Galih memberi tahu Airin bahwa akad nikah Airin dengan Tuan Sakha akan dilaksanakan pada pagi hari. Airin pun mandi seperti biasa, luluran, dan tidak lupa juga menggunakan serangkaian perawatan kulit yang dia bawa dari rumah. Semenjak semalam, makanan selalu dibawakan ke kamarnya, entah kenapa. Airin merasa… belum apa-apa dia sudah tersisihkan.
Tapi bukankah itu bagus?
Ya, karenanya Airin tidak perlu berhadapan dengan ketiga istri Sakha yang lain.
Pukul tujuh, selesai sarapan dan meminum jamu yang ibunya titipkan pada pembantu di rumah ini dan dibawa beserta sarapannya, Airin bingung kenapa tidak ada satu pun orang yang datang menemuinya. Pagi yang dimaksud Galih itu sekarang, kan?
Airin pun hanya duduk di atas ranjang, menatap pintu kamarnya yang tertutup rapat, menunggu seseorang untuk datang mengetuk dan memberitahunya bahwa sudah saatnya untuk bersiap-siap.
Tapi tidak ada.
Selama satu jam lebih Airin menunggu, tidak ada yang datang. Rumah ini juga terasa sunyi. Tidak ada suara keributan apapun di luar. Bahkan ketika Airin membuka jendela dan melihat halaman di luar, hanya lahan taman tidak terawat berisi bebungaan dan rumput liar.
Kamar Airin ini letaknya terpisah dengan rumah utama, seperti paviliun yang memang dikhususkan untuk dirinya seorang. Bentuknya seperti rumah panggung yang telah direnovasi menjadi sedikit modern. Hanya ada satu kamar, ruang tamu, dan teras. Kemarin Airin bertanya pada Galih ketika Galih mengantarnya ke sini, kenapa Airin malah tinggal di sana bukannya bergabung dengan Sakha dan istrinya di rumah utama. Galih malah menatap Airin tidak enak dan berkata bahwa dia hanya menuruti perintah dari Tuan Sakha, itu saja.
Padahal, tinggal di paviliun ini adalah harapan besar bagi Airin. Karena dengan begini, dia bisa jadi lebih leluasa. Iya ‘kan? Namun Airin tidak bisa memberitahu Galih akan hal itu.
Waktu berlalu begitu lambat. Tidak terasa matahari sudah semakin naik di langit, teriknya mulai terasa menyengat, Airin pun menghindar dari jendela dan menoleh pada pintu yang masih tertutup rapat.
Mungkin pernikahannya dibatalkan? pikir Airin menghibur diri sembari menjatuhkan tubuhnya ke atas ranjang.
“Terserah deh, aku ngantuk,” ucapnya pada diri sendiri dengan mata yang mulai terpejam. Kemarin malam, Airin sama sekali tidak bisa tidur. Kalau sekarang sudah siang, berarti besar kemungkinan dia akan terbangun saat sore atau bahkan malam, bagaimana pun tubuhnya butuh istirahat sekalipun ini adalah hari pernikahannya. Airin tidak peduli. Cepat atau lambat pasti akan ada yang membangunkannya juga.
Maka tidak lama kemudian, Airin pun jatuh tertidur.
***
Saat Airin bangun, beberapa orang mendatanginya ke kamar. Dan karena kedatangan mereka lah makanya Airin terbangun dari tidur nyenyaknya.
Ada tiga orang, masing-masing membawa tas berisi perlengkapan; satunya berbagai model baju kebaya, satunya makeup, dan satunya lagi membawa aksesori.
Airin duduk di atas ranjang menunggu mereka selesai bersiap-siap.
“Apa acaranya sudah dimulai?” tanya Airin.
Mereka semua menoleh ke arahnya, lalu menatap satu sama lain dengan tatapan heran.
“Airin, bukan?” tanya salah seorang dari mereka.
Airin mengangguk.
“Istrinya Tuan Sakha?”
Airin mengangguk lagi. Apa tukang rias ini harus mengenal kliennya sampai sejauh itu? Dan apa katanya tadi? Istri?
“Saya calon istri Tuan Sakha,” koreksi Airin.
Mereka bertiga lagi-lagi saling berpandangan.
“Apa kita salah kamar?” gumam salah seorang dari mereka.
“Coba kamu cek! Cari Bibi yang tadi antar kita ke sini!”
Airin menatap mereka bingung. “Tunggu, maksudnya apa? Salah kamar bagaimana? Saya memang pengantin yang mau dinikahkan hari ini.”
“Tapi… pernikahannya sudah dilaksanakan tadi pagi, Mbak Airin.”
Mendengar itu, kedua mata Airin membelalak lebar. “Pe-pernikahan siapa?” tanya Airin gugup, memastikan pendengarannya tidak salah.
“Loh? Kok nanya ke saya? Ya kan pernikahannya Mbak Airin sama Tuan Sakha,” jawab tukang rias itu, balas menatap Airin heran. Sedangkan yang ditatap tampak begitu syok setelah mendengar jawabannya.
Perlahan, Airin pun mengerti apa yang telah terjadi.
“Si tua m***m tidak tahu diri itu!” umpatnya tanpa sadar. Kemarahan membubung tinggi ke ubun-ubun. Tidak puas dengan memaksanya menikah, menjadikannya istri keempat, mendiskriminasinya, sekarang dia bahkan membuatnya tidak hadir ke dalam pernikahannya sendiri!
Airin menggertakkan rahangnya keras lalu berkata dengan gigir terkatup rapat, “Jadi aku sekarang sudah sah menjadi istrinya?”
Si tukang rias mengangguk ragu.
Airin langsung mendelik tajam pada mereka. “Lalu untuk apa kalian datang ke sini?” tanya Airin dengan galak. Tidak ada gunanya juga berpura-pura ramah sekarang, Airin terlalu kesal.
“Acaranya sudah selesai, Mbak Airin. Dan ini waktunya Mbak Airin bertemu dengan pak suami. First impression itu penting! Jadi kami di sini datang untuk mendandani Mbak Airin secantik mungkin di hari pertama kalian.”
Airin menghela napas. Tentu saja mereka tidak tahu menahu mengenai masalah yang saat ini Airin alami, jadi mereka mungkin berpikir dia dan suaminya saling mencintai.
Mencintai? Airin bahkan mual mendengar kata itu.
Sedangkan ketiga tukang rias yang ada di kamarnya tampak sungkan untuk memulai pekerjaan mereka.
Kasihan juga, pikir Airin. Mereka tidak tahu apapun jadi tidak ada alasannya membuat orang-orang ini ikut campur dengan marah-marah tidak jelas di hadapan mereka. Mereka hanya melakukan pekerjaan mereka saja.
Kalau ada yang perlu disalahkan di dalam situasi ini, itu adalah suaminya.
Oh, Airin bahkan tidak tahu siapa nama lengkap lelaki itu! Benar-benar ironi.
“Sebelum mulai, biarkan saya mandi dulu,” kata Airin setelah kembali menguasai dirinya. Dia memberi senyuman ramahnya yang telah kembali, lalu masuk ke kamar mandi.
Setelah selesai, Airin pun mereka rias sedemikan rupa. Dan mereka tidak membuang-buang waktu untuk tinggal lebih lama setelah pekerjaan mereka selesai. Ketiga tukang rias profesional itu pun ke luar, meninggalkan Airin seorang diri di kamarnya yang lagi-lagi sunyi.
Malam ini… Malam ini dia akan bertemu dengan pria tua m***m itu!
Airin menatap pantulan dirinya di cermin dengan tatapan datar. Makeup tipis menutupi kulit wajahnya. Rambutnya yang semula lurus dibuat sedikit bergelombang dan digelung ke atas, lalu dihiasi dengan jepitan bunga-bunga kecil.
Airin mengenakan kebaya, yang sebelumnya belum pernah dia kenakan. Airin hanya pernah melihat teman-temannya menggunakan pakaian ini ketika hari mereka menikah. Biasanya Airin hanya hadir sebagai tamu dan tidak pernah berpikir untuk berada di posisi itu, tapi rencana Tuhan tidak ada yang tahu. Karena di sinilah Airin sekarang, mengenakan kebaya pengantin di kamar yang juga telah dirapikan dan ikut dihias, menunggu sang suami datang mengunjunginya di malam pertama.
Airin duduk di atas ranjang setelah lelah berdiri. Baginya semua ini begitu lucu. Belum lama lalu dia masih bekerja di ladang dengan tampilan kucel dan keringat di sekujur tubuhnya, sekarang dia duduk di kamar pengantin ini dengan tampilan bak seorang tuan putri.
Dan Airin tidak sabar untuk melepas semuanya lalu kembali ke dirinya yang biasa.
Sangat melelahkan, batinnya. Lagian untuk apa sih dia harus berdandan seperti ini hanya untuk malam pertama? Untuk membuat Sakha senang? Terpesona padanya?
Tidak akan! Sakha sudah punya tiga istri yang kecantikannya berada di atas rata-rata.
Tidak akan ada bedanya jika Airin berdandan atau tidak, Sakha tidak akan terpengaruh. Airin bahkan berharap dia bisa tampil sekucel mungkin.
Ketika sedang asik dengan pikirannya sendiri, Airin tidak sadar saat suara ketukan terdengar. Airin hanya diam saja, menatap ke arah pintu dari balik kelambu tipis tempat tidurnya.
Karena Airin tidak kunjung menjawab, daun pintu itu pun berayun terbuka.
Sakha masuk ke dalam.
***