Bara dan Karina (2)

1141 Kata
******** Karina mengedipkan matanya beberapa kali, ia masih belum sadar sepenuhnya. "Bapak ngelamar Saya?" tanyanya masih tak percaya "Iya," jawab Bara dengan tegas. Karina bingung harus merespon seperti apa. Kata - kata Bara jelas dan tegas, apa memang begini ya rasanya saat dilamar? Karina rasanya ingin berlari kencang sambil berteriak. "Serius? Bapak ngeprank ni pasti?" Karina mencoba tertawa tapi wajah serius Bara sama sekali tak bergeming. "Jadi, serius? Beneran?" "Tunggu di sini," ucap Bara kemudian ia berjalan ke arah tasnya, mengeluarkan satu kotak bludru berwarna biru berbentuk love. Bara membuka kotak tersebut, sebuah cincin berwarna rose gold dengan taburan berlian di atasnya nampak cantik bertengger di sana. Karina tak berkedip melihat benda itu. Bara memang sudah beberapa kali memberikannya perhiasan, tapi sejauh ini tak pernah memberinya cincin. "Bapak beneran ngelamar Saya?" tanyanya lagi masih tak percaya. Bara mengangguk mantap. "Iya. Saya mau Kamu menikah dengan Saya, jadi isteri Saya, menemani Saya selamanya dan menjadi ibu dari anak - anak Saya.. Kamu tahu sendiri Saya bukan orang yang romantis, tapi Saya harap Kamu mau menerima lamaran Saya." Otak Karina makin blank, jantungnya berdetak tak karuan, ia tak bisa berpikir tapi di sudut hatinya bersorak kegirangan. "Tapi Bapak yakin? Bapak tahu sendiri Saya gimana?" Bara tersenyum. "Justru itu karena Saya sudah tahu Kamu seperti apa." Karina bingung, ia benar - benar tak tahu harus apa. "Jadi perempuan yang Bapak bicarakan di pantai itu beneran Saya?" tanyanya lagi memastikan. "Iya, itu Kamu." Sekarang Karina mengerti kenapa sikap Bara semakin hari semakin terasa ambigu dirasakannya. Ia memang merasa perhatian Bara berlebihan untuk seorang bos pada sekretarisnya. Memang awalnya perhatian itu tak begitu terasa tapi semakin lama perasaan Karina terasa meluluh karena perhatian itu. "Tapi Mbak Anggun gimana?" Bara tertawa mendengus. "Apa hubungannya dengan Anggun?" "Kan kayaknya Bapak sama Mbak Anggun ada hubungan." "Hubungan apa? Kata siapa? Saya mana mau nikung pacar adik sendiri." "Yah mana tahukan....." Seolah tersadar Karina mendongak, menatap Bara penuh tanda tanya. "Ya? Apa Pak? Apa yang Bapak bilang tadi? Mbak Anggun pacar siapa?" Satu lagi fakta yang membuat Karina menganga. "Udah jangan bahas yang lain dulu. Tangan Saya pegal ini. Kamu mau pakai atau nggak? Atau mau Saya tutup lagi?" Melihat Bara yang bersiap menutup kotak cincin tersebut, Karina tanpa sadar cepat - cepat merebut kotak cincin tersebut. "Mau Saya yang pasangkan atau Kamu pasang sendiri?" tanya Bara. Seolah tersadar, Karina melihat kotak yang sudah ada di tangannya. Sepertinya tubuhnya bergerak lebih cepat daripada pikirannya. Dengan kagok ia mengembalikan kotak itu pada Bara. "Ya Bapaklah yang masangin, masa Saya masang sendiri," ucapnya dengan wajah yang memerah. Bara tersenyum senang, mengambil cincin tersebut dan menyematkannya di jari manis kiri Karina. Karina terus memandang ke arah tangannya. Selesai memasang cincin tersebut Bara menarik tangan Karina dan memberikan kecupan kecil di tangan tersebut. Karina mematung. Belum pernah ada pria yang melakukan hal ini padanya. "Ka..." Karina menarik napas dalam. "Kalau gitu Saya balik ke kamar Saya dulu," ucapnya berjalan cepat keluar dari kamar Bara. Bara tak mencegahnya, ia memberi waktu pada Karina menata kembali hatinya. Yang jelas Karina sudah menerima perasaan dan lamarannya. **************** "Hwaaaa.....," teriak Karina di atas bantal. Apa yang baru saja terjadi. Ia melihat ke arah jarinya, sebuah cincin melingkar manis di sana, wajah Karina kembali memerah saat mengingat apa yang Bara lakukan tadi pada tangannya. Karina menelungkupkan kepalanya di bantal dan mulai berteriak lagi, kakinya tak berhenti bergerak memukul - mukul kasur. "Karina Lo baru aja nerima lamaran? Lamaran loh ini, dari pak Bara pula. Bos Lo, gila, gila gila." Ia bingung, apakah yang ia lakukan ini sudah benar atau belum. Ia hanya mengikuti kata hatinya untuk berkata ya. Sejauh ini ia sudah mengenal bagaimana sifat bosnya itu, tidak sampai detail sih tapi ia tahu kalau Bara tak pernah berpura - pura di depannya. Karina yang kalut memilih menelpon Bunda, selain ingin memberitahu, ia juga ingin meminta saran. "Assalamualaikum Bunda," sapa Karina begitu video call tersambung. "Waalaikumsalam," jawab Bunda yang sepertinya sedang berjalan ke ruang tengah. "Pak Karina telpon." Kemudian wajah Bapak muncul. "Loh tumben siang Kamu bisa nelpon?" "Hehe. Lagi senggang aja Pak." "Kamu beneran lagi di Bali?" Karina mengangguk. "Terus mas Mu mana?" "Adalah Pak di kamarnya, masa di kamar Karina." "Cie yang sekarang ngakuin mas Mu." Karina kenal suara itu, jelas itu suara Susan. Karina tak mengelak seperti sebelumnya, ia justru mengangkat tangan kirinya, memamerkan benda berkilau yang baru beberapa saat lalu bertengger di jari manisnya. Bapak dan Bunda saling pandang kemudian kompak mengucap hamdalah. Karina bingung melihat reaksi keluarganya, Susan bahkan nampak histeris saat mengetahui adiknya baru saja di lamar. "Kalian tahu maksud Karina?" "Ya tahulah, berarti Bara sudah ngelamar Kamu." Karina makin bingung mendengar ucapan Bapak, matanya menyipit curiga. "Kok Bapak bisa bilang begitu." Lagi - lagi ketiga orang itu saling tatap dan menahan senyum. "Dek, dek segitu terang - terangannya Bara dekatin Kamu masih nggak ngerasa juga. Ya ampun, itu hati apa batu kali?" "Mbak. Iih apaan sih. Emang dia ngapain sampai terang - terangan? Kelihatan aja nggak." "Tuh lihat, Pak, Bun anak kalian tuh tingat kepekaannya mendekati nol." Karina mencebik kesal. "Udah - udah. Biar Bapak aja yang cerita." Bunda memberi instruksi. Karina makin bingung, cerita soal apa? Karina masih menunggu Bapak buka suara. "Bagini, Kamu ingatkan waktu Kalian mampir ke sini?" Karina mengangguk, mana mungkin dia lupa, itu pertama kalinya Bara datang ke rumahnya. "Waktu Bapak pulang dari masjid sama dia, dia minta izin sama Bapak untuk mendekati Kamu, dan dia berniat serius mau menikahi Kamu." Karina tak pernah tahu ada cerita seperti itu sebelumnya. Bukankan itu artinya Bara sudah lama merencanakannya. "Dia juga minta restu sama Bunda." "Sama Mbak juga," sambung Susan. "Dia tahu Kamu orangnya tidak bisa di desak jadi dia pelan - pelan membuka hati Kamu, karena dia tahu betul kalau terburu - buru Kamu malah akan lari menjauh," jelas Bapak lagi. "Jadi Pak Bara udah...." kalimat Karina menggantung dan hatinya sekarang terasa lebih yakin. Bara pria yang baik, ia mendekati Karina dengan niat yang baik dan tulus, pantas saja hatinya tak goyah dan yakin begitu saja menerima cincin dari bosnya itu. "Iya, dia pas ke sini udah ada niatan ngelamar Kamu. Malahan dia udah ngelamar Kamu duluan ke Bapak," jelas Susan. "Kapan?" Karina benar - benar tak tahu kapan Bara punya waktu bicara begitu, apa mungkin saat ia pulang dari masjid dan bermain catur dengan Bapak. "Duh ni anak. Ya malam sebelum Kalian balik ke Jakarta. Awalnya Mbak sama Bunda cuma tahu dari Bapak. Tapi malam itu pas Kamu udah masuk kamar duluan karena mau tidur cepat, Bara langsung to the point bilang maksud sebenarnya dia datang, dan bilang secepatnya akan menyakinkan Kamu. Tapi ternyata butuh waktu juga ya sampai Kamu terima," jelas Susan lagi. Sementara Bunda dan Bapak senyum - senyum sendiri membayangkan sebentar lagi mereka akan dapat mantu. ********** #Dah ye nah Tripel Up. #Vote dan Komen yak. Kasihan jempol author soalnya ngetik beribu kata haha...
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN