Airin benar-benar tidak setuju dengan gagasan bahwa dia akan pindah ke rumah calon suaminya lebih awal dari yang dia prediksikan. Airin memang sudah tahu bahwa pasti akan datang hari di mana dia harus meninggalkan rumah ini dan tinggal bersama seorang suami dan tiga istrinya yang tidak Airin kenal.
Bagaimana nasibku nanti? batin Airin. Bahkan hanya dengan memikirkannya saja sudah sudah membuat dia mumet.
“Ndak apa, Nak. Toh kita masih di satu desa. Nanti kalau ada apa-apa, kamu kan bisa pulang ke rumah ini,” kata Yuniarti menenangkan sembari membantu Airin merapikan baju-baju yang kemudian dia masukkan ke dalam koper.
Tadi sore, Galih sudah menjelaskan pada keluarganya bahwa lusa adalah hari pernikahan Airin dengan Sakha. Namun, hari ini Airin diperintahkan untuk datang ke rumah suaminya sebab acara adat nanti akan diadakan di sana, pegelarannya akan dilaksanakan cukup besar karena itu sekaligus juga acara untuk menghargai para warga desa yang telah menerima Sakha di sini.
Airin memang tidak setuju, tapi juga tidak banyak protes karena dia rasa itu percuma saja. Begitupun juga dengan Yuniarti dan Jamal, yang bisa dibilang… tampak sangat senang mendengar berita itu.
Yang mana justru membuat Airin sedih. Jamal, bapaknya itu, pasti cukup khawatir karena usia Airin sudah 23 tahun, usia yang sudah cukup matang untuk menikah, tapi Airin bahkan tidak pernah dekat dengan lelaki manapun sebelumnya. Jamal dan Yuniarti tentu saja senang, karena putri angkat yang sangat mereka sayangi itu akan mendapatkan pesta pernikahan yang layak.
Tapi ada satu hal yang mungkin mereka lupakan, yaitu kehidupan setelah pesta mewah itu.
“Iya, Kak. Nanti Mawar sama Melati juga bakal sering-sering deh jenguk Kakak ke sana biar ndak kesepian,” kata Mawar menyeletuk, yang juga tengah duduk bersimpuh di lantai sembari membantu Airin merapikan barang-barang yang hendak dibawanya.
“Jangan!” sanggah Airin cepat.
Yuniarti dan Mawar sontak mengangkat wajah mereka dan menatap Airin bingung.
“Lho, kenapa memangnya, Nak? Bagus ‘kan kalo adek-adekmu datang berkunjung? Ibu juga setuju, mana tahu nanti kamu ndak betah di sana,” sahut Yuniarti mengingatkan.
“Bukan begitu, Bu. Ririn—”
“Nggeh, Ibu ngerti. Hidup dengan madu itu memang ndak enak, Nak. Kamu harus kuat dan banyak-banyak sabar. Dalam kondisi seperti itu, dukungan keluarga sangat dibutuhkan.” Yuniarti menasehatinya dengan lembut.
Airin menunduk. Memang benar apa yang ibunya itu bilang. Tapi, Airin sangat berharap bisa menghadapi masalah ini sendirian saja. Dia tidak ingin keluarganya ikut campur, karena Airin takut mereka akan kena imbasnya kalau nanti Airin melakukan kesalahan.
Melati masuk ke dalam kamar Airin membawa air empat gelas besar berisi es perasan jeruk. “Ini padahal malam, tapi udaranya panas sekali ya. Nih, Melati buatin es seger-seger!”
Airin menatap adiknya itu sembari tersenyum. Sikap ceria Melati membuat suasana di antara mereka mencair.
Malam itu, adalah malam terakhir Airin sebagai gadis yang dia lalui bersama keluarganya. Karena lusa, dia sudah akan berstatus sebagai istri dan tidak lagi menjadi tanggung jawab kedua orang tuanya.
Airin merasa gamang. Merasa seolah pernikahan itu jauh, padahal sangat dekat. Itu karena semua ini terjadi begitu tiba-tiba dan tanpa perasaan apapun selain penolakan yang disertai kepasrahan. Dia bahkan belum pernah berbicara sekali pun dengan Tuan Sakha, calon suaminya.
***
Pagi-pagi sekali, Sakha sudah sampai di rumah singgahan di ladang. Pria itu tengah duduk di kursi di teras dengan sebuah laptop menyala di atas meja, disertai secangkir kopi di sampingnya.
“Bagaimana dengan acara besok, Galih?” tanya Sakha pada asistennya yang tengah mengepulkan asap dari batang rokok yang dihisapnya.
Galih berbalik dari duduknya di hadapan Sakha, menghadap tuannya itu. “Sudah beres semuanya, Tuan! Dari dua hari yang lalu juga persiapannya sudah dimulai. Besok tinggal akad nikah, lalu beberapa rangkaian acara adat, setelah itu selesai. Kecuali, kalau Tuan mau nambahin acara resepsi setelahnya,” jawab Galih.
“Tidak perlu ada acara resepsi. Begini saja mereka sudah iri, saya tidak mau memperkeruh keadaan di antara istri keempat saya dengan ketiga istri saya yang lain,” kata Sakha diikuti helaan napas pelan.
Galih mengangguk setuju. Mungkin karena ini akan menjadi pernikahan terakhir Sakha, jadi tuannya itu berniat mengadakan pesta yang cukup besar. Padahal sebelumnya, dengan ketiga istrinya di rumah, mengadakan acara resepsi saja tidak. Semua Sakha nikahi secara sederhana saja. Membuat Galih semakin yakin bahwa itu membuktikan Sakha tidak benar-benar memiliki perasaan pada ketiga istrinya.
Lalu, kenapa dengan yang satu ini berbeda? Itu karena Sakha menikahinya di desa ini. Di mana Sakha adalah seorang pendatang yang hendak meraup keuntungan yang ada dari tanah subur di sini. Untuk melakukan itu, Sakha membutuhkan dukungan dan pendekatan yang benar dengan warga desa.
Beliau ini… strateginya seperti seorang penjajah saja, batin Galih dengan geli. Tapi bukan itulah tujuan Sakha, Sakha hanya ingin usahanya di sini berjalan mulus, itu saja.
Namun, bagi Galih, tanpa perlu menikahi orang di desa ini atau merayakan pesta besar saja Sakha sudah menuai respon positif. Itu karena kebaikannya dan manfaat-manfaat yang telah di berikan kepada Desa Telaga Waru in.
“Sebaiknya kau menjemput perempuan itu sekarang, tidak ada gunanya juga menunda,” kata Sakha, memerintah Galih untuk menjemput calon istri keempatnya.
“Baik, Tuan!” sahut Galih sembari mematikan putung rokoknya. Namun sesaat sebelum melangkah pergi, dia berbalik lagi.
“Ng… Nanti… bagaimana kalau Nyonya-Nyonya di rumah datang, Tuan?” tanya Galih dengan hati-hati.
“Mereka sedang pergi berbelanja ke kota. Butuh waktu lama untuk mereka balik lagi ke rumah. Antarkan saja langsung perempuan itu ke kamarnya yang sudah aku siapkan,” jawab Sakha dengan tenang, selagi mengerjakan sesuatu di laptopnya.
“Apa Tuan bakal nemuin dia malam ini?” tanya Galih tanpa pikir panjang.
Sakha langsung mendelik padanya. “Saya bukan pria seperti itu!” sahutnya tegas.
Galih pun langsung menciut dan meminta maaf.
“Saya akan temui dia besok di depan penghulu. Pokoknya kamu urus saja lah!” Sakha mengibas-ngibaskan tangannya menyuruh Galih pergi.
Dengan patuh, Galih pun undur diri untuk menjemput anak Pak RT tukang hutang yang besok akan resmi menjadi Nyonya-nya. Hal itu mau tidak mau mengingatkan Galih akan paras anggun perempuan itu.
Apa Tuan Sakha yakin tidak mau bertemu dengan calon istrinya terlebih dahulu malam ini? pikir Galih.
Anehnya memang Sakha tampak sangat tidak peduli dengan pernikahan ini, tapi di waktu yang sama juga dia menganggap pernikahan ini penting. Galih menjadi bingung sendiri.
Tapi satu hal yang pasti, dia kasihan pada Ririn.
Perempuan itu akan menjadi istri Sakha yang termuda. Mentalnya mungkin sudah matang untuk sebuah pernikahan, tapi tidak dengan pernikahan seperti ini, di mana dia akan menjadi istri keempat dan harus tinggal dengan ketiga istri yang lain.
Galih bertanya-tanya, harus kah dia berbicara dulu dengan Ririn mengenai hal ini? Agar wanita itu siap pada apa yang akan dia hadapi di depan nanti.
***