********
Karina membolak balikkan badannya. Sepulang dari tepi pantai tadi ia merasa tak tenang. Tadi obrolan mereka terpotong karena hari mendadak berangin dan turun hujan jadi mereka buru - buru kembali ke hotel.
Karina juga jadi tak memiliki timing yang pas untuk menyambung obrolan mereka.
Kesal, ia melempar bantal sembarang. Hari sudah lewat pukul dua pagi dan ia masih tak bisa tidur.
"Lo kenapa sih Kar? Kenapa Lo nggak bisa tidur begini hey? Segitu keponya Lo sama siapa perempuan itu?"
Karina berguling lagi memberantakkan tempat tidur.
"Tapi siapa cewek itu? Siapa yang bisa melelehkan hati tu fosil purba?" Karina mendudukkan diri, mulai berpikir siapa saja perempuan yang selama ini dekat dengan bosnya.
"Apa mungkin anak pak Burhan?" Ia ingat tahun lalu pak Burhan CEO perusahaan sebelah menawarkan pernikahan pada bosnya Karina itu, dan beberapa kali Bara bertemu dengan perempuan itu.
"Masa sih? Kayaknya bukan deh. Apa mungkin?" Karina menganga ia mendadak ingat satu orang lain yang dekat dan sangat dekat dengan bosnya itu.
"Mbak Anggun," desisnya dan terselip rasa kecewa saat ia sadar kalau mungkin Anggunlah yang Bara maksud.
Karina berguling lagi masih tak terima dengan kesimpulan yang ia dapatkan.
Keesokan paginya, dengan lesu dan kurang tidur Karina turun hendak sarapan. Sementara Bara tadi mengabari kalau dia sudah sarapan duluan karena memang Karina bangun kesiangan dan sekarang ia sedang menemani Mr. Danis.
Karina sedang mengambil sarapan saat lagi - lagi ia tanpa sadar bertemu dengan Rani yang sedang menggendong putri bungsunya.
"Karina," panggilanya.
Karina agak meringis, dia sebenarnya tak mau bertemu Rani, untung saja Rani tak sedang bersama dengan tante Widya.
"Pagi Mbak."
"Boleh duduk di sini?"
Karina mengangguk mengiyakan.
"Sendirian aja. Bos Kamu mana?" tanya Rani, dan sendok di tangan Karina menggantung.
"Udah pergi duluan dia tadi sama klien."
"Kamu nggak ikut?"
Karina tertawa canggung. "Bangunnya kesiangan."
"Oh."
Mereka saling diam, fokus dengan makanan mereka.
"Dia kalau di kantor gimana?"
Karina menoleh ke arah Rani. Karina jadi berpikiran Rani sengaja mendekatinya.
"Kayaknya Mbak udah sering deh dengar keluhan Karina."
Rani tersenyum, matanya agak berkaca - kaca.
"Apa..." Rani hendak bertanya namun ia nampak ragu. Karina menunggu apa yang akan Rani ucapkan.
"Apa dia sudah menikah?"
Deg... Jantung Karina terasa berdesir, kenapa juga istri orang ini bertanya mantannya sudah menikah atau belum.
"Belum." Karina memperhatikan wajah Rani, sekali lihat saja ia tahu kalau orang di depannya ini masih memiliki perasaan pada bosnya. Jangan sampai bosnya itu menjadi perebut isteri orang.
"Apa Kamu tahu siapa pacarnya sekarang? Atau mantannya?"
Karina menggeleng.
"Apa dia tidak pernah pacaran?"
Karina ingin mengangguk tapi urung ia ingat ucapan Bara semalam kalau bosnya itu sudah punya seseorang di hatinya.
"Kenapa Mbak nanyain soal ini?"
Rani terdiam, lagi - lagi mengelus kepala anak bungsunya.
"Itu cuma untuk kepuasan pribadi. Mbak cuma berharap kalau Mbak tidak membuatnya trauma menjalin hubungan."
Karina akhirnya mengerti, dua orang ini sama terlukanya. Karena keegoisan sang ibu, Rani tidak bisa bersama dengan orang yang ia cintai, Karina bisa melihat cinta di mata sayu ibu dari dua orang anak ini.
"Mbak tenang aja. Saya yakin pak Bara baik - baik saja. Sudah ada orang lain di hatinya, dan juga nggak tahu itu becanda atau sungguhan, dia bilang dia mau menikah tahun ini. Jadi Karina harap kalian bisa bahagia dengan hidup kalian masing - masing."
Rani mengerti, dia harusnya sudah bisa melepaskan masa lalunya, karena sekarang ia tahu Dityanya bukan lagi miliknya, Ditya lelaki polos pekerja keras itu sekarang sudah menjadi Bara seorang direktur marketing yang sukses.
"Dia cerita sama Kamu tentang hubungan Kami?"
Karina tak menggelak.
"Mbak harap dia mau mengundang Mbak kepernikahannya."
************
Setelah pertemuan dengan Rani, Karina berjalan sendirian berkeliling sekitar. Bara belum menghubunginya dan mau ke tempat bosnya ia tak tahu ke mana perginya Bara.
"Kamu mau ke mana?"
Karina terperanjat, Bara tiba - tiba muncul entah darimana.
"Bapak ngangetin ih."
"Kamu kenapa ngelamun?"
"Ngelamun? Siapa yang ngelamun?"
"Saya manggil Kamu dari tadi tapi Kamu nggak noleh - noleh.
Karina menggaruk kepalanya, memang sih sejak tadi ia tak fokus, entah karena ia kurang tidur atau karena rasa kesal saat mengingat kesimpulan yang ia tarik semalam.
"Maaf. Bapak dari mana?"
"Nemenin Mr. Danis ngopi."
Kening Karina mengerut. "Bapak nggak minum kopikan?"
"Masa ke tempat ngopi, nggak ngopi."
"Pak!"
"Becanda. Saya cuma pesan jus kok."
Karina merengut, agak kesal. Bara memperhatikan wajah Karina.
"Kamu begadang? Kenapa mata Kamu begini?" tanya Bara melihat wajah lesu Karina.
Karina tak menjawab, masa iya dia mengakui kalau semalam dirinya tak bisa tidur gara - gara memikirkan siapa yang mengisi hati bosnya ini? Kan tensin.
"Cuma keasyikan scroll sosmed aja terus tidurnya larut."
"Lain kali jangan suka tidur larut."
"Menurut Bapak? Selama ini Saya kerja pulang jam berapa? Tidur jam berapa?" sindir Karina sambil merengut dan berjalan duluan.
Bara tertawa kemudian menyusul Karina. "Setelah ini nggak akan pulang larut lagi. Saya janji," ucapnya.
Dan Karina justru merasa kesal, apa karena bosnya itu akan segera melamar kekasihnya sampai mereka tak perlu lagi kerja lembur bagai kuda? Kalau iya bukankah Karina harusnya senang, tapi kenapa ia malah merasa kesal?
Karina tak menjawab lagi.
"Siang ini Kita mau ke mana Pak?"
"Kamu lupa kalau ada pekerjaan yang harus Kita selesaikan?"
Karina mendesah pelan, ia terlalu santai sampai lupa kalau mereka datang ke Bali bukan untuk liburan melainkan untuk bekerja.
Mereka makan siang di kamar Bara, mereka sedang merancang produk baru dan cara marketing yang akan dibahas saat meeting bulanan juga tentang kerja sama dengan Mr. Danis.
Karina sejak tadi tak bisa fokus, ia masih terngiang dan kepikiran siapa wanita itu, tapi ia juga tak berani bertanya langsung.
"Karina."
Yang dipanggil tak menjawab, ia malah terlihat bengong di depan laptopnya
"Karina," panggil Bara lagi sampil mengibaskan tangan di hadapan gadis itu.
Karina tersadar. "Iya Pak, ada apa?" tanyanya kaget.
"Are you ok?"
Karina mengangguk ragu.
"Kamu istirahat aja kalau nggak enak badan."
"Nggak Pak. Saya baik - baik saja."
Mereka kembali saling diam dan fokus dengan apa yang mereka kerjakan.
"Karina."
"Hmm."
Lagi - lagi gadis itu nampak tak fokus seperti sedang memikirkan hal lain.
"Kamu lagi mikirin apa?"
"Lagi mikirin siapa perempuan yang Bapak maksud semalam," jawab Karina tanpa sadar.
Bara terenyuh begitu juga dengan Karina yang mendadak tersadar karena merasa telah salah bicara, tanpa ia sadari ia malah jujur mengatakan apa yang ada di dalam benaknya.
Mata Karina membola, menatap Bara yang juga nampak kaget. Karina refleks menunduk, tak punya keberanian melihat langsung ke Bara.
"Kamu memikirkan..."
Belum Bara selesai bicara, Karina berdiri dan hendak keluar dari Kamar Bara, ia panik dan malu. Seharusnya ia bisa biasa saja dan beralasan tapi saat ini pikirannya terasa blank.
Melihat Karina yang mulai beranjak Bara dengan cepat berdiri dan meraih tangan Karina.
"Kamu nggak mau dengar siapa orang yang Saya maksud?"
Karina yang panik tak tahu harus menjawab apa selain menunduk. Kemudian mengumpulkan keberanian untuk tetap bersikap seperti biasanya.
"Haha.. Nggak deh Pak. Ngapain juga Saya tahu, haha," tawanya sumbang mencoba menutupi rasa ketar ketir dan tak nyaman di dirinya.
"Orang yang Saya maksud itu Kamu."
"Iya Pak. Mbak Anggunkan? Saya juga seharusnya udah tahu kalau perempuan yang Bapak maksud itu Mbak Anggun."
Karina terdiam, sepertinya mulai tersadar kalau yang ia ucapkan dan yang Bara ucapkan berbeda.
"Maksud Bapak?" tanyanya kaget.
Bara nampak tenang. "Kamu. Kamu yang Saya maksud."
Jantung Karina berdetak kencang, sesuatu dalam dirinya terasa begitu membahagiakan, seolah bersorak sorai.
"Bapak suka sama Saya?" tanyanya masih tak percaya, takutnya ia salah dengar.
"Iya Kamu. Apa Kamu mau menikah dengan orang seperti Saya?"
**********
#INIKAN YANG KALIAN MAU. WOY KAGAK VOTE DAN KOMEN TERLALU SIH ?
Misi udah Double Up yak.