*********
Karina bersenandung senang sembari mengaduk teh untuk Bara.
"Senang amat Neng."
Karina menoleh, Farhan berdiri di sampingnya hendak menyedu kopi sasetnya.
"Iya dong, kerja itu harus penuh sangat."
Farhan menoleh ke arah Karina dengan tatapan heran, "Kesambet Lo? Sehat?"
"Sehat dong," jawab Karina penuh senyum tak seperti biasanya.
Farhan yang merasakan keanehan pada Karina langsung menempelkan tangannya ke kening gadis itu.
"Apaan sih." Karina menepis tangan Farhan.
"Lo yang kenapa Kar? Apa kiamat udah dekat? Kok bisa Lo bahagia datang ke kantor?"
Karina berdecak, memangnya selama ini separah itu ya dia mengeluh.
"Lagi senang aja Gue."
"Oh. Emang dikasih apa sama bos? Kok bisa sesenang itu?"
Karina meletakkan teh yang ia buat ke atas nampan dan bergeser hendak keluar dari pantry. "Ada deh," jawabnya kemudian ngeloyor pergi.
Karina masih bersenandung senang berjalan menuju ruang kerja Bara. Tadi Farhan bertanya apa penyebab Karina senang seperti ini? Memang apa yang diberi Bara padanya? Jawabnya tentu satu, Cinta. Karina merona mengingat hal semalam.
Dia sebenarnya agak malu karena bersikap kekanakan, mana bawa - bawa mantan pula, kalau Bara jadi kepikiran mendekati mantannya lagikan berabe, Karina baru saja membuka hatinya kembali, masa mau patah hati lagi.
Karina mengetuk pintu ruang Bara kemudian masuk begitu saja.
"Tehnya Pak," ucapnya sembari meletakkan cangkir yang ia bawa ke atas meja.
"Terimakasih," Bara tersenyum dan langsung mengambil gelas dan menyeruput tehnya.
Karina memperhatikan tampilan Bara hari ini. Pria itu hanya memakai kemeja putih dan jas yang sekarang tersampir di kursinya. Masalahnya itu Bara tidak serapi biasanya karena tumben - tumbennya bosnya ini tak memakai dasi.
"Nggak pake dasi Pak?" tanya Karina yang keheranan karena Bara yang selalu nampak rapi lengkap dengan dasinya hari ini tak seperti biasanya.
Bara meletakkan gelasnya kemudian membuka laci, mengeluarkan sebuah dasi berwarna navy, berdiri dan menyodorkannya pada Karina.
Karina menatap bingung apa maksud Bara.
"Buat Saya Pak?" tanyanya dan Bara langsung tertawa.
"Pasangin."
Karina menatap dasi dan Bara bergantian.
"Tapikan biasanya pasang sendiri."
"Belajar. Nantikan setiap pergi kerja, Mas mau Kamu yang pasangin Mas dasi," bisik Bara. Pipi Karina merona, Bara sudah memikirkan sejauh itu, kapan mereka akan menikah saja belum pasti.
"Tapikan Mas bisa pakai dasi sendiri."
"Jadi nggak mau nih?"
Karina yang melihat Bara hendak duduk kembali buru - buru mendekat dan mengambil dasi tersebut. Bara sedikit menundukkan badannya agar Karina bisa dengan mudah memasangkan dasi padanya.
"Tapi Saya nggak bisa pasang serapi Mas loh ya. Lagian kenapa nggak pake dasi instan aja sih," dumelnya, tangannya masih aktif menyimpul dasi.
Bara diam saja, ia fokus melihat ke arah wajah Karina yang nampak serius memasanginya dasi.
"Nah sudah." Karina tersenyum melihat hasil karyanya. Kemudian ia mendongak dan tatapannya langsung beradu dengan Bara.
Sesaat mereka terdiam saling pandang dan rasanya seperti ada magnet yang menariknya untuk mendekat, namun suara ketukan membuyarkan segalanya.
"Permisi Pak. Saya Tomi mau bertemu," ucap orang di balik pintu.
Karina salah tingkah. Apa yang baru saja ia pikirkan, kenapa ia jadi berpikir yang aneh - aneh. Sekarangkan sedang jam kerja, Bara sedang menjadi bosnya bukan calon suaminya.
Bara berdehem kemudian menginstruksikan Tomi untuk masuk.
Tomi yang baru saja masuk merasa ada suasana yang aneh dengan dua orang di hadapannya.
Karina buru - buru permisi keluar dan langsung menutup pintu. Ia mengipasi wajahnya yang terasa panas. Dia benar - benar seperti remaja yang sedang dimabuk cinta.
"Kenapa Lo?" Karina terperanjat, Marta tiba - tiba saja muncul di hadapannya.
"Nggak kenapa - kenapa," jawab Karina agak terbata.
Marta menaikkan alisnya. "Habis kena marah ya?"
Karina tanpa berpikir langsung mengangguk saja, tidak mungkinkan dia mengaku kalau hampir saja melakukan hal tak sepatutnya di kantor, di jam kerja pula.
"Yah gitu deh. Lo sendiri ngapain ke sini?"
"Biasa." Marta mengangkat berkas di tangannya, Sintia sedang cuti melahirkan jadilah Marta yang sementara mengemban tugasnya.
"Oh. Ada Tomi di dalam. Bisa tunggu bentarkan?"
Marta mengangguk, Karina duduk di kursinya sementara Marta duduk di kursi tunggu.
"Oiya Lo udah dapat kabar belum? Bu Irda akhir bulan ini terakhir kerja."
"Hah? Serius Lo? Bukannya masih bulan depan ya?" Karina agak kaget karena setahunya bu Irda akan resign paling tidak seminggu sebelum kontraknya habis.
"Dipercepat katanya. Tapi beliau nggak mau kasih tahu alasannya. Sebel deh satu - satu pada resign. Bu Irda, habis itu Tomi, Elo juga."
Iya juga dalam waktu tiga bulan berturut - turut ada saja yang mengundurkan diri.
"Eh tunggu. Kok Lo tahu Tomi mau resign?"
Marta mendesah pelan.
"Ini anak satu. Udah berapa kali tu si Tomi ngasih tahu. Fokus mangkanya."
Karina mencebik, memang sih belakangan ini ia jarang membuka grup chat dan jarang berkumpul dengan teman kantornya, jadi ia sepertinya banyak ketinggalan gosip baru.
"Terus apa rencana Lo abis resign?"
Karina berpikir sesaat, apa ya? Dia memang ada rencana akan menikah tapikan Bara belum memberi kepastian kapan dirinya akan melamar Karina secara resmi.
"Jadi ibu rumah tangga kali ya."
Marta tertawa, "Cari calon suaminya dulu soni, baru jadi ibu rumah tangga," ucapnya.
Karina manyun, belum tahu saja mereka kalau Karina sudah diikat pakai cincin mahal.
"Puas amat Lo ketawa."
"Haha sorry, sorry. Lo kelamaan sama pak Bara mulu, jadi ngejomblo terus dah Lo kayak beliau." Karina mencebik walau dalam hati bersyukur juga belum ada yang menyadari hubungan mereka.
"Oiya. Lo yakin keluar dari sini mau nganggur aja? Tomi noh anak sultan, bakal bos. Bolehlah minta job sama dia."
Mereka masih berbincang dan tak lama Tomi keluar dan Marta pamit masuk ke ruang Bara.
Sampai siang tak banyak yang Karina kerjakan, entah kesambet apa sampai pekerjaannya sesantai ini.
Intercome di atas mejanya berbunyi, dan Karina lekas menekan tombolnya.
"Ke ruangan Saya," ucap Bara dan panggilan berakhir.
Karina menarik napas dalam dan beranjak ke ruang Bara, ia mengetuk dan kemudian masuk.
"Iya Pak. Ada perlu apa?" tanyanya formal, Bara sedang duduk di sofa sembari menyekrol tabnya.
Bara menatapnya sebentar kemudian mengamitnya agar mendekat ke arahnya.
Karina bergeser mendekat, biasanya kalau Bara mengkode begitu ada yang mau pria itu perlihatkan padanya dari layar tabnya.
Kening Karina mengerut, layar tab Bara menunjukkan deretan perhiasan di suatu web produsen perhiasan.
"Kenapa Pak?" tanyanya agak bingung.
Bara tersenyum, tingkat kepekaan Karina ini memang belum ada kemajuan juga.
Tubuh Karina serasa tertarik dan saat ia sadar ia justru sudah terduduk di atas pangkuan Bara. Matanya melebar karena kaget.
"Pak, sekarang lagi jam kantor. Kalau ada yang lihat gimana?" Karina mencoba bangun namun Bara menahan tubuhnya.
Ia tak menyangka Bara bisa seberani ini melakukan hal seperti ini di kantor dan di jam bekerja pula.
"Siapa yang mau lihat?" ucapnya kemudian bersender di sandaran kursi.
Karina melihat ke arah kerai dan syukurnya tertutup rapat. Pintu juga tertutup, sejauh ini tak ada yang tak sopan masuk begitu saja ke ruang Bara.
"Tapi kalau ada yang curiga gimana?"
Karina menunduk malu, dia memang sudah beberapa kali pacaran, tapi baru kali ini ia melakukan hal seintim ini, ingat mereka belum menikah.
"Selagi nggak ada yang dobrak pintu, aman."
Karina percaya saja, toh siapa juga yang berani bersikap tak sopan? Kalaupun ada hanya ada satu orang yang berani melakukan hal itu.
"Terus Mas mau lihatin apa ke Aku?" tanya Karina, jantungnya berdetak tak karuan, tindakan Bara makin lama semakin agresif walaupun begitu Karina justru malah merasa senang?
"Mas mau pesan cincin pernikahan, tapi maunya Kamu yang pilih."
Cincin pernikahan? Wah Bara bahkan sudah berpikir sejauh itu, padahal mereka belum benar - benar membicarakan soal kapan tepatnya pernikahan itu akan berlangsung.
"Aku yang pilih?"
Bara mengangguk, Karina melihat - lihat katalog perhiasan tersebut, tapi ia sama sekali tak bisa bepikir, bukannya apa berdekatan dengan Bara saja ia sudah degdegan apalagi dalam posisi seperti sekarang.
"Pelan - pelan aja pilihnya," ucap Bara.
Karina merasa tubuhnya terasa kaku. Mau bergerak saja ia agaknya tak berani, namun semua hal itu menjadi canggung ketika gebrakan terdengar dari arah pintu.
Braaakkk...
Pintu ruang Bara terbuka, menampakkan sosok satu satunya manusia yang selalu masuk ruang Bara dengan tidak santai, siapalagi kalau bukan Rasya yang menganga di depan pintu.
***********
#Holaa.. Author back....
#Vote Komen Woy.......
#BTW tgl 10 Author ultah. ucapin dong ??* Maksa. telat woy...