08. Istri Baru vs Istri Lama

1097 Kata
Dia seperti sebuah kuncup mawar. Sakha sudah memutuskan untuk memetiknya dan merawat kuncup mawar di dalam vas bunga dengan bebungaan yang lain. Dan di dalam vas itu, Sakha memperlakukan setiap bunga dengan cara yang sama dan adil. Tapi, kuncup mawar ini masih belum mekar, siapa yang tahu keindahan macam apa yang dia miliki di dalam? Dan siapa yang bisa menjamin, bahwa Sakha tidak akan tertarik pada keindahan yang dimiliki bunga itu? Hal inilah yang dikhawatirkan oleh ketiga istri Sakha ketika mereka duduk berhadap-hadapan di ruang tamu dengan seorang gadis muda yang akan menjadi saudari mereka untuk berbagi suami. Gadis itu jelas masih lugu dan tampak sangat lemah, tapi dia dengan berani dan dipenuhi ketenangan balas menatap ke arah ketiga wanita yang jauh lebih tua darinya. Yang mana hal itu membuat mereka merasa risi sekaligus juga merasa tidak dihormati. Sementara itu, Airin dengan tatapan datarnya menilai satu per satu istri Sakha. Galih sudah memberitahu nama-nama mereka dan bagaimana sikap mereka saat di rumah, setidaknya semua informasi itu Galih dapatkan dari apa yang pernah dia lihat saja, belum tentu bahwa begitulah sebenarnya sikap mereka. Dari cara mereka menatapnya saja, Airin sudah tahu bahwa dia akan menjadi satu di antara yang paling dibenci. Airin menebak wanita yang duduk di tengah adalah si istri pertama, Safitria atau yang kerap dipanggil Ria, usianya seumuran dengan Sakha, 32 tahun. Ria memiliki kecantikan khas nyonya rumah. Sekalipun usia sudah berkepala tiga, tapi dia tampak awet muda. Dari ketiga istri Sakha, bisa dibilang kalau Ria adalah yang tercantik dan mungkin yang paling bisa merawat kecantikannya. Galih bilang bahwa Ria adalah anak dari rekan kerja Sakha, mereka menikah karena perjodohan keluarga lima tahun lalu. Lalu istri kedua kemungkinan ada di sebelah kanan, namanya Agistia, atau Tia. Usianya lebih tua satu tahun dari Sakha. Dia seorang janda saat Sakha menikahinya. Mereka juga dijodohkan. Dan si istri ketiga, yang duduk di sebelah kiri, yang menatap Airin dengan tatapan paling tidak suka, namanya Henia atau Nia. Sebelum menikah dengan Sakha, Nia pernah menikah dua kali sebelumnya. Dia adalah seorang guru SD, usianya 28 tahun, istri termuda yang sebentar lagi predikatnya akan digantikan oleh Airin. Wajar pikir Airin kalau Henia lebih tidak menyukainya. Dan tidak seperti dua istri Sakha yang lain, Henia menikah dengan Sakha karena kemauannya sendiri. Galih juga bilang, bahwa sempat ada drama picisan sebelum itu. Keluarga Henia juga memiliki hutang besar pada Sakha sama seperti Airin. Lalu karena tidak sanggup membayarnya, mereka memohon pada Sakha untuk menikahi putri mereka, tapi Sakha menolaknya mentah-mentah karena status Henia yang saat itu masih menjadi istri orang. Henia yang sudah terlanjur kepincut pada ketampanan Sakha, akhirnya bercerai dengan suaminya dan dituduh selingkuh. Lagi-lagi, keluarganya memohon pada Sakha untuk menikahi Henia demi menutupi aib mereka, yang juga Sakha ikut bertanggung jawab di dalamnya. Sakha pun akhirnya menikahi Henia. Sebenarnya masih ada beberapa hal yang Galih beritahukan padanya, tapi intinya bagi Airin sekarang adalah… bahwa dia tidak boleh terlalu ikut campur atau mencari gara-gara dengan ketiga istri Sakha ini. Airin harus memendam diri dan kalau bisa, menjadi istri bayangan saja. Menikah dengan Sakha saja sudah cukup mengguncang ketenangan Airin, dia tidak ingin membuat hidupnya yang rumit semakin rumit dengan berurusan dengan wanita-wanita ini. Dalam arti, sebisa mungkin Airin akan hidup dengan tenang di tengah kekacauan kehidupan rumah tangganya nanti. Kemudian, kebisuan di antara empat wanita itu dibuyarkan oleh suara Henia, “Jadi kamu, yang namanya Ririn Airin itu?” Airin tersenyum ramah. “Iya. Dan tolong, panggil saya Ririn saja.” Karena tidak banyak yang tahu nama asli Airin, orang-orang desa mengenalnya dengan panggilan Ririn. Airin menduga bahwa Henia sebelumnya telah mencari tahu terlebih dahulu tentang dirinya. “Ririn,’ panggil Ria. Airin lantas menoleh padanya. “Aku yakin kamu sudah mengenal kami siapa ‘kan?” tanya Ria dengan nada yang terdengar angkuh, seolah ingin memperjelas siapa yang seharusnya Airin paling hormati di antara mereka. Airin mempertahankan ekpresi ramah di wajahnya, lalu menggeleng pelan. Ketiga istri Sakha itu membelalak terkejut. “Apa maksud kamu belum?!” seru Henia. “Tuan Sakha belum pernah bercerita apapun tentang ketiga istrinya kepada saya,” ucap Airin untuk memperjelas jawabannya. Jangankan membicarakan tentang mereka, berbicara saja mereka belum pernah, bahkan bertatap empat mata pun juga tidak. Airin merasa begitu geli, bagaimana bisa dia akan menikah dengan pria seperti itu? Tapi apa Airin punya pilihan lain? Karena jawabannya tentu saja tidak. Agistia tampak menghela napas. “Mas juga belum sempat memperkenalkanmu pada kita. Dia hanya pernah bilang hendak menikah lagi dan meminta persetujuan kami, dia tidak pernah berbicara apapun tentangmu. Jadi, mungkin saja Mas sengaja melakukannya.” Airin mengangguk setuju, walau di dalam dia terkekeh geli. Sakha tidak pernah membicarakannya karena semata-mata pria itu tidak sedikit pun mengenalnya selain fakta bahwa dia anak Pak RT yang memiliki hutang begitu banyak padanya. Jadi apa yang mau dibicarakan? Saat Ria hendak kembali berucap, tiba-tiba saja datang sebuah suara di belakang Airin. “Maaf, Nyonya, saya diperintah Tuan buat antar Ririn ke kamarnya. Sekalian juga beres-beres karena besok akad nikahnya akan diselenggerakan.” Itu suara Galih. Airin begitu lega mendengarnya. Karena itu artinya dia akan segera terbebas dari tatapan penuh penilaian dari tiga wanita di hadapannya. Sebenarnya, walau Airin tampak tenang di luar, dia sedikit cemas di dalam. Seperti yang Airin bilang, dia ingin sebisa mungkin menjadi bagian yang pasif dalam keluarga ini agar hidupnya bisa lebih tenang, tapi mana tahu apa yang akan dilakukan oleh ketiga wanita di hadapannya kalau mendapati Airin tidak sesuai dengan ekspektasi mereka. Ya ‘kan? “Ya sudah! Bawa dia pergi!” suruh Ria kemudian. Airin segera bangkit dan tersenyum ramah. “Mari, Kak, saya pergi dulu.” Tiga pasang mata mengekori pergerakan Airin. Namun sebelum Airin benar-benar menjauh, Tia memanggil Galih dan menghentikan langkah mereka. “Kapan Mas bakal pulang, Galih?” “Sepertinya nanti malam beliau bakal pulang malam sekali, ada beberapa persiapan untuk besok yang harus diurus.” Ketiga wanita itu nyaris berdecak secara bersamaan. Tia lalu mengangguk mengerti. “Nanti malam, biar saja Ririn istirahat di kamarnya. Biar nanti makan malamnya diantar,” kata wanita itu. Airin tidak mengerti kenapa Tia mengatakannya pada Galih dan terkesan seolah dia enggan berbicara pada Airin sekalipun Airin sendiri ada di sana. Tapi Airin tidak terlalu memusingkannya. Itu hal yang wajar, bukan? Mereka sekarang tengah kesal pada Airin, cemburu dan cemas. Airin yakin itu hanya akan bertahan selama beberapa hari ke depan saja. Karena cepat atau lambat Sakha akan mengabaikannya dan ketiga istri Sakha yang lain juga pasti akan ikut mengabaikannya karena merasa bahwa Airin bukanlah sebuah ancaman dalam posisi mereka di hati sang suami. Airin tidak sabar menunggu hal itu terjadi. ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN