********
Awalnya Bara kaget dengan tindakan tiba - tiba Karina namun kemudian ia membalasnya, membiarkan dirinya merasa nyaman di dalam pelukan itu.
"Jangan menangis. Saya bercerita bukan untuk membuat Kamu menangis."
Karina tersedu. "Saya bukan menangis untuk Bapak. Tapi Saya sedang menangis untuk Bara kecil yang pasti saat itu merasa sebatang kara."
Karina mengeratkan pelukannya, mencoba merelakskan diri untuk mengurangi tangisnya.
"Terimakasih karena sudah mau menangis untuknya."
Setelah beberapa saat, Karina seolah tersadar apa yang baru saja ia lakukan. Bara masih ada dalam pelukannya, ia mematung, bingung harus apa lagi.
"Sepertinya kesadaran Kamu sudah kembali," ucap Bara dan Karina cepat - cepat menjauhkan diri sembari mengusap matanya.
Ia masih sedikit tersedu, rasa malu mulai terasa.
"Maaf Pak. Saya refleks."
Bara tersenyum, tangannya terulur mengusap kepala Karina lembut.
"Kamu satu - satunya orang selain Rani yang mau menangis untuk masa kecil Saya." Mata Bara nampak sendu.
Perasaan Karina malah terasa aneh, rasa sedihnya tadi sekarang malah tercampur dengan rasa kesal entah kenapa, apa mungkin karena Karina tahu dia bukanlah orang pertama yang menangis untuk Bara?
"Bapak juga cerita sama Mbak Rani?"
Bara mengangguk. "Iya. Tapi Saya tidak memceritakan semuanya."
"Memangnya kenapa nggak semua?"
"Karena selanjutnya makin terasa sulit untuk diceritakan."
Karina terdiam, ia mengerti hidup sebatang kara, yatim piatu mana mungkin akan mudah, tapi Karina ingin tahu apa kelanjutannya, ia ingin tahu, ia ingin lebih tahu daripada Rani? Tapi kenapa dirinya merasa begitu?
"Kalau sulit lebih baik jangan Pak."
Bara menoleh padanya sambil tersenyum lembut. "Tapi Saya mau bercerita, Saya mau Kamu tahu semua tentang Saya."
Kening Karina mengerut tak mengerti tapi dia diam saja dan membiarkan Bara melanjutkan ceritanya.
"Memangnya setelah itu bagaimana?"
Bara menghela nafas. "Adik tiri dari Ibu Saya mengatakan mau merawat Saya. Jadi, Saya ikut tinggal di rumah mereka. Awalnya semuanya baik - baik saja. Mereka memperlakukan Saya dengan baik, memberi Saya makan yang layak, pakaian dan tempat tidur yang nyaman."
Karina bisa melihat senyum miris di bibir Bara.
"Tapi semua itu omong kosong. Mereka baik pada Saya karena ada maunya. Mereka, tanpa sepengetahuan Saya menjual rumah peninggalan Ayah dan setelah itu mulai mengabaikan Saya. Layaknya sinetron, mereka tidak pernah lagi memberikan Saya makan yang layak, bahkan tak peduli Saya makan atau tidak.
Kadang ada tetangga yang kasihan dan memberi Saya makan, tapi setelah itu bibi pasti akan memukuli Saya dengan gagang sapu dan mengatai Saya pengemis.
Kadang Saya yang kelaparan diam - diam mengambil makanan mereka dan hasilnya Saya dikurung berhari - hari di dalam gudang dengan hanya diberi air dan nasi sisa kemarin. Saya hanya anak berusia sembilan tahun yang bahkan tak bisa membela diri.
Terkadang juga Saya pergi ke hutan hanya untuk mencari pisang hutan atau buah mangga dan jambu untuk mengisi perut Saya, Kalau beruntung bisa dapat ubi atau talas. Dulu makan itu saja rasanya sudah sangat enak."
Bara mendengus, seolah jijik mengingat masa - masa itu. Sementara air mata Karina masih terus mengalir dan malah makin menjadi.
"Mereka tidak memberi Saya makan, tapi di depan orang lain selalu menjelekkan Saya seolah Sayalah yang tidak mau di urus. Saya bisa sekolahpun karena bantuan pak Usman, beliau guru sekolah dasar, yang membiayai Saya sekolah sampai tamat sekolah dasar.
Kadang Saya juga bekerja membantu orang di sawah, juga membantu memanjat kelapa di perkebunan. Saya paling senang saat ada hajatan dan bisa membawa makanan pulang. Di tengah jalan Saya akan makan semuanya sebelum sampai ke rumah. Dan saat sampai di rumah Saya malah di jewer karena memakan makanan yang seharusnya memang hak Saya."
Melihat Karina yang makin menjadi menangis karena mendengar cerita Bara. Bara menggusap pipi Karina, mencoba mengurangi air mata yang terus mengalir.
"Jangan menangis. Jangan membuat Saya menyesal menceritakannya."
Karina menggeleng. "Saya mau tahu semuanya, cerita seorang Baradean yang sampai bisa menjadi orang sukses seperti sekarang."
Bara tertawa kecil melihat kegigihan Karina.
"Yah. Singkat cerita akhirnya Saya bisa bertahan sampai lulus SMP dengan banyak bantuan biaya dari orang - orang yang kasihan dengan Saya tentunya. Lalu Saya iseng dengan modal nekat ikut program beasiswa untuk bisa melanjutkan sekolah. Dan syukurnya lulus di Jakarta. Saya sangat ingat saat mereka mengatakan ke Saya kalau saat Saya keluar dari rumah mereka, Saya tak boleh lagi kembali ke rumah itu.
Tapi Saya lebih baik mati daripada kembali ke mereka."
"Saya bersyukur saat di Jakarta yang keras ini Saya dipertemukan dengan banyak orang baik. Saya bisa tinggal di masjid hanya dengan membantu mereka merawat masjid, dibayar pula." Bara sedikit tertawa mencoba mengurai kesedihan Karina.
"Dan semuanya berjalan lebih baik daripada saat Saya tinggal bersama mereka dulu."
"Lalu kapan Bapak bertemu dengan Mbak Rani?"
Bara nampak berat untuk bercerita.
"Saat pertama masuk SMA. Dia gadis yang baik, dia seperti mengerti dengan apa yang Saya rasakan. Lambat laun karena sering bersama Saya jatuh hati padanya.
Awalnya Saya takut, kalau Saya nyatakan perasaan Saya, dia tidak akan mau lagi berteman dengan Saya. Tapi, daripada dia diambil orang lain lebih baik Saya duluan yang menyatakan perasaan, itulah yang Saya pikirkan.
Saya ingat, saat itu awal semester pertama saat kelas dua, Saya memberanikan diri dan dia rupanya juga punya perasaan yang sama dengan Saya."
Bara mendesah pelan. "Tapi Kamu tahu sendirikan bagaimana ibunya Rani? Mana mungkin beliau membiarkan anak satu - satunya bersama dengan orang yang ekonominya seperti Saya. Untuk makan sendiri aja sulit apalagi untuk memanjakan anaknya.
Tapi Rani tak pernah kesal ataupun marah walau ke mana - mana harus naik angkot dan jalan kaki. Dia tak pernah menolak walau hanya Saya ajak makan di pinggir jalan, bahkan walau Saya hanya bisa membelikannya gelang murahan.
Saat lulus SMA, Saya tidak bisa melanjutkan kuliah, lagi - lagi karena keterbatasan biaya. Ibu Rani yang sejak dulu menentang hubungan Kami semakin marah saat tahu Rani masih menjalin hubungan dengan Saya yang miskin ini di belakangnya.
Saat itu Saya masih jadi sales door to door yang gajinya bahkan tak cukup untuk makan dan membayar uang kos. Ibunya lalu mendatangi kosan Saya, Saya masih ingat semua cacian yang ia berikan pada Saya saat itu, semua hinaan itu membuat Saya ingin membuktikan kalau Saya ini pantas untuk anaknya. Lalu Kami putus kontak, sangat sulit menemui Rani setelah itu.
Dan di tengah perjuangan Saya, datanglah kabar kalau Rani dijodohkan dan akan segera menikah. Hati Saya hancur. Bahkan Saya tak bisa membandingkan diri Saya dengan suami Rani, lelaki itu seorang pegawai negeri yang memiliki penghasilan tetap setiap bulan.
Belum lagi keluarganya yang juga merupakan keluarga yang hidup berkecukupan, sedangkan Saya? Bisa makan besok dan tidak tidur di jalanan saja Saya sudah bersyukur.
Walau terasa miris, Saya juga bersyukur karena Rani mendapatkan suami yang bisa menjamin kehidupnya.
Saya tak tahu berapa lama berlalu sampai Saya bertemu dengan Hosea. Hidup anak itu hampir sama dengan Saya. Karena itu juga Saya mengangkatnya sebagai saudara. Saat itu pekerjaan Saya sudah mulai lebih stabil walau masih seorang sales, paling tidak sudah dapat gaji pokok bulanan."
Bara lagi - lagi tertawa dengan wajah sedih.
"Mungkin juga karena Saya membesarkan anak yatim, Allah jadi semakin membesarkan pintu rezeki untuk Saya sampai Saya bisa di posisi ini dan bisa hidup berkecukupan."
Karina menatap Bara. "Apa Bapak merasa bahagia sekarang?"
"Iya. Saya baik - baik Saja."
"Apa Bapak masih mencintai Mbak Rani?" tanya Karina. Jantungnya berdebar kencang saat menunggu jawaban dari Bara.
Bara menggeleng. "Tidak. Tidak ada lagi perasaan yang tersisa untuknya selain masa lalu, karena sekarang sudah ada orang lain yang mengisi hati Saya."
*********
#Eyaaa Author mah gitu, doyan gantung (*Isi komen dari j*****a dan Dreame haha)
#Vote Komen Woy. Lanjut nggak nih mumoung libur ?
BTW. SELAMAT TAHUN BARU GENGSSSS....
CIE YANG SETAHUN NUNGGUIN MEREKA JADIAN.....