11 April 2016
Mike
Bunyi telepon yang keras dari meja kerja membangunkan Mike dari tidurnya. Ketika menatap ke sekeliling, Mike baru tersadar kalau ia sudah tertidur di ruang kerjanya. Dari balik kaca transparan, para pegawainya sedang sibuk berkeliaran membawa tumpukan berkas di tangan mereka. Setelah mematikan telepon, salah satu pegawainya mengetuk pintu muncul untuk membawakan salinan cetak biru hasil kerjanya.
“Tolong letakkan saja di atas meja,” ucap Mike sembari mengendurkan ikatan dasinya. Pegawai wanita itu menurut kemudian berbalik menatapnya seraya berkata,
“Ada hal lain yang bisa kubantu?”
“Itu saja, terima kasih.”
Segera setelah pintu ruangan di tutup, Mike kembali menyandarkan kepalanya di atas kursi sembari menarik nafas panjang. Di layarnya muncul sebuah pesan dari klinik yang memberitahu Mike untuk segera menjadwalkan kunjungan selanjutnya mengingat migrain yang dialaminya semakin parah hingga membuat prodiktivitasnya berkurang akhir-akhir ini. Namun, alih-alih melakukannya Mike justru mengabaikan pesan itu dan terpikir untuk kembali ke rumah. Mungkin ia bisa mengambil waktu satu atau dua hari untuk istirahat, setidaknya sampai migrain itu benar-benar hilang.
Akhirnya setelah menghubungi salah satu pekerjanya untuk mengurus beberapa pertemuan yang seharusnya dihadiri oleh Mike siang itu, Mike memutuskan untuk pulang.
Hari itu cuacanya terasa lembap. Jalanan yang dilaluinyapun tampak basah. Angin bergerak kencang seolah saling berkejaran. Mike melalui jalan setapak yang biasa dilaluinya ketika hendak pergi menuju rel. Karena mobilnya masih diperbaiki, ia terpaksa harus menaiki kereta. Hal itu bukannya sesuatu yang buruk mengingat Mike sudah lama tidak berjalan kaki. Ia bisa memanfaatkan kesempatan itu untuk melatih kekuatan fisiknya.
Sudah dua bulan sejak terakhir kali Mike menyentuh air kolam berenang. Dua bulan terakhir sejak ia tidak merasa bugar seperti sebelumnya. Mungkin penuaan yang dialaminya memiliki pengaruh. Tapi Mike bahkan belum menginjak angka empat puluh lima tahun dan ia masih sanggup berjalan sejauh belasan kilometer.
Beberapa hari terakhir, pekerjaan di kantor benar-benar menuntut perhatiannya. Belum lagi masalah keluarganya di rumah. Kesempatan Mike untuk menikmati waktunya sendirian sangat tipis. Terkadang ia benar-benar merindukan masa-masa dimana ia mengunjungi kolam berenang setiap hari libur dan berlatih selama berjam-jam. Mike bisa berada di dalam air selama itu untuk melatih kemampuannya. Baginya kehidupan di dalam air sama menariknya dengan kehidupan di luar sana. Meskipun jarang mengelilingi dirinya bersama para remaja lain yang suka bersenang-senang, Mike menikmati waktunya untuk sendirian. Menurutnya berada di dalam air adalah terapi yang tepat untuk membantunya meluapkan seluruh emosinya tanpa harus melibatkan siapapun. Hanya ada Mike dan air yang tenang.
Mike memejamkan matanya saat membayangkan sensasi ketika tubuhnya tenggelam lebih jauh ke dalam kolam hingga ia bisa merasakan kakinya menyentuh lantai kolam dan ia duduk disana selama beberapa menit.
Kolam itu hening, airnya cukup jernih, dan setiap suara terasa kedap di bawah sana. Mike memejamkan matanya selagi berusaha mengendalikan nafasnya. Diam-diam ia menghitung. Detik demi detik yang berlalu di dalam air yang bergerak sangat pelan, namun Mike tidak cepat menyerah. Seseorang pernah mengatakan kalau ia terlahir untuk hal itu, dan Mike membuktikannya. Dua menit berada di dalam air dan Mike masih bertahan. Kemudian saat tubuhnya mulai bereaksi dan seisi kepalanya meminta Mike untuk naik ke permukaan, sejumlah ingatan acak bermunculan seperti segerombolan ngengat yang bergerak ke arahnya. Dengungannya sangat berisik dan kehadirannya mengganggu. Ingatan itu saling berebut untuk mendapatkan perhatiannya. Dalam salah satu ingatannya, Mike melihat wajah El yang tersenyum padanya. Bayangan tubuh telanjang El saat kali pertama wanita itu bersedia membuka diri untuknya. Mereka mengendap-endap masuk ke dalam pondok kayu diam-diam dan bercinta disana. El masih ragu-ragu dan malu, namun seiring berlalunya waktu wanita itu mulai terbiasa. Sejak saat itu mereka tidak pernah terpisahkan.
Mike memikirkan El bahkan saat berada di dalam air sekalipun. Selama hampir dua puluh tahun mereka menikah, Mike tidak menginginkan wanita manapun kecuali El. Hasrat yang dimilikinya terhadap El masih dalam kadar yang sama seperti kali pertama mereka berhubungan intim. Mengetahui bahwa El menyimpan kekecewaan padanya membuatnya kalut ketika hal terakhir yang diinginkan Mike adalah menciptakan kesan itu. Namun dua hari terakhir, El tidak berbicara padanya. Jangankan berbicara, mengangkat panggilannya-pun tidak. Mike tidak tahu kalau upayanya untuk menyembunyikan penyakitnya dari wanita itu bukannya memperbaiki suasana, justru membuatnya semakin memburuk.
Begitu kereta dari arah yang berlawanan melaju kencang, suara lengkingan mesinnya menyadarkan Mike dari lamunan. Sepasang mata birunya yang sayup kini memandang ke luar jendela, tepat dimana kereta di seberang rel begerak cepat dan menciptakan suara berisik yang berlangsung selama beberapa detik sebelum akhirnya benar-benar menghilang.
Kini ketika pandangannya tidak lagi terhalang oleh badan kereta di rel seberang, Mike menyaksikan barisan pepohonan dan pagar kawat yang mendandai perbatasan rumah penduduk dengan rel kereta. Di seberang sana, deretan bangunan bergaya victoria saling berdiri dalam jarak lima sampai sepuluh meter jauhnya. Deretan bangunan itu memiliki ciri identik yang sama. Kebanyakan diberi cat berwarna putih dan memiliki halaman depan yang cukup luas. Namun sebagian besar rumah itu sudah tidak berpenghungi. Persis di bagian rumah yang paling ujung dekat perbatasan hutan merupakan sebuah bangunan kosong yang sudah lama di tinggalkan. Hamparan dedaunan kering menyelimuti halaman rumahnya yang luas. Cat dindingnya telah usang dan mengelupas. Sementara itu atapnya mengalami kerusakan parah. Bagian samping bangunan itu sudah hancur, seolah-olah seseornag pernah berusaha menghancurkan bangunan itu. Puing-puingnya masih tersebar di atas tanah dan tanaman rambat tumbuh liar di dinding dekat jendela yang kusam.
Mike mendekat ke jendela kereta untuk melihat tempat itu lebih jelas. Disana ada sebuah celah pagar kawat yang sedikit terbuka. Celah itu memungkinkan siapapun keluar dari perbatasan dan mencapai rel. Jasad Amy Rogers ditemukan di sebuah rawa yang berada tak jauh disana. Siaran berita di televisi dan surat kabar juga mengatakan kalau Amy diduga sempat berkeliaran di sekitar sana karena jejak kakinya ditemukan tak jauh dari rel. Mike membayangkan Amy berlari menuju celah sempit itu dan melambaikan lengannya pada seseorang di dalam kereta. Apa yang hendak dilakukan wanita itu?
Disana juga ada sebuah pohon oak besar yang tampaknya sudah berusia ratusan tahun. Pohon itu sama sekali tidak berubah. Amy mungkin juga pernah berkeliaran di sekitar pohon itu. Wanita itu seolah sedang berusaha menghindara bahaya. Siapa yang sedang mengejar Amy? Kenapa Amy memilih untuk berlari ke hutan? Kenapa tidak menghubungi polisi saja dan meminta bantuan?
Pertanyaan itu menggantung di kepalanya sampai kereta bergerak meninggalkan deretan bangunan tua bergaya victoria itu dan tiba di stasiun. Saat itu Mike turun bersama belasan penumpang lainnya. Ia bergerak dengan lesu menuju pintu keluar dan baru saja hendak pergi menyusuri jalur setapak menuju rumahnya ketika Mike tidak sengaja bertemu sheriff O’Riley dan rekannya tak jauh dari rel kereta.
Ketika melihat Mike berjalan meninggalkan stasiun, dua petugas polisi itu langsung mendekat dan menghentikannya. Mike masih hanyut dalam pikirannya hingga petugas itu hanya berjarak beberapa meter jauhnya. Baru ketika sang sheriff menegurnya, Mike menghentikan langkah dan menatap mereka secara bergiliran.
Dengan kerutan di atas dahinya, Mike mengangguk pelan pada mereka kemudian menjabat tangan sang sheriff.
“Sheriff,” sapa Mike.
“Apa yang kau lakukan di stasiun? Dimana mobilmu?”
“Umm.. mobilku sedang diperbaiki.”
“Oh ya?”
“Ya, ada kerusakan di bagian tangkinya.”
Sang sheriff mengangkat kedua alisnya. “Sejak kapan?”
“Dua hari yang lalu.”
“Oh.. Jadi sudah dua hari kau naik kereta?”
“Ya, begitulah.”
“Kau sudah pulang bekerja?”
“Ya.”
“Bukankah masih terlalu awal untuk pulang?”
“Ya, memang. Kepalaku sakit jadi kupikir sebaiknya aku pulang saja.”
Kini sheriff O’Riley menyipitkan kedua matanya. “Sudah periksa ke dokter?”
“Ya.”
“Bagaimana hasilnya?”
“Itu hanya migrain. Dokter menyarankanku untuk mengambil waktu istirahat.”
Sang sheriff mengangguk. Kini Mike menatap dua petugas itu dan bertanya, “apa yang kalian lakukan disini?”
“Kami baru saja menyidiliki TKP.”
“Masih tentang Amy Rogers, ya?”
“Ya.”
“Apa kalian sudah mendapatkan petunjuk?”
“Ya, kurasa sudah ada kemajuan, tapi belum sejauh itu,” sahut sang sheriff. “Kau kenal gadis itu, bukan?”
“Ya, dia teman dekat putriku.”
“Apa kau tahu sesuatu tentangnya?”
“Selain bahwa dia teman dekat putriku?” Mike menggeleng. “Kurasa tidak.”
“Apa Amy sering berkunjung ke rumahmu?”
“Beberapa kali pada akhir pekan. Dia dan Sloane bisa mengurung diri di dalam kamar selama berjam-jam, kemudian dia pulang saat sudah malam.”
“Bagaimana dengan putrimu?”
“Ada apa dengan dia?”
“Apa dia baik-baik saja? Kudengar dia dan Amy Rogers sempat berseteru sebelum Amy dinyatakan menghilang?”
Kedua mata Mike menyipit, dahinya membentuk sebuah kerutan yang dalam. Mike tidak segera menanggapi pertanyaan itu, alih-alih tertegun sebelum akhirnya menanggapi sang sheriff dengan tenang.
“Ya, tapi putriku mengatasinya dengan baik. Aku tahu siapa dia. Dia gadis yang polos, dia tidak terbiasa dengan cara pertemanan seperti itu.”
Kini sang sheriff memiringkan kepalanya dan bertanya, “maaf? Bisa jelaskan maksudmu tentang pertemanan ‘seperti itu’?”
Mike mengedarkan tatapannya ke sekitar saat berusaha mencari penjelasan yang tepat. Akhirnya dengan tegas ia mengangatakan, “itu masalah remaja. Kau tahu apa yang dilakukan para remaja. Mereka umm.. mengalami pubertas seperti yang dialami semua orang, terlibat dalam suatu hubungan dengan laki-laki, dan mereka memiliki kenginginan tentang hal-hal yang sangat konyol. Kau tahu.. tapi putriku, Sloane, mengatasinya dengan baik. Aku tidak tahu bagaimana dengan Amy, tapi Sloane jelas tidak ada kaitannya dengan semua itu.”
Sang sheriff masih menatapnya tajam, tapi kemudian ponselnya berdering dan pria itu bergerak menjauh untuk mengangkat panggilan. Mike masih berdiri mengamati sang sheriff, sekilas mendengar isi percakapan di telepon yang menyebut-nyebut kalau terjadi penyerangan secara tak terduga dan penembakan oleh si pelaku. Seketika Mike menjadi penasaran tentang penyerangan itu. Tak lama kemudian sang sheriff memutuskan sambungan telepon dan berbalik pada rekannya. Mike tidak tahu apa yang terjadi, namun sang sheriff sempat mengatakan kalau seseorang telah menembak Ethan, keponakannya. Untuk alasan yang sama, Mike langsung menghentikan sang sheriff saat pria itu hendak bergerak masuk ke dalam mobil.
“Tunggu, sheriff! Ada apa? Siapa yang tertembak?”
Alih-alih menjelaskan situasi genting itu, sang sheriff hanya menepuk pundak Mike dan berkata, “ada situasi genting yang harus kami tangani, semoga migrainmu cepat berakhir dan tetap jaga putrimu, ya! Kami harus pergi sekarang.”
Mike tidak berusaha menghentikan pria itu lagi hingga mobil mereka berkendara cepat dan menghilang di ujung jalan. Sepanjang sisa perjalanannya kembali ke rumah, Mike masih berusaha menebak-nebak situasi yang terjadi. Siapa yang menembak Ethan? Dan apa Ethan baik-baik saja? Bagaimana dengan Sloane? Apa Sloane sudah tahu kabar itu?