Setibanya di depan rumah Ganang dan Imanuela, Kenzi menarik napas panjang, mencoba menenangkan diri. Ia tahu bahwa emosinya harus terkendali jika ingin mendapatkan dukungan dari mertuanya. Pikirannya berkecamuk, membayangkan reaksi Ganang jika mengetahui kebenaran tentang keretakan rumah tangganya dengan Shakira. Dia bahkan membayangkan kemarahan Ganang ketika tahu Kenzi yang menyebabkan semua ini. Membuat Shakira meninggalkan rumah mereka. Tapi, Kenzi merasa harus tetap tenang.
Setelah beberapa saat mengatur napas, Kenzi akhirnya melangkah keluar dari mobil dan berjalan ke pintu depan. Ia mengetuk dengan hati-hati. Pintu terbuka, dan di sana berdiri Ganang, tanpa senyuman. Tatapannya datar, bahkan sedikit dingin. Kenzi langsung merasa bahwa kedatangannya mungkin tidak diharapkan, dan kecurigaannya semakin kuat. Shakira pasti ada di sini.
Sebelum Kenzi sempat mengutarakan maksud kedatangannya, Ganang langsung bertanya, "Mana Shakira? Apa dia tidak ikut?"
Kenzi kaget dengan pertanyaan yang dilontarkan Ganang. Namun ia berusaha menjawab cepat, berusaha tenang meski hatinya berdebar, "Dia tidak ikut. Aku datang ke sini tanpa sepengetahuan Shakira."
Ganang hanya mengangguk singkat, jelas tidak terlalu terkesan dengan kehadiran Kenzi. Pikirannya mulai berputar, mencari cara untuk melunakkan hati mertuanya. Dalam sekejap, Kenzi mengeluarkan dompetnya dan memberikan sejumlah uang kepada Ganang. "Aku baru saja mendapat bonus dari perusahaan. Aku ingat ayah juga sebagai orang tuaku juga."
Ganang terkejut tapi juga terlihat senang. Ia menerima uang itu tanpa melihat jumlahnya, lebih menghargai perhatian Kenzi. "Terima kasih, Kenzi. Saya menghargai ingatanmu ini."
Meskipun merasa lega, Kenzi tidak ingin berlama-lama. Ia sudah punya rencana. "Aku harus pamit, ayah. Shakira sudah menungguku di rumah."
Ganang sempat menawarkan agar Kenzi masuk dulu, namun Kenzi menolak halus, dengan alasan harus segera pulang. Ganang akhirnya membiarkannya pergi.
Saat Kenzi kembali masuk ke dalam mobil dan melaju menjauh, pikirannya tidak bisa berhenti memikirkan satu hal: Kemana Shakira pergi?
Di tempat lain, taksi yang ditumpangi Shakira perlahan berhenti di depan sebuah gerbang mewah. Sopirnya menoleh dan berkata, "Ibu sudah sampai."
Shakira memandang keluar jendela, bingung. "Apa Bapak nggak salah? Ini tempatnya?"
Sopir itu mengangguk sambil menunjukkan alamat yang tertera di aplikasi taksi online, "Alamatnya memang ini, Bu."
Shakira masih sedikit ragu, tapi akhirnya ia turun dari taksi, menyeret koper besarnya. Setelah sopir pergi, ia menatap gerbang besar dan megah itu dengan perasaan aneh. Benarkah ini tempatnya?
Seorang satpam yang berjaga di gerbang mengawasi Shakira dengan penuh rasa ingin tahu. Sambil meraih ponselnya, Shakira segera menelpon Nana. "Mbak, aku sudah tiba di depan gerbang. Apa benar ini alamatnya?"
Nana menjawab dengan suara tenang di seberang telepon, "Iya, benar. Tunggu sebentar, nanti satpamnya akan membantumu masuk."
Panggilan pun berakhir. Tak lama setelah itu, satpam mendekat, melihat koper besar yang dibawa Shakira, lalu bertanya, "Ibu siapa, ya? Mau bertemu siapa?"
Shakira menjawab dengan sedikit gugup, "Saya Shakira. Saya mau bertemu Mbak Nana. Tapi... sepertinya saya salah alamat."
Satpam itu tersenyum kecil. "Oh, nggak salah, Bu. Nona Nana memang tinggal di sini."
Shakira tertegun, sulit mempercayai apa yang didengarnya. Mbak Nana tinggal di sini?
Tanpa berlama-lama, satpam itu mengajak Shakira melewati gerbang besar tersebut. Begitu mereka memasuki halaman, mata Shakira terbelalak tak percaya. Pemandangan di depan matanya sungguh menakjubkan.
Halaman yang luas dan indah, dihiasi oleh lampu-lampu yang memancarkan sinar lembut, menyinari setiap sudut taman dengan sempurna. Pohon-pohon yang tertata rapi, kolam air mancur yang berkilauan, semuanya terlihat seperti dari dunia lain.
"Mbak Nana tinggal di sini? Aku nggak percaya!" pikir Shakira sambil terus melangkah dengan perasaan terpesona, matanya tak berkedip menatap sekeliling. Meski malam, tempat itu terlihat sangat hidup, seolah-olah menunggu kedatangan tamu istimewa.
Shakira merasa seolah memasuki dunia yang sama sekali berbeda dari kehidupannya selama ini.
Shakira mengikuti langkah satpam yang menuntunnya menuju teras rumah, sementara koper besarnya diseret oleh sang satpam. Suara roda koper menggesek jalan, menggema di antara kemewahan sekitar mereka. Shakira sesekali melirik ke sekeliling, kagum sekaligus sedikit canggung berada di tempat yang terasa begitu megah dan asing baginya.
Setibanya di depan pintu utama yang besar dan elegan, satpam itu menghentikan langkahnya. “Sudah sampai, Bu,” katanya sambil menurunkan koper Shakira dengan hati-hati.
Shakira mengangguk sambil tersenyum kecil. “Terima kasih, Pak,” ucapnya sopan.
Satpam itu hanya membalas dengan anggukan singkat sebelum berbalik dan berjalan kembali ke pos penjagaan, meninggalkan Shakira berdiri sendirian di depan pintu besar itu.
Shakira menarik napas panjang, berusaha menenangkan dirinya. Aku benar-benar di sini... pikirnya tak percaya. Sebelum ia sempat memikirkan lebih jauh, pintu besar itu mulai terbuka perlahan, membuat jantungnya berdebar lebih cepat.
Ia menatap pintu dengan penuh harap, menunggu siapa yang akan keluar menyambutnya. Cahaya hangat dari dalam rumah menerobos keluar, membuat suasana di sekitar semakin dramatis. Lalu, akhirnya, sosok yang ditunggunya muncul di ambang pintu.
Itu Nana.
Shakira langsung merasa sedikit lega, meski perasaan campur aduk masih menggelayut di hatinya. Mbak Nana benar-benar tinggal di sini... pikirnya sambil mencoba tersenyum. Nana yang melihat Shakira di depan pintu, segera menyambut dengan senyum lembut yang menenangkan.
"Sha... akhirnya kamu sampai juga," ucap Nana sambil melangkah maju, menatap Shakira dengan tatapan penuh pengertian.
Shakira mengangguk pelan, perasaannya masih sedikit tidak menentu. "Iya... Aku nggak percaya Mbak tinggal di tempat semegah ini," jawab Shakira lirih, matanya masih menyapu keindahan di sekelilingnya.
Nana hanya tersenyum tipis, lalu melangkah lebih dekat. "Ayo masuk dulu, Sha. Kita ngobrol di dalam," ajaknya lembut, sambil meraih koper Shakira dan membantunya masuk ke dalam rumah yang terlihat lebih besar dan mewah dari yang Shakira bayangkan. Namun dengan cepat Shakira mengambil alih kopernya lagi tak mau membebani Nana.
Nana mengajak Shakira menuju ruang tamu yang megah dengan sofa empuk berlapis kain sutra dan dekorasi kristal yang memancarkan cahaya lembut dari lampu gantung di atasnya. Namun, sebelum mereka sempat duduk, Shakira langsung mengangkat tangan, menolak dengan halus.
“Mbak, aku boleh menginap di sini?” kata Shakira, suaranya penuh harap dan sedikit ragu.