10 April 2016
Sharon
Rumput di halaman belakang rumah itu telah memanjang. Dahan pohon oak yang menyembunyikan tempat tinggalnya dari kebisingan di luar sana juga kian menunduk. Sebentar lagi dahan itu akan menimpa atap bangunan setinggi dua lantai yang ditempatinya selama hampir dua puluh tahun.
Sharon suka memandangi jalan setapak dari balik jendela kamarnya. Ia bisa duduk di atas kursi rodanya selama berjam-jam hanya untuk mengamati seekor burung bergerak dari satu dahan ke dahan lainnya dan mengepakkan sayap dengan gelisah. Jalanan di depan sana juga sangat kosong. Jarang ada pengendara yang melewati kawasan terpencil itu. Biasanya hanya sebuah mobil abu-abu yang dikendarai oleh pengemudi yang sama, keluar masuk area itu setiap pukul sepuluh pagi dan kembali pukul delapan malam.
Pukul sembilan adalah waktu tidurnya. Namun sebelum itu Sharon telah terbiasa memulai ritual malamnya sekitar pukul tujuh. Ia menghabiskan santapan malam, kemudian menelan lima butir pil yang sudah diresepkan oleh dokter untuk membuatnya tetap bernafas dan pergi tidur sebelum pukul sepuluh. Keesokan paginya Sharon akan dibangunkan pada pukul tujuh.
Di dalam bangunan tua yang cukup luas itu, ada dua perawat yang secara pribadi ditugaskan untuk mengurusnya. Emily, berusia sekitar akhir tiga puluhan, datang setiap pukul enam pagi untuk menyiapkan sarapan bagi Sharon. Wanita itu juga bertugas memandikan Sharon, menggantikan pakaian, dan juga membersihkan kotorannya. Sekitar pukul delapan, tugas menjaga Sharon kemudian digantikan oleh Nathan, pria berusia tiga puluh lima tahun yang pernah bekerja selama lima tahun di klinik. Laki-laki itu akan mengangkat tubuh Sharon dan mendudukinya di kursi roda, kemudian mengajaknya berkeliling selama satu jam setiap pagi.
Dua perawat itu-lah yang saling bekerjasama untuk merawat Sharon. Sejauh yang Sharon ingat, mereka-lah yang bertahan cukup lama diantara sejumlah perawat lain yang bekerja untuk mengurusnya. Mungkin karena Ellary akhirnya memutuskan untuk menaikkan bayaran mereka. Apapun kemungkinannya, Sharon mulai terbiasa dengan kehadiran mereka.
Selama dua puluh tahun menempati bangunan tua yang jauh dari kebisingan itu, ada beberapa hal yang diketahuinya secara pasti. Salah satunya adalah bahwa tempat itu tidak pernah berubah. Tidak peduli jika puluhan pekerja telah keluar masuk meninggalkannya disana, Sharon telah menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari bagunan itu. Siapa sangka ia akan menghabiskan hidupnya disana? Memikirkan cara untuk tetap bertahan selama mungkin dan menyaksikan dunianya memudar dari tahun ke tahun. Namun sejak kematian William Kenz, suaminya, kehidupan Sharon sepenuhnya berubah.
Ia dulunya seorang sosialita dan wanita sukses yang merintis kariernya disebuah galeri. Ia juga seorang seniman patung. Tidak hanya satu dari karyanya yang dipajang di galeri-galeri besar. Nama Sharon juga sering muncul di surat kabar. Di masa mudanya, kehidupan tampak penuh warna. Sharon sudah menghadiri belasan acara besar sepanjang kariernya, bertemu puluhan – bahkan ratusan orang penting yang memiliki keinginan untuk mempekerjakannya sebagai seniman mereka. Hingga pernikahannya dengan Will dengan tak terduga telah menjungkirbalikkan hidupnya. Ditambah lagi peristiwa kematian Will yang tidak wajar belasan tahun setelahnya.
Sharon masih bergetar setiap kali mengingat tajuk berita di surat kabar pagi itu: William Kenz, pemimpin dari perusahaan tambang, ditemukan tenggelam di dasar danau oak ketika sedang berlayar.
Tubuhnya bergelenyar, darahnya berdesir cepat. Sharon sudah punya firasat kalau hal itu akan terjadi, tapi ia mengabaikannya selama ini. William bukanlah laki-laki yang sama sejak Sharon menikahinya. Pria itu menunjukkan sikap aslinya yang tidak terkendali persis ketika Sharon melahirkan Ellary. Sejak saat itu, Sharon mendapati Will sering bekerja lembur dan pulang larut malam. Tidak hanya sekali laki-laki itu pulang dalam keadaan mabuk berat. Dan tidak hanya itu, Will juga sering memukuli Sharon untuk alasan sepele. Laki-laki itulah yang mengecam Sharon untuk meninggalkan pekerjaannya di galeri. Pernah sekali Sharon mengajukan perceraian karena tidak tahan dengan sikapnya yang suka mendominasi, namun laki-laki itu justru mengecam Sharon bahwa ia akan menyakiti Ellary dan tidak segan-segan untuk membunuh gadis malang itu kalau Sharon sampai meluruskan niat untuk bercerai. Akhirnya Sharon menyerah untuk melawan Will dan berpikir kalau mungkin suatu saat, ia akan keluar dari situasi itu di waktu yang tepat.
Namun, ‘waktu yang tepat’ rupanya hanya sebuah ilusi jika menyangkut Will. Karena bertahun-tahun setelahnya, Sharon mendapati dirinya terjebak dalam lingkaran setan yang dibentuk oleh Ben dalam pernikahan mereka. Selama itu juga Sharon belajar bahwa jika ia bersikap baik, maka tidak akan ada hal buruk yang terjadi padanya maupun El.
Sampai laki-laki itu ditemukan tewas tenggelam di danau. Pikir Sharon segalanya sudah berakhir, ternyata tidak. Karena tidak lama setelah kepergian Will, Sharon justru menjadi depresi dan mulai kecanduan alkohol yang mana hal itu memperburuk keadaannya. Dua tahun setelahnya, El membawa Sharon ke rumah sakit dan dokter memvonis gangguan psikis dalam dirinya. Meskipun Sharon hendak berteriak di depan wajah dokter itu dan mengatakan bahwa ia baik-baik saja, El justru menelan informasi itu bulat-bulat.
Putrinya-lah sendiri yang memasukkan Sharon ke rumah sakit jiwa, membuatnya dikarantina disana selama beberapa bulan sebelum secara semena-mena El memutuskan untuk menempatkannya di dalam bangunan tua terisolasi ini dan membiarkan Sharon menjalani sisa hidupnya di dalam sana sendirian. El tidak pernah mengizinkan Sharon untuk keluar dari sana selama bertahun-tahun. Sementara itu kondisinya kian memburuk. Untuk satu penyebab yang tidak diketahuinya, Sharon telah kehilangan kemampuan untuk berjalan. Sekitar dua tahun yang lalu ia juga mengalami keram yang membuat kedua tangannya mati rasa. Kini, diusianya yang hampir menginjak angka tujuh puluh satu, Sharon telah mengalami kelumpuhan total sehingga harus menghabiskan sisa hidupnya untuk duduk di atas kursi roda dan memandang keluar jendela.
Dua hari yang lalu, ketika ia tidak bisa menahan runitas menjemukkan itu lebih lama lagi, Sharon terpikir untuk melakukan percobaan bunuh diri dengan melempar dirinya ke luar jendela, namun aksinya dihentikan oleh Nathan yang kala itu secara tidak sengaja menemui Sharon sedang berusaha keras mendekati birai jendela. Karena cara pertama tidak berhasil, akhirnya Sharon mencoba cara lain dengan mogok makan, tapi sepertinya cara itu juga tidak berhasil karena rupanya mereka memiliki alat canggih yang dapat menyuntikkan cairan nutrisi ke dalam tubuhnya. Anehnya setiap kali Sharon menolak untuk menelan obat, ia merasa lebih baik. Seakan sesuatu yang berat baru saja diangkat dari tubuhnya.
Meskipun begitu hal itu tidak merubah fakta bahwa setiap kali terbangun dari tidurnya, Sharon ditampar oleh kesadaran bahwa ia tidak ingin menghadapi dunia. Malam yang dilaluinya dihantui oleh bayangan akan wajah Ben. Terjaga dari tidurnya-pun lantas tidak membuat Sharon merasa lebih baik. Ada suatu masa dalam hidupnya dimana ia merasa lebih baik jika segalanya berakhir disana. Tepat pada titik dimana Sharon sudah merasa putus asa untuk tetap bertahan. Namun hidup itu terasa seperti kutukan. Dengan menatap wajah putrinya, semua itu menjadi semakin jelas.
“Makan!” pinta El yang selama lima menit terakhir duduk di seberang meja makan sembari menjulurkan satu sendok yang terisi penuh oleh sup ke arah Sharon.
Untuk sejenak, Sharon memandangi wajah El sembari menelan liurnya. Kemarahan dalam dirinya membeludak setiap kali ia menatap wajah El. Ada satu alasan tentang mengapa Sharon begitu membenci putri semata wayangnya. Semua berawal dari keputusan El untuk mengurungnya di dalam bangunan tua itu sendirian. Dalam satu kesempatan Sharon suka membayangkan dirinya mencekik gadis kecil itu. Ada satu masa dimana Sharon benar-benar dihantui pilihan untuk menenggelamkan El yang kala itu masih bayi di dalam bak mandi hingga El tidak lagi bernafas. Tapi segera setelah kemunculan pikiran itu, akal sehat kembali menguasainya.
Kehadiran El di dalam pernikahannya dengan Will bukanlah sesuatu yang diharapkan Sharon - kecuali karena keluarga Woll bersikeras mempertahankan bayi itu dalam perut Sharon. Sharon tidak mau berpura-pura kalau ia pernah terpikir untuk menggugurkan janinnya. Hanya saja, jika berhubungan dengan keluarga Kenz, segalanya tidak akan jadi semudah itu. Setidaknya sampai bayi itu lahir ke dunia, dan untuk kali pertama Sharon menatap mata El yang besar dan sayup. Itu adalah sepasang mata paling indah yang pernah dilihatnya. Kebenciannya berubah menjadi suatu perasaan lain yang sulit dimengerti. Sharon sempat mengira kalau ia – pada akhirnya – sudah berhasil menerima kehadiran El dalam hidupnya. Tapi Sharon berubah pikiran dengan cepat segera setelah Will memukul kepalanya dengan keras dan menyumpahinya sebagai p*****r.
Laki-laki itu tidak waras – putrimu juga sudah hancur. Sekarang kau gila.
“Makan!” kecam El dengan suara keras.
Sharon kembali menatap El, kemudian melihat makanan di atas sendok yang dijulurkan El ke mulutnya. Pada saat itulah ia memalingkan wajahnya dan menolak makanan itu dengan cepat.
El yang kesal mengentak sendok di atas piring kemudian bergerak mondar-mandir di dekat jendela. Wajahnya memerah dan Sharon tahu persis ketika putrinya sudah marah. Sharon bahkan terpikir untuk membuat El semakin kesal. Dengan begitu ia mungkin bisa mendorong El untuk membantunya mengakhiri hidup.
“Aku tidak tahu apa masalahmu. Habiskan makanan itu atau kau tidak diperbolehkan keluar lagi.”
Wajah Sharon memanas, kedua matanya yang membeliak terangkat ke arah El.
“Tidak ada jalan pagi. Aku akan mengatakan pada Nathan agar mengurungmu sepanjang hari di kamar. Itu hukuman karena kau tidak menghargai usahaku untuk menyelamatkanmu dari dirimu sendiri.”
“Tidak,” bisik Sharon dengan suaranya yang serak.
“Ya, tentu saja itu akan terjadi. Aku sudah lelah denganmu. Aku punya masalah di rumah yang harus kuselesaikan, aku tidak butuh masalah lain untuk memperburuk keadaan. Sekarang, makan! Waktumu hanya lima menit.”
El kembali ke tempatnya di atas kursi kemudian menyodorkan sendok yang terisi penuh oleh sup ke mulut Sharon. Sharon yang kala itu merasa terancam akan menghabiskan harinya di dalam kamar akhirnya menurut untuk membuka mulut dan menelan supnya. Kedua matanya menatap lurus ke wajah El dan perlahan air matanya pun mengalir.
“Bisakah aku bertemu dengan cucuku?” tanya Sharon. “Aku ingin melihat wajahnya..”
“Tidak,” sahut El. “Kau tidak boleh menemuinya.”
“Kenapa?”
“Kubilang kau tidak boleh menemuinya. Kau tidak harus tahu alasannya.”
“Kau masih marah denganku..” ucap Sharon dengan suara serak.
El tidak mengatakan apa-apa. Kini wanita itu berjalan mendekati jendela sembari memunggungi Sharon. Kedua tangannya terlipat di depan d**a sedangkan matanya menatap lurus keluar jendela. Sharon tahu apa yang sedang dipikirkan El. Hanya disatu waktu tertentu ketika Sharon benar-benar mengenal putrinya adalah masa-masa dimana El mulai menutup diri dari Sharon dengan tidak mengatakan apa-apa. Sejak tahu apa yang dialami El, Sharon belajar untuk tidak menghakimi El dengan sikapnya. Bagaimanapun trauma yang dialami El dimasa kecilnya, bukanlah hal ringan yang dapat disembuhkan dengan mudah. Sharon jelas bukan ibu yang baik untuk El. Ia tidak bisa berharap El akan bersikap sebaliknya. Memang sudah selayaknya hubungan mereka sedingin itu. Terkadang Sharon berpikir kalau El hanya sedang berusaha menghukumnya. Jika benar, maka usaha itu cukup berhasil. Sharon tidak bisa merasa lebih menderita lagi ketimbang menghabiskan waktunya duduk di atas kursi roda, hidup sendirian di dalam bangunan tua yang terisolasi, mengubur mimpinya sebagai seniman patung ternama, dan menantikan ajalnya selagi menambakan harapan untuk dapat melihat wajah cucunya sekali saja.
“Ellary..” bisik Sharon di tengah rasa sakit hati yang menusuk dadanya. “Maafkan aku. Aku tidak pernah benar-benar membencimu..”
“Omong kosong!” bentak El dengan kasar. Wanita itu sudah berbalik menatap Sharon dengan kedua mata membeliak marah. Satu jarinya ditudingkan ke wajah Sharon.
“Jangan pernah berani mengatakannya lagi! Aku sudah muak mendengar omong kosongmu..”
“Aku ibumu..”
“Ya, memang. Tapi itu tidak menjadikanmu lebih baik dari siapapun. Kau dan suamimu adalah mimpi buruk. Aku tidak pernah memaafkan kesalahan kalian, begitupun omong kosong yang kau katakan. Jadi jangan pernah lagi kau mengatakannya.”
“Aku hanya ingin menemui putrimu, apa itu permintaan yang sulit.”
“Lebih baik dia tidak pernah melihatmu.”
“Jika kau begitu membenciku, kenapa tidak kau bunuh saja aku?”
Ada keheningan yang panjang sebelum kalimat berikutnya keluar dari mulut El sebagai bisikan pelan.
“Tidak, Ma. Kau terlalu berharga untuk itu.”
Kalimat itu tertanam dalam benak Sharon. Bahkan setelah menyaksikan kepergian El, Sharon masih bertanya-tanya maksud dari apa yang diucapkan El barusan.