10 April 2016
Billy
Jalanan terperangkap di bawah kegelapan yang pekat. Di kejauhan, pepohonan tinggi yang berbaris menuju bukit melambai saat tertiup angin. Cahaya keemasan yang redup berpendar dari lampu natrium di ujung jalan. Cahaya itu hanya meyelimuti sebagian jalan, namun dikalahkan oleh kegelapan yang pekat.
Tak jauh dari tempatnya memarkirkan mobil, ada sebuah gang sempit yang biasa dilalui para pejalan kaki. Gang itu diapit oleh dua bangunan yang dijadikan sebagai pabrik roti dan juga pombensin. Dari tempatnya di balik kemudi, Billy mengeratkan jaketnya selagi mengamati sebuah mobil yang baru saja melipir di dekat gang itu. Tak lama kemudian seorang pria keluar dari kursi penumpang kemudian melambai pada siapapun yang duduk di kursi kemudi sampai mobil itu melaju cepat meninggalkan jalanan.
Billy mengamati pria itu dengan seksama. Berambut hitam dan mengenakan sebuah jaket biru dan terusan jins gelap. Tingginya sekitar seratus delapan puluh senti dan wajahnya tampak familier. Meskipun saat itu tampak gelap, tidak butuh waktu lama bagi Billy untuk mengenali pria itu sebagai Ethan. Billy sudah membuntutinya selama beberapa hari terakhir untuk sampai pada kesimpulan bahwa bocah laki-laki itu – sengaja ataupun tidak – terlibat dalam kematian putrinya. Billy tidak harus mencaritahu lebih jauh. Ia punya sejumlah bukti untuk membenarkannya: foto-foto gadis telanjang yang disembunyikan bocah laki-laki itu di hutan, ingatan tentang malam ketika bocah itu mengendap-endap ke pekarangan rumahnya untuk menemui Amy. Billy juga punya firasat kalau bocah laki-laki itu telah memerkosa Amy, mengambil keuntungan dari putrinya sebelum menewaskan gadis itu tanpa rasa bersalah.
Beberapa hari terakhir Billy mulai memikirkan skenarionya: bocah itu melecehkan putrinya hingga hamil, mengambil foto tubuh telanjang Amy untuk disebarkan, kemudian saat Amy berniat melaporkannya, dia justru menyakiti gadisnya hingga tewas dan membiarkan jasadnya tenggelam dalam lumpur di rawa. Billy sudah tahu hal itu akan terjadi sejak pertama ia melihat bocah laki-laki itu berkeliaran di sekitar rumahnya. Meskipun bocah itu berpakaian rapi dan menyandang reputasi baik di kota sebagai keponakan dari sheriff, Billy tahu persis apa yang tersembunyi di dalam kepalanya. Sama seperti sang sheriff – bocah laki-laki itu berpikir dia bisa melakukan apa saja. Tapi tidak dengan Billy. Siapapun tidak bisa melangkahi Billy. Terutama jika hal itu menyangkut putrinya. Mereka yang berpikir dapat melakukan apa saja tanpa rasa bersalah pantas dihukum – seperti Danielle, istrinya.
Angin dingin malam mengetuk kaca pintu mobilnya. Billy mengawasi kepergian Ethan hingga bocah laki-laki itu terlihat berjalan sendirian memasuki gang sempit. Pada saat itulah Billy menyalakan mesin pikapnya kemudian berkendara memutar jalan untuk mengikuti Ethan.
Sekitar pukul sebelas lima puluh dua malam, Ethan terlihat berjalan menyusuri ladang milik keluarga Manson. Sementara Billy terus mengendarai pikapnya mengikuti Ethan di belakang.
Ladang itu tempat yang hening dengan sapuan angin lembut yang membelai ilalang. Jalanannya hanya berupa jalur setapak yang biasa dilalui mobil dan para pejalan kaki. Ketika mobilnya bergerak disana, cahaya lampu sen dari mobil itu menyinari hamparan rumput yang tersebar di kedua sisi jalan. Billy menjaga pikapnya tetap bergerak setenang mungkin hingga tidak menarik perhatian bocah itu. Kemudian ketika jarak mereka sudah semakin dekat. Billy menyeka keringat di dahinya sembari mengeluarkan sebuah senapan dari laci dasbor.
Tangannya bergetar saat memegang senapan itu, Billy tidak yakin ia siap. Tapi sudah terlambat untuk mundur. Ketimbang hidup dengan rasa penasaran, risiko perlu diambil. Akhirnya setelah membulatkan tekadnya, Billy menginjak pedal gas hingga pikapnya meluncur sampai ke samping bocah itu. Setelah kaca pikap di turunkan, Billy mengeluarkan tangannya dan menodongkan senjata ke arah bocah laki-laki itu seraya berkata, “hei kau! Jangan berlari atau aku akan menembakmu. Sekarang, masuklah ke dalam!”
Bocah laki-laki itu seketika terpaku. Rahangnya mengeras dan langkahnya terhenti. Ia tidak bergerak tapi bola matanya berputar dan bocah itu menatap Billy dari sudut matanya.
“Apa maumu?” tanya bocah itu saat berusaha untuk tidak panik. Namun Billy bisa merasakan ketakutan yang dialaminya saat ia dengan tegas menodongkan senapannya persis ke kepala bocah itu.
“Aku bilang, masuk ke dalam mobil!”
Bocah itu dengan waspada akhirnya menuruti apa yang diperintahkan Billy dan dengan cepat bergabung di dalam mobil. Setelah bocah itu sampai di dalam sana Billy masih menodongkan senapan ke wajahnya kemudian mencondongkan tubuhnya dan mulai menumpahkan amarahnya.
“Aku tahu apa yang kau lakukan..”
Bocah laki-laki itu tidak menatap Billy. Kedua matanya terus mengawasi senjata api dalam genggaman Billy.
“Sekarang beritahu aku, bagaimana kau membunuh putriku?”
Kini bocah laki-laki itu menggeleng. Dari dekat, di bawah cahaya remang-remang lampu mobilnya, bocah laki-laki itu tampak lebih dewasa dari yang diduga Billy selama ini. Mungkin beberapa tahun lebih tua dari putrinya. Tapi jelas kalau ia bukan remaja lagi. Mungkin usianya dua puluh tiga atau dua puluh lima tahun. Meskipun begitu, Billy merasa lebih puas menyebutnya sebagai bocah ingusan.
“Aku tidak membunuh putrimu. Aku tidak pernah menyakitinya.”
“Bohong! Aku tahu itu kau. Kau memperkosa putriku, kau menyimpan foto-foto telanjangnya. Aku memiliki foto-foto itu.. aku bisa menjadikannya sebagai bukti untuk menyeretmu ke kantor polisi..”
Kini wajah bocah laki-laki itu memerah. Rahangnya laki-laki mengeras dan kedua alisnya bertaut dengan marah. “Tidak.. itu bukan..”
“Tutup mulutmu dan katakan yang sebenarnya!” teriak Billy saat mendekatkan moncong senapannya ke wajah bocah itu untuk membungkamnya. Udara di dalam mobil kian menipis. Billy dapat merasakan aliran darahnya berdesir cepat saat ia menekan senjata itu di salah satu sisi wajahnya. Sekali saja ia menarik pelatuknya, bocah laki-laki itu akan tewas disana. Tentu saja Billy bisa melakukan hal itu dengan mudah, tapi pertama-tama Billy butuh pengakuan untuk memuaskan rasa penasarannya.
“Katakan!” kecam Billy. “Katakan kalau kau yang membunuh putriku!”
Bocah laki-laki itu masih membisu. Peluh membasahi dahinya dan kedua matanya kini terpejam, seolah ia sedang bersiap untuk kemungkinan terburuk bahwa cepat atau lambat peluru akan melubangi wajahnya yang sempurna.
“Kau memiliki tampang yang bagus. Kau mungkin bisa membodohi putriku, tapi kau tidak bisa membodohiku. Aku tahu persis apa yang tersembunyi di balik wajah itu. Kebusukanmu mudah sekali tercium. Polisi tidak akan mencurigaimu karena Sheriff O’Riley adalah pamanmu, jadi untuk apa repot-repot melibatkan polisi ketika jelas-jelas aku tahu kalau kau pelakunya.”
Bocah itu memutar bola matanya untuk menatap Billy dengan marah. Kemudian ketika Billy mencondongkan tubuhnya, saat itu juga bocah itu menyerang Billy dan menahan tangannya yang memegang senapan dan mengarahkannya ke kaca depan mobil. Billy tanpa sengaja melepaskan tembakan yang langsung menembus kaca depan mobil hingga pecah. Bocah laki-laki itu kemudian menyarangkan pukulan di wajah Billy hingga punggung Billy membentur pintu mobil dan senapannya jatuh di atas lantai. Ketika Billy menunduk untuk mencari senapannya, saat yang bersamaan bocah itu mengambil kesempatan untuk keluar dari dalam mobil dan pergi memasuki ladang.
Billy dengan cepat menemukan senjatanya dan langsung bergerak keluar untuk mengejar bocah laki-laki itu. Dengan luka berdenyut-denyut pada rahangnya akibat pukulan bocah laki-laki itu Billy merasakan amarahnya meluap. Sampai ketika ia melihat suatu pergerakan di tengah ladang, Billy dengan cepat mengarahkan senapannya dan menarik pelatuk. Satu tembakan di lepaskan, namun meleset. Suaranya memecah keheningan di tengah ladang. Kepakan sayap burung yang terbang dengan gelisahpun terdengar. Tembakan berikutnya mengenai salah satu kaki bocah itu hingga ia hampir jatuh. Namun bocah laki-laki itu terus bergerak menjauh hingga kegelapan menelannya.
Bocah itu menghilang di balik hamparan ilalang setinggi satu meter. Billy dengan kesal akhirnya memutuskan untuk mencari sampai ke tengah ladang. Namun bocah itu terus bersembunyi di suatu tempat disana, mungkin sedang merangkak di balik ilalang yang tersebar seluas berberapa hektar. Dalam jarak pandang sejauh itu, Billy benar-benar kehilangannya. Sementara angin dingin yang berembus di sekitar ladang menampar wajahnya. Setelah lima menit berkeliling di sekitar ladang itu Billy tidak berhasil menemukan keberadaan bocah laki-laki itu. Akhirnya dengan putus asa, Billy pun memutuskan untuk kembali ke dalam pikapnya dan dengan cepat mengemudikan pikap itu meninggalkan ladang sebelum seseorang datang kesana.
Andrenalinnya berpacu cepat sementara kekesaalan yang dialaminya kian meningkat. Bocah laki-laki itu belum mengakui apa-apa dan Billy juga tidak menghabisinya. Tembakannya bersarang di salah satu kaki bocah itu, tapi Billy tidak yakin kalau tembakan itu cukup untuk membuatnya tewas. Sampai Billy berhasil menemukan bocah itu dan menyelesaikan apa yang diperbuatnya, ia tidak akan bisa tenang. Bagaimanapun Billy harus cepat-cepat pergi dan membersihkan dirinya. Mungkin ia harus bersembunyi sebelum polisi datang untuk menangkapnya.