak mungkin karena pekerjaan. "Nggak tuh," jawab Karina tak acuh, membuang pandangan ke arah luar jendela yang tiba - tiba terasa lebih menarik. "Terus? Telponan sampai subuh?" Karina menoleh ke arah Bara. Menatap pria itu dengan raut wajah sebal. Dia tidak bisa tidur karena kepikiran sikap aneh bosnya selama beberapa hari ini eh malah dituduh telponan sampai subuh. "Mau telponan sama siapa Saya Pak, sampai subuh pula? Mending tidur." "Siapa tahu sama yang kemarin," ucap Bara sembari menjalankan mobil. Karina tak menjawab. "Sesil nginap?" Karina hanya menjawab dengan deheman. Tak tahu mengapa ia rasanya kesal dengan bosnya ini, tapi tak tahu juga apa penyebabnya. Dan akhirnya mereka tetap diam sepanjang perjalanan. Karina berjalan ke pantry, hendak membuat teh untuk bosnya. Bara sudah dilarang keras oleh Karina tentunya atas saran dokter untuk minum kopi seperti biasa, jadi yah itu alternatif pindah ke teh, karena Bara sendiri tak suka s**u. Sesampainya di pantry sudah ada Anggun yang sedang meletakkan secangkir teh ke atas nampan. "Mau buat teh untuk Bara ya?" tanyanya. Karina mengangguk. "Gak usah. Ini Saya udah buatin teh herbal buat Bara." Dan entah kenapa suasana hati Karina makin terasa tak nyaman setelah mendengar ucapan Anggun itu. Padahal tak ada yang salah dengan kalimat itu kan ya? ******** #Jangan lupa Vote dan Komen ya guys. Biar makin semangat author up nya. Kalau bisa follow akun author juga ya ?
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN