12 April 2016
Ian
Ada sebuah restoran kecil di pinggir jalan yang biasa dikunjunginya saat istirahat makan siang. Tempatnya tidak jauh dari sekolah dan Ian biasanya pergi ke sana dengan berjalan kaki. Setelah memilih tempat favoritnya di dekat jendela, Ian memandang keluar selagi menunggu kehadiran seseorang.
Tempat itu biasanya cukup ramai di jam-jam makan siang, namun hari ini beberapa kursinya masih terlihat kosong. Sementara orang-orang yang menyusuri jalanan besar di luar sana terlihat sibuk. Deretan toko di pinggir jalan telah dipenuhi oleh beberapa pengunjung yang berdatangan. Hari cukup cerah, namun Ian merasa berbeda hari ini.
Ian tahu bahwa hal ini akan terjadi. Ia sudah punya firasat kalau cepat atau lambat salah satu orangtua Sloane akan menghubunginya. Ian sudah memperhitungkan hal itu. Namun Ian belum mengatakan apapun tentang pertemuan itu pada Sloane. Bagaimanapun Ian ingin mendengar lebih dulu apa yang hendak disampaikan Ellary Gilbert dalam pertemuan mereka kali ini.
Tak lama kemudian Ian melihat sebuah ford biru memasuki halaman parkir di depan restoran itu dan sosok wanita dengan mantel biru dan jins gelap baru saja turun dari sana. Wanita itu selalu tampil modis dalam setiap kesempatan dengan rambut gelapnya yang diikat ke belakang sehingga menampilkan sudut wajah, tulang hidung, dan alis gelapnya yang tegas. Ellary adalah wanita kecil yang memiliki tubuh ramping dan berparas cantik. Tidak diragukan lagi bahwa paras cantik Sloane mewarisi paras ibunya. Ketika memasuki restoran, wanita itu entah bagaimana langsung melihat keberadaan Ian di sudut ruangan.
El, dengan pembawaannya yang tenang dan anggun, berjalan melintasi meja-meja kayu kosong hingga sampai di dekatnya. Setelah tersenyum pada Ian, wanita itu kemudian menjabat tangannya dengan kuat kemudian duduk menempati kursi di seberangnya.
“Terima kasih sudah meluangkan waktu untuk pertemuan ini,” ucap El dengan suara tegas.
Ian mengangguk, berusaha untuk terlihat sopan. “Tentu saja. Aku sangat senang jika bisa membantu. Kau ingin memesan sesuatu?”
“Kopi saja, terima kasih.”
Ian kemudian melambai pada seorang pelayan yang segera menghampiri mereka. Setelah mencatat pesanan, pelayan itu kemudian bergegas pergi untuk menyiapkan pesanan.
“Aku tidak mau membuang-buang waktu, jadi langsung saja. Putriku.. kau tahu.. Sloane. Dia.. bersikap sangat tertutup akhir-akhir ini dan itu benar-benar mengacaukan keadaan di rumah kami. Tapi aku melihatnya menemuimu akhir-akhir ini..”
Ian mengangguk pelan sembari dengan sabar menunggu wanita itu menyelesaikan kalimatnya.
“Itu sangat mengganggu mengetahui bahwa putrimu memilih untuk berbicara dengan oranglain tentang masalahnya ketimbang denganku - sebagai orangtuanya. Aku sudah mencoba untuk bicara baik-baik padanya, tapi dia tidak menyambut niat baikku untuk membantu. Jadi.. aku benar-benar ingin tahu apa yang sebenarnya dia alami. Dia pasti memberitahumu sesuatu, kan? Itulah sebabnya dia datang padamu. Dia mengizinkanmu - sebagai orang asing - untuk mengetahui masalahnya lebih dulu ketimbang aku sebagai orangtuanya. Aku hanya tidak habis pikir kenapa dia bersikap seperti itu. Sebagai orangtua, aku seharusnya menjadi orang pertama yang mendengarkannya..”
“Aku mengerti maksudmu, Bu..”
“Tolong, panggil saja Ellary.”
“Baik, Ellary. Aku menangkap maksud ucapanmu. Tapi pertama-tama aku ingin menegaskan padamu bahwa aku bukan orang asing. Aku adalah gurunya. Sudah menjadi tugasku untuk mengawasi murid-muridku, tidak terkecuali Sloane.”
“Ya, aku tahu,” wanita itu mengerutkan dahinya. Ketika pelayan datang mereka menghentikan percakapan dan menunggu selama beberapa saat hingga pelayan itu meninggalkan meja mereka.
“Tapi aku adalah ibunya - secara biologis aku adalah orang yang paling dekat dengannya. Dan itu benar-benar menyiksa ketika aku tidak tahu apa yang terjadi padanya..”
“Apa yang dikatakan Sloane ketika kau mencoba berbicara padanya tentang hal ini?”
“Dia.. memprotesku. Dia bilang kalau ini semua bukan tentangku dan dia memintaku untuk tidak mencampuri urusannya.”
“Kau tahu mengapa dia mengatakan itu?”
“Dia.. kurasa dia mengalami hari yang buruk. Itu saja.”
Ian mengangguk kemudian menyandarkan punggungnya di atas kursi sembari memutar gelas kopinya. Pada saat yang bersamaan El mencondongkan tubuhnya di atas meja dan berkata, “dengar! Aku tahu seharusnya tidak seperti ini, tapi kurasa aku berhak untuk tahu apa yang terjadi pada putriku.”
“Ya, kau memang berhak untuk tahu.”
“Apa yang terjadi padanya?”
“Aku ingin kau memproses informasi ini dengan tenang. Aku mungkin bukan orang yang pantas memberimu saran ini, tapi jika boleh aku berharap situasinya tidak akan menjadi lebih buruk setelah aku mengatakannya padamu.”
“Tentu saja tidak. Kau bisa memegang kata-kataku.”
“Aku percaya padamu. Kau orangtuanya, kau tahu yang lebih baik untuk dia.”
“Ya.”
“Benar bahwa dia sedang mengalami masa-masa yang sulit beberapa hari terakhir. Pertama tentang teman dekatnya.. Amy - kau tahu..”
“Ya, aku tahu itu.”
“Kedua, dia memiliki masalah soal hubungannya dengan Ethan, dan lagi.. dia punya kekhawatiran kalau dia sedang hamil sekarang.”
Raut wajah El seketika berubah, wanita itu menjadi pucat dan selama sesaat El duduk membeku di atas kursinya.
“Jangan terlalu memikirkannya, itu baru dugaan saja. Dia akan baik-baik saja..”
“Tidak.. aku tidak tahu itu. Kau yakin? Kenapa dia bilang begitu? Maksudku, dia tidak menunjukkan gejalanya..”
“Dia telat datang bulan sejak dua minggu terakhir..”
Lagi-lagi wanita itu duduk membeku di atas kursinya. El tampak seperti baru saja mendengar petir di siang bolong. Ada ketakutan sekaligus amarah yang tampak dalam raut wajahnya. Meskipun begitu wanita itu tidak bereaksi berlebihan. El masih duduk dengan anggun saat memproses semua informasi itu. Punggungnya menegak dengan kaku, wajahnya terangkat tinggi dan matanya berkedip lebih cepat seolah ia sedang berusaha menyingkirkan emosi yang dirasakannya saat mendengar kabar itu.
“Dia mengatakan itu padamu?”
Ian mengangguk, tiba-tiba merasa tidak nyaman di atas kursinya. Kemudian ia mencondongkan tubuhnya di atas meja dan berbicara dengan pelan.
“Sloane merasa takut untuk mengatakannya padamu atau suamimu. Dia berpikir kalau kalian akan menghukumnya jika tahu semua itu.”
“Apa dia mengatakan padamu siapa pelakunya?”
“Pelakunya?” Ian menyipitkan kedua mata.
El menelan liurnya dengan cepat. “Maksudku.. pria yang menyebabkannya..”
“Oh, dia tidak mengatakannya.”
El mengangguk. Kemudian menatap permukaan meja selagi memproses informasi itu.
“Putrimu membutuhkan seseorang untuk membimbingnya keluar dari kekhawatiran yang dialaminya sekarang, dan aku berharap kau tidak membahas hal ini secara langsung dengannya ataupun mendesaknya untuk mengatakan semua itu. Itu tidak akan berhasil. Jika kau ingin mendapatkan kepercayaan darinya..”
“Aku tahu apa yang harus kulakukan,” potong El dengan cepat. “Aku ibunya. Dan aku tahu bagaimana sikap putriku.”
Sembari tersenyum, Ian memutar cangkir kopinya yang sudah setengah kosong.
“Tentu saja kau tahu,” ucap Ian untuk menanggapi El.
“Apa ada hal lain yang dia katakan padamu?”
“Aku yakin kau sudah tahu semuanya.”
“Dengar! Apa yang kulakukan semata-mata kulakukan untuk Sloane, aku tidak memiliki niat lain. Aku menginginkan yang terbaik baginya dan kelihatannya, sebagai orangtua aku sudah gagal.”
“Kurasa belum. Dia masih menyeganimu sebagai orangtuanya, itu sebabnya dia terlalu takut untuk mengatakan apa yang dia alami.”
“Meskipun itu hal buruk?”
Ian mengangguk. “Terutama hal buruk.”
El tertegun. Ian mengamati ketika wanita itu meraih cangkir kopinya dan meneguk minumannya dengan cepat. El tampak gelisah. Ketidaknyamanan yang dirasakannya terlihat jelas.
“Baiklah.. terima kasih sudah memberitahuku. Jika aku tidak tahu, mungkin akan terlambat untuk memperbaikinya.”
Ian menyipitkan kedua mata. Ada sesuatu dalam kepalanya yang mendesak untuk disampaikan, tapi alih-alih mengatakannya, ia justru diam dan mendengarkan El.
“Bisakah bantu aku sekali lagi?” tanya El. “Tolong rahasiakan hal ini dari siapapun. Aku tidak ingin semua orang tahu apa yang dialami Sloane.”
Ada keheningan yang menjalar beberapa detik setelahnya. Selama beberapa saat Ian hanya duduk tertegun disana memandangi wanita itu selagi memikirkan ucapannya. Namun Ellary buka wanita yang dapat duduk tenang sebelum ia mendapat kepastian. Wanita itu tergesa-gesa ketika hal itu menyangkut dirinya dan orang-orang terdekatnya, Ian segera menyadari hal itu dengan cepat. Hingga ketika El menegurnya kembali, Ian akhirnya menyetujui permintaan itu.
“Aku tidak akan memberitahu siapapun.”
El mengangguk, merasa lega setelah mendengarnya.
“Terima kasih. Kuharap kau tidak keberatan kalau aku menghubungimu lagi dalam waktu dekat.”
“Aku akan berusaha membantu sebisaku.”
Jawabannya membuat wanita itu puas, tapi tidak cukup meredakan kegelisahan yang dirasakannya setelah mengetahui apa yang terjadi pada Sloane. Akhirnya, wanita itu pergi meninggalkan Ian dengan terburu-buru. Sementara Ian masih duduk di kursinya memandangi kepergian El dari balik jendela. Ford biru yang dikendarai El kemudian menghilang di ujung jalan, dan Ian mulai memikirkan percakapannya dengan El barusan.
Sekarang Ian sudah berhadapan langsung dengan wanita itu dan mendapatkan kesan yang tidak jauh berbeda dari apa yang dikatakan Sloane. Meskipun itu adalah pengalaman pertamanya berbicara langsung dengan Ellary, Ian dengan cepat menyadari ketakutan terbesar yang dimiliki wanita itu. Orang-orang mengatakan Ian memiliki kemampuan untuk membaca ketakutan seseorang dengan baik. Sementara Ian sendiri adalah orang yang tertutup. Sepanjang hidupnya, Ian berusaha menyamarkan dirinya sebisa mungkin. Ia tidak pernah mengizinkan seseorang untuk benar-benar mengenal dirinya. Hanya Amy Rogers yang membaca ketakutannya dengan baik. Ian sempat punya kekhawatiran wanita itu akan menggali lebih jauh, menguliti Ian sampai benteng pertahanannya tidak lagi tersisa. Tapi Amy sudah tewas sekarang, dan kelihatannya Ian akan baik-baik saja.